Ahok dan Ujian Integritas Parpol
Laode ida ;
Komisioner Ombudsman RI; Sosiolog Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 08 April
2016
Pemilihan gubernur DKI Jakarta akan
berlangsung bersamaan dengan pilkada serentak pada Februari 2017 nanti. Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok diperkirakan akan tampil jadi calon gubernur
petahana yang menonjol dan tangguh di tengah sejumlah figur pesaingnya.
Hasil survei berbagai opini publik memang
menunjukkan putra Belitung Timur itu selalu berada pada tingkat elektabilitas
tertinggi.
Dukungan publik terhadap Ahok seperti itu
tentu saja merupakan produk dari kinerjanya yang dianggap baik sehingga
pantas untuk terus memimpin DKI Jakarta. Menariknya, kebiasaannya bicara
blak-blakan, meledak-ledak, bahkan tergolong sangat kasar tidak dilihat
sebagai aspek negatif bagi Ahok. Justru dianggap sebaliknya: karakternya
dianggap bagian dari upaya melakukan perbaikan pengelolaan pemerintahan dan
dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
Jadi keunggulan
Tepatnya, watak Ahok yang keras, tegas, dan
kasar merupakan bagian dari keunggulan utama sekaligus kampanye gratis yang
memberikan ruang besar untuk kembali memimpin DKI Jakarta 2017-2022. Anehnya,
baru sebagian parpol papan tengah-bawah yang menyatakan diri tertarik
dan akan mendukung Ahok dalam pilgub DKI Jakarta. Partai Nasdem, Hanura, PKB,
dan PAN kabarnya sudah terbuka memberikan dukungan kepada Ahok.
Parpol papan atas masih cenderung menutup diri
atau bersikap berseberangan. Bahkan, lebih dari itu, Ahok dianggap telah melakukan
deparpolisasi karena keinginannya menggunakan jalur perseorangan. Komunitas
pendukung Ahok memang sudah jauh melangkah dalam mengumpulkan dukungan warga
Jakarta dengan mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) berikut tanda tangan.
Semua itu tentu didasarkan pada kesadaran mengantisipasi jangan sampai para
pemimpin parpol menutup untuk masuk bertarungnya Ahok.
Terkait keengganan pemimpin parpol untuk
mengusung Ahok itu tampaknya lebih karena tiga faktor. Pertama, faktor
ideologi, karena latar sosial budaya Ahok yang diposisikan bukan dari
kalangan mayoritas di negeri ini, baik dari segi suku maupun agama. Ini
merupakan fenomena terbuka bahwa, diakui atau tidak, dinyatakan secara
terbuka atau diam-diam, masih ada kekuatan politik dan atau kelompok masyarakat
yang masih peka dengan ideologi berbasis budaya itu.
Dijamin UUD 1945
Sikap seperti itu sebenarnya sudah muncul
sejak pencalonannya sebagai cawagub berpasangan dengan Jokowi, dan kian
mendapat tantangan serius saat mendapat penolakan agar tidak dilantik jadi
gubernur menggantikan Jokowi yang sudah terpilih jadi presiden RI. Padahal,
harusnya disadari bahwa perdebatan soal identitas (suku dan agama) dalam
kaitan dengan pemilihan pejabat publik sudah tak ada lagi di era reformasi
ini sebab itu semua dijamin UUD 1945.
Kedua, penolakan politik akibat dendam
tertentu. Sejumlah parpol yang dulu (2012) mengusung Jokowi-Ahok jadi
cagub/cawagub DKI Jakarta kecewa terhadap Ahok. Partai Gerindra, misalnya,
yang empat tahun lalu bukan saja menyediakan kendaraannya untuk dipakai
(kemudian menganggap Ahok sebagai kadernya), melainkan juga dikabarkan
berkorban materi, harus menerima kekecewaan berat ketika Ahok menyatakan diri
keluar dari partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebab mendukung Jokowi-JK
dalam Pilpres 2014. Ahok dianggap "tak tahu diri" atau "tak
tahu balas budi" karena sikap politiknya itu.
Kebijakan yang tidak memberikan peluang untuk
adanya "garapan atau jatah" anggaran (melalui APBD) bagi
kepentingan bisnis melalui klien politik atau tambahan pendapatan ilegal bagi
para politisi di DKI Jakarta kian memperkuat semangat penolakan elite politik
terhadap Ahok. Kasus tuduhan adanya anggaran siluman dalam APBD 2014 yang
dimainkan sejumlah oknum anggota DPRD, misalnya, membuat politisi sangat
tersinggung dengan sikap dan kebijakan Ahok. Singkatnya, Ahok dianggap tak
bersahabat dengan politisi yang sudah memiliki kebiasaan buruk bermain
anggaran.
Ketiga, sikap sebagian pemimpin parpol yang
tak mau memberikan kendaraan politik bukan mustahil sebagai akibat dari sikap
Ahok yang memberikan isyarat tak mau kompromi dengan pemberian mahar yang
sudah menjadi kebiasaan terselubung dalam pilkada di negeri ini.
Padahal, andai saja Ahok mau melakukan itu,
niscaya ia tak akan kesulitan memperolehnya. Soalnya, kecuali ia sendiri
sudah pasti berkantong tebal dari sumber pendapatan resminya yang begitu
besar selama jadi wagub dan gubernur, juga akan banyak cukong yang bersedia
menjamin imbalan parpol itu. Ahok agaknya sangat percaya diri, yang
antara lain ditunjukkan dengan "gertakan ultimatumnya" terhadap
PDI-P dengan memberi jangka waktu tertentu untuk memperoleh kepastian akan
mendukungnya atau tidak.
Sikap Ahok ini tentu saja merupakan bagian
dari ujian bagi pihak parpol karena boleh jadi akan diikuti juga sejumlah
figur di sejumlah daerah dalam pilkada serentak tahun 2017. Dikatakan ujian
karena jika benar Ahok konsisten mau gratis saja jika parpol mendukung,
otomatis pihak oknum parpol akan kehilangan pemasukan dari sumber tidak
resmi, sesuatu yang selalu diharapkan dalam setiap momentum pilkada.
Selain itu, dalam kasus Ahok yang memiliki
popularitas dan elektabilitas yang tinggi, pihak parpol harus mau rela jika
ia tak bersama dengan kepala daerah jika figur yang ditolaknya itu kelak
menjadi pemenang atau memimpin Jakarta. Pada saat yang sama, jika kemudian
pihak yang sebelumnya menolak dan ternyata kemudian mendukungnya nanti dengan
berbagai argumen yang dibuat-buat, maka tidak mustahil akan dikatakan
"menjilat kembali ludah yang sudah dibuang". Begitulah konsekuensi
bagi parpol yang hingga saat ini berseberangan dengan Ahok.
Cara alternatif
Sikap Ahok seperti sekarang ini termasuk
cara-cara alternatif antisipatifnya dengan mengumpulkan dukungan warga (KTP
dan tanda tangan) menjadi pelajaran yang bisa menyemangati figur populer dan
idealis lain di berbagai daerah. Pihak parpol pragmatis akan menghadapi
tantangan serius dalam perjalanannya ke depan karena boleh jadi akan
diabaikan tawaran mahar oleh mereka yang ingin bertarung sekaligus memberi
pendidikan politik yang baik terhadap masyarakat luas.
Berdasarkan pengalaman dalam pilkada serentak
Desember 2015, misalnya, sudah muncul kecenderungan kesadaran masyarakat yang
tak ingin lagi terpengaruh dengan politik uang. Ini menjadi isyarat baik
untuk kian hadirnya pemimpinan daerah yang memiliki semangat integritas
mewujudkan pemerintahan yang baik.
Hanya saja, Ahok dan timnya
tak boleh langsung merasa akan tetap berada di atas angin dan besar kepala akan
tetap terpilih kendati tak didukung oleh parpol besar. Tidak mustahil pendukung
Ahok sekarang ini merupakan bagian dari pendukung parpol besar, utamanya PDI-P,
yang berpotensi besar dan secara signifikan bisa menggembosi pendukungnya
ketika suatu saat nanti sudah secara tegas-resmi tidak mencalonkan atau tidak
mendukungnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar