Ironi Parpol
Akh Muzakki ;
Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan
Ampel Surabaya;
Anggota Dewan Pendidikan Jawa
Timur
|
KORAN SINDO, 09 April
2016
Ahok menjadi fenomena,
itu sudah diketahui umum. Popularitas dan elektabilitas yang tinggi, terutama
dalam derap menuju Pilkada DKI Jakarta 2017, tidak dibantah oleh siapa pun.
Lalu, Ahok memastikan
untuk maju sebagai calon independen, juga bukan lagi rasan-rasan politik.
Soal hasil kontestasi politik, masih ada waktu setahun hingga Pilkada DKI
Jakarta 2017 betul-betul dinyatakan resmi selesai. Tapi, apa yang disebut
dengan ”fenomena Ahok” betulbetul telah menjungkirbalikkan banyak konsep
penting dalam politik: parpol.
Semua literatur
politik menyepakati perihal penting tentang konsep parpol sebagai mesin
politik untuk terlibat dalam kekuasaan pemerintahan, terutama melalui
mekanisme Pemilu. Keputusan Ahok untuk maju sebagai calon independen
hari-hari ini semakin menunjukkan teramputasinya fungsi parpol dan sekaligus
bangkrutnya marwah (sebagian) parpol.
Lacurnya, saat sudah
jelas Ahok maju tanpa parpol, justru ada parpol yang resmi memberikan
dukungan kepada Ahok sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017
nanti, yakni Partai Nasdem dan Hanura. Padahal, deparpolisasi banyak
disematkan pada praktik Ahok yang maju tanpa, dan bahkan meninggalkan, parpol
di atas. Bahkan, isu deparpolisasi ini begitu menguat di kalangan politisi
parpol.
Dan, karena itu,
keputusan Ahok untuk maju sebagai calon independen telah menjadi perhatian
serius sejumlah parpol. Tak kurang, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
dalam beberapa kesempatan penting menyebut Ahok telah melakukan praktik ”emoh
parpol” itu dengan istilah deparpolisasi.
Praktik ”emoh parpol”
oleh Ahok di atas tentu memiliki latar belakang tertentu. Yang sering
mengemuka adalah praktik mahar politik. Parpol yang akan mengusung calon
kontestan politik memasang tarif tertentu sebagai biaya politik kontestasi.
Sebaliknya, calon yang ingin maju dalam kontestasi dan menjadikan parpol
tertentu sebagai kendaraan politik diharuskan menyerahkan mahar tertentu
sebagai ijab kabul politik.
Belum lagi, saat
kontestasi telah berhasil dimenangi, bulan madu tidak boleh begitu cepat
berlalu. Kemesraan tidak boleh beterbangan ke awan. Parpol menyadari betul
pentingnya prinsip ini. Karena, parpol telah menyediakan kendaraan politik
untuk sampai pada destinasi yang diidamkan: berkuasa di pemerintahan.
Dalam situasi seperti
itu, siapa pun yang diantarkan oleh parpol untuk meraih kekuasaan pasti akan
sangat menghitung nilai representasi parpol yang ada pada kuasa dirinya. Nah,
dalam mempraktikkan nilai representasi ini, bisa saja konformitas politik
tetap terjaga. Dan, bulan madu politik pun tetap mewarnai perjalanan kuasa
politik itu.
Namun bisa pula, bulan
madu politik itu segera diwarnai oleh dinamika politik yang berliku. Mulai
”pisang ranjang” politik hingga perselingkuhan politik dengan kekuatan parpol
lain untuk mencari keseimbangan politik baru yang berujung pada perceraian
dengan parpol pengusung awalnya. Bila ini yang terjadi, parpol bisa dianggap
sandungan oleh mereka yang sedang berkuasa.
Bahkan, lebih dari
itu, bisa dipandang sebagai penjara politik. Dan, individu yang berkuasa lalu
merasa dirinya tersandera oleh parpol. Nah, proses panjang untuk menjaga
nilai konformitas politik di atas menginspirasi praktik ”emoh parpol” di
sejumlah calon kontestan politik. Maka apa yang disebut sebagai deparpolisasi
hanya akibat lanjutan saja dari praktik ”emoh parpol” ini.
Seharusnya, fenomena
ini sebuah tamparan besar bagi parpol. Lalu, parpol membuat kebijakan
strategis untuk keluar dari jebakan deparpolisasi itu. Sebab, bagaimanapun,
itu menjadi pertanda bahwa parpol bukan menjadi pilihan menarik
untukbisamenjadi kendaraan politik. Lacurnya lagi, itu dilakukan oleh mereka
yang besar dari parpol, seperti dalam kasus Ahok di atas.
Tapi praktik instan
muncul. Bukan memerangi fenomena deparpolisasi yang dilakukan, melainkan
justru mendukung fenomena itu. Parpol bukan melawan praktik ”emoh parpol”
oleh calon kontestan politik, melainkan justru malah mendukungnya. Dukungan
Partai Nasdem dan Hanura kepada Ahok untuk memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017
yang telah resmi diluncurkan beberapa hari lalu menjadi ironi besar bagi dunia
parpol di Indonesia saat ini.
Bagaimana mungkin,
Ahok sudah meluncurkan praktik ”emoh parpol” dalam pengajuan dirinya sebagai
cagub DKI Jakarta, namun parpol malah memberi dukungan penuh. Praktik
yangdilakukanparpolsepertiitu sama dengan ”menyerahkan lehernya” kepada calon
kontestan untuk ”disembelih”. Minimal diperlakukan apa saja, asal bisa
menjadi bagian dari pendukung calon kontestan.
Padahal, calon sudah
nyatanyata ”emoh” pada parpol. Sekoci politik yang bernama ”Teman Ahok” atau
apa pun namanya, bahkan, lebih dipercaya sebagai ”kendaraan politik” yang
lebih efektif untuk memobilisasi dukungan massa. Dalam konteks terbatas, saya
menyebut fenomena penyerahan diri parpol kepada calon kontestan meskipun yang
bersangkutan sudah menyatakan ”emoh parpol” dengan majunya dirinya sebagai
calon independen sebagai praktik ironi parpol.
Parpol telah
kehilangan pesona politik. Jangankan di hadapan pemilik suara, di hadapan
calon kontestan saja parpol tidak berhasil menunjukkannilaistrategisnya
sebagai kendaraan politik. Lebih jauh, dengan penyerahan diri parpol kepada
calon kontestan itu, parpol telah menunjukkan kegagalannya dalam
mempertahankan atau menunjukkan elan vitalnya sebagai mesin kaderisasi calon
pemimpin politik.
Kepentingan yang
instan berupa kue kekuasaan ternyata jauh lebih menarik bagi parpol daripada
kepentingan untuk menjaga pesona politik di atas gelanggang politik dan
sekaligus mesin kaderisasi calon pemimpin politik. ”Penyerahan diri” Partai
Nasdem dan Hanura kepada Ahok yang sudah nyata-nyata mendeklarasikan
pencalonannya melalui jalur independen adalah bukti konkret bagaimana parpol
telah melakukan praktik ironi politik itu.
Tentu semua itu
dilakukan pada calon dengan tingkat popularitas dan elektabilitas yang
tinggi. Harapannya adalah memperluas seluruh kemungkinan untuk, atau minimal
tidak tertinggal dalam, menikmati kue politik pascakontestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar