Pemimpin Generasi Y
M Subhan SD ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 17 Maret
2016
Apa mau dikata,
pengalaman berdemokrasi kita saat ini makin pahit. Terlalu banyak energi dan
biaya politik dikeluarkan, tetapi potret politik negeri ini masih bobrok
saja. Banyak pemimpin eksekutif, legislatif, yudikatif terlibat korupsi,
bermasalah dengan moralitas, kekerasan, dan narkoba. Banyak pemimpin tidak
malu mempertontonkan aib. Bukankah pemimpin itu sejatinya memberi
keteladanan?
Kasus terbaru adalah penangkapan
Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi karena kasus narkoba. Nofiadi
dicokok Badan Narkotika Nasional (BNN) di rumah orangtuanya, Mawardi
Yahya-yang juga mantan Bupati Ogan Ilir, di Palembang, Minggu (13/3). Nofiadi
belum sebulan dilantik setelah menang pada pilkada serentak 9 Desember 2015.
Pertanyaannya adalah
bagaimana proses perekrutan pemimpin di daerah? Bagaimana pertanggungjawaban
parpol pengusung? Demokrasi bukannya dijadikan instrumen untuk memperbaiki
sistem dan perekrutan politik, melainkan justru diperalat untuk meloloskan
ambisi-ambisi kekuasaan. Ternyata memang tidak mudah mempraktikkan demokrasi
yang diharapkan bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin ideal. Yang muncul justru
banyak pemimpin yang mencemaskan.
Ironinya Nofiadi adalah
pemimpin muda. Usianya baru 28 tahun (kelahiran 1988). Artinya, Nofiadi masuk
generasi Y, seperti yang tengah diulas Kompas, Senin (14/3) sampai Kamis
(17/3). Generasi Y atau generasi milenial (kelahiran 1980-1999) memiliki ciri
berpikir strategis, inspiratif, inovatif, interpersonal, energik, antusias,
egaliter, digital native, dan diprediksi menjadi pemimpin yang kuat.
Ciri generasi ini
terlihat kentara di korporasi. Gaya mereka mengubah kultur dan cara kerja
korporasi. Menurut Neil Howe dan William Strauss (Millennials Rising: The Next Great Generation, 2000), generasi Y
(mereka mengelompokkan generasi ini kelahiran 1982-2002) menjadi generasi
yang peduli pada masalah-masalah sosial. Generasi Y diprediksi memberi
kontribusi dan memperkuat lembaga-lembaga sipil dan negara.
Generasi Y, kata Howe
dan Strauss, bisa menjadi pahlawan (hero) jika mampu mengatasi krisis. Jika
gagal, energi besar mereka bisa berubah negatif dan mengakibatkan
kediktatoran dan kerugian-kerugian lainnya. Karena itu, ada pandangan sinis
pula bahwa generasi Y itu tidak suka diatur, kurang loyal, tidak sabar, dan
lebih instan. Anggap saja pandangan sinis itu sebagai pelecut bagi generasi
Y.
Di panggung politik,
banyak pemimpin generasi Y bermunculan. Sebut beberapa nama, Bupati Dharmasraya
Sutan Riska Tuanku Kerajaan (kelahiran 1989), Bupati Trenggalek Emil
Elestianto Dardak (kelahiran 1984) dan wakilnya M Nur Arifin (kelahiran
1990), Gubernur Zumi Zola (kelahiran 1980), sebelumnya Gubernur Lampung Ridho
Ficardo (kelahiran 1980), dan Bupati Bangkalan Makmun Ibnu Fuad (kelahiran
1987).
Mereka menjadi harapan
publik untuk membangun dan menularkan karakter generasi Y menjadi kultur
dalam entitas masing-masing. Pemimpin muda, jika melahirkan semangat dan
kultur baru sesuai ciri generasi Y, tentu menjadi "darah segar"
yang membawa perubahan sekaligus kesembuhan bagi demokrasi kita yang sakit
ini.
Sebaliknya, jika
mereka tak mampu keluar dari kooptasi dan justru terwarisi tradisi lama
generasi X yang cenderung egois, misalnya, mereka akan menjadi pemimpin yang
tunaharapan. Sekarang ini Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang
muda dan menyegarkan, bukan mencemaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar