Penguatan Stok Beras
Toto Subandriyo ; Pengamat
Sosial-Ekonomi;
Lulusan IPB dan Pascasarjana
Unsoed
|
KOMPAS, 15 Maret
2016
Selama beberapa tahun
terakhir kondisi stok beras pemerintah begitu mengkhawatirkan. Padahal, stok
beras yang dikuasai pemerintah selalu menjadi tolok ukur kondisi ketahanan
pangan Republik ini. Implikasi kenyataan ini adalah pertaruhan kedaulatan dan
ketahanan pangan bangsa, melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat ad hoc.
Pengalaman empiris
tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pemenuhan target pengadaan
gabah/beras oleh Perum Bulog selalu menimbulkan kegaduhan. Nyaris tidak ada
upaya yang benar-benar terencana agar kegaduhan tidak terulang.
Ujung-ujungnya juga selalu sama: kondisi kekurangan stok beras yang dikuasai
pemerintah selalu menjadi justifikasi untuk ”panen” beras di pelabuhan (baca:
impor).
Target tak tercapai
Kita tentu masih ingat,
betapa gaduhnya masalah beras sepanjang tahun 2015. Target pengadaan
gabah/beras yang dipatok pemerintah 2,7 juta ton setara beras, hingga akhir
Mei baru terealisasi 700.000 ton setara beras. Padahal, panen musim rendeng
merupakan tumpuan bagi Bulog dalam pengadaan gabah/beras60 persen dari target
setahun.
Kondisi itu
menimbulkan kepanikan pemerintah. Seperti biasanya, selalu dicari kambing
hitam jika terjadi kegagalan. Direktur Utama Bulog Lenny Sugihat dicopot dari
jabatan yang baru diemban seumur jagung karena dianggap sebagai sosok paling
bertanggung jawab. Namun, banyak pengamat berpendapat siapa pun dirutnya,
target pengadaan gabah/beras semester pertama tersebut sangat sulit
direalisasikan Bulog.
Penyebab utama adalah
molornya penandatanganan payung hukum pengadaan gabah/beras. Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan
Penyaluran Beras oleh Pemerintah baru ditandatangani 17 Maret 2015, atau saat
puncak panen musim rendeng hampir berlalu. Padahal, mekanisme pembelian gabah
oleh Bulog kepada petani harus melalui proses yang rumit dan dengan time lag yang panjang pula.
Seperti diketahui
selama ini Bulog tidak membeli gabah/beras langsung kepada petani, tetapi
melalui mitra-mitra Bulog yang notabene adalah lembaga profit oriented. Maka,
yang terjadi adalah hari terus berganti, padi di sawah kian menguning, dan
perut petani beserta keluarganya tak kuat lagi menanti. Ketika Bulog
bersiap-siap, panen raya padi sudah berlalu, gabah para petani sudah dibeli
para tengkulak dengan harga relatif murah.
Kegaduhan di ruang
publik terus berlanjut hingga penghujung 2015 dengan intensitas makin
memuncak. Orkestrasi penyelenggaraan pemerintah bahkan sempat mengalami
disharmoni saat Wakil Presiden Jusuf Kalla melontarkan pernyataan bahwa
pemerintah akan mengimpor 1,5 juta tonberas dari Thailand. Pernyataan itu
buru-buru dibantah Presiden Joko Widodo. Namun, belakangan publik dibuat
tercengang saat pemerintah menjilat ludahnya. Media gencar memberitakan
banjirnya beras impor di sejumlah daerah di Tanah Air.
Jemput bola
Pengalaman empiris
telah menunjukkan, harga gabah petani selalu jatuh saat puncak panen musim
rendeng. Kenyataannya, meski panen raya musim ini belum mencapai puncak, tren
penurunan harga gabah/beras di sejumlah daerah sentra produksi sudah terjadi
signifikan.
Mengingat proporsi
panen musim rendeng nasional mencakup lebih dari 60 persen panenan dalam
setahun, maka Bulog harus memaksimalkan pengadaan pada musim panen ini.
Sebagai anggaran
pelayanan publik (PSO), tahun ini Bulog menerima penugasan pemerintah untuk
menyerap gabah/beras petani 3,9 juta ton. Terdiri atas pengadaan lewat jalur
PSO 3,2 juta ton dan jalur komersial 700.000 ton. Bulog tidak boleh lagi
ketinggalan kereta, apalagi jadi justifikasi kebijakan impor beras yang
kental dengan nuansa perburuan rente.
Bulog harus sigap
melakukan tugasnya dalam menyerap gabah petani, tidak lagi mengandalkan
pengadaan oleh mitra-mitra Bulog yang hanya memperpanjang mata rantai
perdagangan. Bulog harus menjemput bola, memperbanyak dan memaksimalkan
kinerja satuan tugas pengadaan pada unit pengolahan gabah dan beras (UPGB).
Perlu dijalin kerja
sama dengan kelompok tani, gabungan kelompok tani, serta lembaga ekonomi
pedesaan lainnya. Upaya ini diharapkan mampu memperpendek mata rantai
penjualan gabah/beras sehingga lebih menguntungkan petani.
Bagi para petani,
panen musim rendeng merupakan panen paling menyulitkan. Hal ini terjadi
karena panen berlangsung saat curah hujan masih cukup tinggi. Pada kondisi
cuaca seperti itu intensitas sinar matahari yang menjadi andalan petani dalam
pengeringan gabah sangat kurang sehingga pengeringan menjadi sangat krusial.
Menurut pengamatan penulis, banyak gabah petani yang terpaksa ditolak oleh
Bulog karena tidak memenuhi syarat kualitas kadar air maksimum 14 persen.
Kehadiran satgas UPGB
di tengah-tengah petani yang sedang kesulitan pengeringan gabah tentu sangat
dirasakan manfaatnya. Di gudang UPGB milik Bulog selain dilengkapi sarana
lantai jemur yang cukup luas juga dilengkapi silo-silo pengeringan dengan
kapasitas memadai. Sarana-prasarana ini harus dimanfaatkan secara optimal
untuk membantu para petani menyelamatkan hasil panen mereka.
Bersaing tengkulak
Sudah menjadi aksioma
generik bahwa setelah panen raya musim rendeng berlalu maka harga gabah/beras
petani akan naik lagi di atas ketentuan harga pembelian pemerintah (HPP).
Kondisi ini akan menyulitkan Bulog dalam mengadakan gabah/beras untuk
memenuhi target yang telah ditentukan, seperti terjadi pada tahun lalu.
Maka, mulai sekarang
harus dipikirkan payung hukum bagi Bulog untuk membeli gabah/beras petani di
atas ketentuan HPP. Pemberian keleluasaan kepada Bulog seperti ini
dimaksudkan agar lembaga ini bisa bersaing dengan paratengkulak sehingga para
petani merasakan manfaat kehadiran lembaga ini.
Tanpa payung hukum,
dapat dipastikan petugas Bulog akan tiarap, tidak mau membeli gabah/beras
petani karena takut terjerat permasalahan hukum. Katakanlah harga beras 10-15
persen lebih tinggi dari ketentuan HPP, atau lebih tinggi Rp 730-Rp 1.095 per
kilogram. Untuk pengadaan beras 2 juta ton, pemerintah harus menyediakan
tambahan anggaran Rp 1,46 triliun-Rp 2,19 triliun. Nominal anggaran yang
sangat kecil jika dibandingkan dengan kedaulatan pangan bangsa yang tak
ternilai harganya.
Kualitas gabah
Selama ini Bulog
selalu beralasan bahwa kualitas gabah yang dihasilkan petani jelek, sehingga
penyerapan sangat rendah.Padahal, sudah ada Peraturan Menteri Pertanian Nomor
71/Permentan/PP.200/12/2015 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah di Luar
Kualitas oleh Pemerintah. Permentan ini memberi keleluasaan Bulog untuk
membeli gabah petani dalam segala kualitas.
Sebagai ilustrasi,
sesuai Inpres No 5/2015 GKP dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa10
persen harganya Rp 3.700 per kg di tingkat petani danRp 3.750 per kg di
penggilingan. Harga GKP dengan kualitas di luar ketentuan seperti yang diatur
dalam Inpres No 5/2015 dapat dibaca dalam tabel rafaksi yang tertuang dalam
Permentan No 71/2015.
Sejarah panjang bangsa
ini telah mencatat bahwa dalam sebutir beras terkandung berbagai dimensi
kehidupan. Mulai dari dimensi ekonomi, sosial, keadilan, hak asasi,
nasionalisme, spiritual, hingga dimensi politik. Sampai kapan pun
permasalahan beras akan selalu menjadi permasalahan bangsa dari waktu ke
waktu, dari generasi ke generasi.
Kenyataan itu pula
barangkali yang mendasari pidato Presiden Soekarno saat peletakan batu
pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB)
tahun 1952.
Presiden pertama RI
tersebut mengingatkan: ”Tiap tahun
zonder ketjuali, zonder pauze, zonder ampun, soal beras ini akan datang; dan
akan datang crescendo, makin lama makin hebat, makin lama makin ngeri, selama
tambahnja penduduk jang tjepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnja bahan
makanan jang tjepat pula!”.
Saatnya kita bangun
kedaulatan pangan negeri ini, antara lain melalui penguatan cadangan beras
pemerintah. Terlalu berat ongkos sosial politiknya jika masalah pangan bangsa
selalu kita pertaruhkan dengan kebijakan-kebijakan serba instan. Saatnya Bulog
kembali ke semangat awal, kembali ke rahim rakyat yang melahirkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar