Kegagalan Kelola Informasi
Asrinaldi A ;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Andalas
|
KOMPAS, 19 April
2016
Kondisi bangsa ini
kian mengkhawatirkan. Tak hanya silang-sengkarut politik yang kian tak
menentu ujungnya, tetapi masyarakat juga kehilangan pegangan siapa pemimpin
yang bisa diikuti. Bahkan muncul pertanyaan, apakah pemimpin politik yang
saat ini berkuasa memikirkan bangsa ini?
Pertanyaannya ini
mencuat karena begitu banyaknya persoalan yang berkelindan, tetapi tak jelas
bagaimana penyelesaiannya. Belum habis satu masalah yang coba dipahami
publik, muncul lagi masalah lain yang tidak kalah hebat. Tidak ada dari
pemerintah yang memberikan penjelasan, apa sesungguhnya yang sedang terjadi
dan bagaimana seharusnya masyarakat bersikap.
Lemahnya negara
Lihat saja polemik di
antara elite negara yang sering kali berbeda dalam memandang kasus yang
melibatkan institusi masing-masing.
Misalnya, perbedaan pendapat antara Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama dengan BPK terkait dengan hasil audit pembelian RS Sumber
Waras oleh Pemprov DKI. Juga adanya perbedaan pendapat KPK dengan Kejaksaan
Agung terkait kasus suap yang melibatkan petinggi di Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta.
Bersamaan dengan itu
muncul pula kasus suap yang melibatkan pengusaha dan anggota DPRD DKI dalam
pembahasan kasus reklamasi Teluk Jakarta. Di ranah politik lebih dahsyat lagi
melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus "papa minta
saham" yang tak jelas akhirnya. Belum lagi sengkarut pejabat meminta
fasilitas negara dalam urusan pribadi ke luar negeri. Yang terbaru,
mencuatnya nama-nama pengusaha dan petinggi negara dalam skandal Dokumen
Panama. Isu tak kalah sensitif adalah tentang etnis Tionghoa yang mulai
melakukan konsolidasi kekuatan untuk mewujudkan kepentingan mereka di
Indonesia. Banyak lagi isu lain yang
berkembang di masyarakat. Apa
sesungguhnya yang sedang terjadi dengan negara ini?
Pemerintah sebagai
penyelenggara kekuasaan negara tentu memiliki peran yang penting dalam
mengelola isu yang berkembang, terutama menyangkut kekuasaan negara yang
dilaksanakan pejabatnya. Tak mungkin
masyarakat dibiarkan dengan ketidakjelasan dan menyimpulkan sendiri apa yang
sesungguhnya sedang terjadi. Apalagi
dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, tak ada data
yang bisa ditutupi sehingga masyarakat juga memiliki data pembanding untuk
memahami apa yang terjadi. Sayangnya
dalam konteks ini pemerintah terlihat belum mampu berperan mengendalikan
informasi yang simpang siur di ranah publik.
Keadaan ini
dikhawatirkan akan menurunkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Silang-sengkarut masalah
yang tak jelas ujung pangkalnya menimbulkan kebingungan publik, yang dapat
saja bermuara pada kesimpulan bahwa semua masalah yang muncul adalah bentuk
ketidakmampuan pemerintah mengurus negara.
Dalam konteks
bernegara, kegagalan pemerintahnya mengendalikan informasi adalah ciri
lemahnya negara melaksanakan fungsinya, sebab beredarnya isu dan pemberitaan
yang tak jelas tujuannya akan berdampak pada keresahan publik. Bahkan publik
hidup dengan rasa cemas yang berlebihan dan bahkan memunculkan sikap paranoid
terhadap apa yang sedang terjadi. Ini jelas merugikan pemerintahan Presiden
Joko Widodo.
Idealnya, pemerintah
harus bisa memainkan peran aktif dalam mengendalikan setiap isu yang beredar
sehingga tak terjadi akumulasi isu negatif di tengah masyarakat. Apalagi banyaknya isu yang mencuat ke
publik malah terkait dengan korupsi yang melibatkan elite dan ketidamampuan
hukum negara menegakkan keadilan kepada publik.
Robert I Rotberg dalam
bukunya, State Failure and State
Weakness in a Time of Terror (2003), menjelaskan kondisi negara yang
tinggi angka korupsinya, begitu juga masyarakat yang semakin sulit
mendapatkan akses terhadap barang dan jasa yang disediakan pemerintah serta
tingginya tensi hubungan politik antarelite, antaretnis, komunal dan agama,
dapat mendorong negara menjadi negara lemah.
Jika diperhatikan
keadaan ini, Indonesia masuk dalam kategori negara lemah yang bahkan
dikhawatirkan sedang mengarah pada negara gagal karena ketidakmampuannya
mengendalikan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Ini ibarat bom waktu yang dapat memicu
eskalasi konflik setiap saat. Di
sinilah dituntut adanya peran pemerintah untuk menguatkan kembali peran dan
fungsi negara dalam masyarakat.
Mengendalikan informasi
Langkah utama yang
perlu dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi adalah kembali menjadikan
pemerintah berperan sebagai pengendali informasi, khususnya menyangkut kasus
yang melibatkan pejabat negara. Selama ini terkesan bahwa kasus yang menimpa
pejabatnya dibiarkan bergulir liar ke mana-mana. Akibatnya menyentuh isu-isu
lain yang tidak relevan dan merugikan pemerintah itu sendiri.
Melaksanakan fungsi
kontrol terhadap informasi yang beredar bukan berarti pemerintah menjadi
hegemoni dan mendominasi informasi untuk publik. Justru yang perlu dilakukan
adalah bagaimana informasi yang beredar dalam masyarakat benar adanya dan
tidak disusupi isu-isu lain yang justru meresahkan masyarakat. Sebenarnya
kekhawatiran seperti ini sudah diindikasikan Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu tentang berubahnya model perang modern yang menggunakan proxy war.
Inilah buktinya,
disadari atau tidak informasi yang berkembang di tengah publik telah
memengaruhi cara pikir masyarakat untuk bersikap sinis, penuh kebencian,
permusuhan, dan intimidasi terhadap kelompok lain yang berseberangan.
Pemerintah tak mungkin
tinggal diam menghadapi kondisi ini karena dampaknya adalah pada masa depan
negara. Harus ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengontrol informasi yang
berisi isu-isu yang tak jelas sumbernya. Padahal, Kementerian Komunikasi dan Informatika
memiliki kewenangan yang besar untuk mengendalikannya. Sayangnya, elite kita masih sibuk dengan
kekuasaan masing-masing dan memikirkan bagaimana mempertahankannya. Akibatnya
mereka lupa bahwa banyak masalah krusial yang sedang dihadapi bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar