Aung San Suu Kyi dan Nobel Perdamaian
Emerson Yuntho ;
Anggota Badan Pekerja ICW;
Salah Satu Penggagas Petisi untuk
Mencabut Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi
|
KORAN SINDO, 30 Maret
2016
Aung San Suu Kyi,
pejuang demokrasi dari Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian tahun 2012, belum
lama ini menjadi perbincangan banyak orang dari berbagai belahan dunia.
Polemik muncul setelah Peter Popham, jurnalis The Independent pada Maret 2016 ini meluncurkan buku biografi
berjudul ”The Lady and The Generals-Aung San Suu Kyi and
BurmaThe Lady and The Generals- Aung San Suu Kyi and Burmas Strunggle for
Freedom”.
Sebagaimana
diberitakan sejumlah media, dalam buku biografi tersebut muncul pernyataan
Suu Kyi yang dinilai kontroversial, yaitu ”Tak seorang pun memberi tahu bahwa
saya akan diwawancara oleh seorang muslim”. Kalimat ini muncul setelah Suu
Kyi diwawancarai oleh presenter acara BBC Today, Mishal Husain, pada 2013.
Muncul dugaan
kekesalan Suu Kyi disebabkan pertanyaan yang diajukan Husain mengenai
penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya yang beragama Islam dan menjadi
kaum minoritas di Myanmar. Suu Kyi juga kesal diminta mengecam mereka yang
antimuslim dan melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga umat muslim suku
Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar.
Jujur saja, banyak
orang yang terkejut bahwa kata-kata yang bernada rasis itu keluar dari mulut
Suu Kyi. Pernyataan Suu Kyi barangkali hanya satu kalimat, namun maknanya
sangat mendalam bagi kehidupan berdemokrasi dan upaya perdamaian umat muslim
di Myanmar dan juga berbagai negara.
Bagi para aktivis
prodemokrasi di sejumlah negara— termasuk Indonesia—sosok Suu Kyi dianggap
sebagai ikon demokrasi. Selama ini orang mengenal Suu Kyi sebagai figur
perempuan penyabar, berjuang dalam damai selama lebih dari 28 tahun, dan
hingga akhirnya berhasil merebut kekuasaan dari tangan junta militer di
Myanmar.
Begitu populernya Suu
Kyi di mata rakyat Myanmar yang mayoritas Buddha, Partai Liga Nasional Demokrasi
dinyatakan menang telak lebih dari 80% suara dalam pemilihan umum bersejarah
pada 2015 lalu. Namun, pernyataan kontroversial Suu Kyi yang mempermasalahkan
seorang jurnalis muslim dari BBC pada akhirnya membuat banyak orang kecewa
dan marah terhadapnya.
Padahal, demokrasi dan
hak asasi manusia mengajarkan kita semua untuk menghormati setiap perbedaan
keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan. Apa pun agamanya, seharusnya
Suu Kyi dan kita semua harus tetap saling menghormati setiap orang dan tidak
bertindak diskriminatif sebagai sesama manusia.
Sebagai pejuang
demokrasi, seharusnya Suu Kyi paham betul bahwa pernyataan bersifat rasis
sungguh tidak pantas diucapkan karena merusak nilai- nilai demokrasi yang
menghargai perbedaan keyakinan dan perbedaan. Sebagai peraih perdamaian
pernyataan rasis justru membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap
saling curiga bahkan potensi konflik berbau agama di Myanmar.
Pernyataan Suu Kyi
yang tidak seharusnya juga membuka kembali pertanyaan dunia internasional
tentang sikap Suu Kyi terhadap kaum minoritas muslim di Myanmar. Suu Kyi
dinilai tidak mengeluarkan pernyataan mengecam terkait pelanggaran hak asasi
manusia yang dialami oleh etnis minoritas muslim Rohingya.
Selama tiga tahun
terakhir, lebih dari 140.000 etnis muslim Rohingya terusir dari wilayahnya
dan hidup sengsara di sejumlah kamp pengungsi di Myanmar, Malaysia, dan
termasuk di Indonesia. Nobel Perdamaian adalah penghargaan tertinggi yang
diberikan khusus ”untuk orang-orang yang memberikan upaya terbesar atau
terbaik bagi persaudaraan antar bangsa...”
Nilai- nilai
perdamaian dan persaudaraan ini harus tetap dijaga para penerima Nobel
Perdamaian— termasuk Suu Kyi, hingga akhir hayatnya. Jika penerima Nobel
tidak bisa menjaga ”perdamaian” maka demi perdamaian dan persaudaraan sudah
selayaknya perhargaan yang diterimanya harus dikembalikan atau dicabut oleh
Komite Nobel di Norwegia.
Pada dasarnya,
pencabutan penghargaan atau gelar atau kehormatan terhadap seseorang yang
pernah menerimanya adalah bukanlah suatu yang tabu dan bahkan dapat
dilakukan. Pada tahun 2012 di bidang olahraga, Badan Balap Sepeda
Internasional pernah mencabut tujuh gelar juara bergengsi Tour De France yang diraih oleh
pembalap Amerika, Lance Amstrong.
Pencabutan gelar ini
karena Amstrong terbukti menggunakan doping sepanjang kariernya bersepeda.
Tidak hanya kehilangan gelar, Amstrong juga diminta mengembalikan bonus
jutaan dolar yang pernah diterimanya dari pihak sponsor. Perancang Inggris
John Galliano juga kehilangan tanda penghargaan yang terhormat di Prancis,
Legion dLegion dHonneur pada 2012.
Keputusan pencabutan
gelar yang dilakukan oleh Presiden Prancis Francois Hollande dilakukan karena
Galliano terbukti bersalah mengeluarkan pernyataan antisemit pada 2010 dan
2011. Galliano juga kehilangan pekerjaannya sebagai direktur di rumah mode
yang terkenal di Prancis, Dior.
Peristiwa terbaru
terjadi pada Desember 2015, ketika sebuah universitas di Aberden Skotlandia
mencabut gelar kehormatan yang pernah diberikan kepada Donald Trump, kandidat
calon presiden Amerika dari Partai Republik. Pencabutan gelar doktor
kehormatan bidang administrasi bisnis yang diterima pada 2010 ini dilakukan
setelah dalam kampanye pemilu, Trump telah melontarkan pernyataan yang
bersifat rasis dengan berniat melarang muslim memasuki Amerika Serikat.
Hukuman sosial juga
muncul terhadap Trump. Masih pada tahun 2015, lebih dari 350.000 petisi
dibuat oleh warga Inggris yang meminta pemerintah melarang Trump mengunjungi
negara tersebut. Sejumlah pertimbangan di atas pada akhirnya menjadi dasar
bagi sejumlah individu di Indonesia pada Senin, 28 Maret 2016, untuk membuat
petisi online change.org meminta Ketua Komite Nobel untuk mencabut Nobel
Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi. Belum genap 24 jam sudah terkumpul
lebih dari 34.000 dukungan warga dari sejumlah negara yang meminta pencabutan
perhargaan Nobel tersebut.
Desakan Publik
Ini sudah seharusnya
menjadi perhatian Komite Nobel di Norwegia untuk melakukan tindakan
penyelamatan terhadap keluhuran Nobel Perdamaian. Agar proses menjadi fair,
sebaiknya pihak Komite Nobel dapat menyelidiki peristiwa memalukan yang
melibatkan Suu Kyi.
Jika terbukti
melakukan pernyataan rasis, tidak ada pilihan bagi Komite untuk segera
mencabut Nobel Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi. Harus dipahami bahwa
Nobel Perdamaian hanya layak disandang oleh mereka yang tidak rasis dan
sungguh-sungguh menjaga kedamaian dan persaudaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar