Indonesia dan RCEP
Iman Pambagyo ; Anggota
Trade Policy (TRAP) Forum;
Mantan Duta Besar Indonesia untuk
WTO
|
KOMPAS, 15 Maret
2016
Di tengah diskursus
publik mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kemitraan Trans-Pasifik, serta
prakarsa kemitraan ekonomi lainnya dengan Australia, Uni Eropa dan Asosiasi
Perdagangan Bebas Eropa yang sedang ditangani pemerintah, ada satu prakarsa
yang tampaknya belum menjadi perhatian, tetapi sangat penting bagi Indonesia.
Prakarsa dimaksud adalah Regional
Comprehensive Economic Partnership atau RCEP.
Berawal pada 2011
ketika menjadi ketua ASEAN, Indonesia menelurkan gagasan untuk
mengonsolidasikan lima kesepakatan perdagangan bebas (free trade area/FTA)
yang melibatkan ASEAN—yakni antara sepuluh negara anggota ASEAN dan dengan
Australia-Selandia Baru, dengan Tiongkok, dengan Korea, dengan Jepang, dan
dengan India —menjadi satu perjanjian yang mengikat 16 negara anggotanya
dengan pasar sebesar 3,4 miliar jiwa.
Gagasan ini secara
konseptual disepakati oleh para pemimpin ASEAN pada November 2011 untuk
kemudian diperkenalkan kepada enam negara mitra FTA ASEAN. Melalui proses
panjang dan perdebatan yang dalam, akhirnya para pemimpin dari 16 negara di
atas sepakat pada November 2012 untuk meluncurkan perundingan RCEP mulai 2013
dengan target penyelesaian pada akhir 2015 yang lalu.
Ada dua pertimbangan
strategis ketika Indonesia memperkenalkan konsep RCEP ini pada 2011. Pertama,
mengonsolidasikan 5 ASEAN+1 FTA merupakan proses alamiah bagi ASEAN untuk
memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi regional setelah MEA terwujud
pada akhir 2015.
Hal ini sejalan dengan
semakin berkembangnya paradigma mata rantai pasokan regional dan global yang
perlu dirangkul oleh ASEAN untuk menjadikan kawasan Asia Timur ini sebagai
motor utama perekonomian dunia di masa depan.
Kedua, sudah sejak
2006-2007 baik Tiongkok maupun Jepang mendesak agar ASEAN menyepakati
prakarsa ASEAN Plus Three (digagas Tiongkok dan melibatkan ASEAN, Tiongkok,
Jepang, dan Korea) dan Closer Economic
Partnership in East Asia atau CEPEA (digagas Jepang dan melibatkan ASEAN,
Australia, India, Jepang, Korea, Tiongkok, dan Selandia Baru).
Dapat dikatakan bahwa Tiongkok
dan Jepang bersaing keras agar ASEAN dapat menyetujui usulan masing-masing
negara ini. Agar ASEAN tidak berada dalam posisi memilih di antara kedua
gagasan itu dan untuk menjaga sentralitas ASEAN di kawasan, maka Indonesia
bersama ASEAN menawarkan konsep RCEP yang kemudian disetujui baik oleh Jepang
maupun Tiongkok.
Proses perundingan
Mungkin karena digagas
pertama kali oleh Indonesia, atau karena postur geopolitik dan geoekonomi
Indonesia yang dominan di ASEAN, maka para menteri ASEAN sepakat untuk
menunjuk Indonesia sebagai koordinator ASEAN guna merundingkan RCEP.
Para menteri dari 15
negara RCEP juga sepakat untuk menunjuk Indonesia sebagai ketua komite
perundingan RCEP yang bertugas mengelola proses perundingan baik dari aspek
substansi maupun administrasi. Untuk tugas yang terakhir ini, komite
perundingan RCEP dibantu oleh Sekretariat ASEAN yang juga menangani lalu
lintas komunikasi di antara 16 delegasi.
Sejak dimulai pada
2013, Komite Perundingan RCEP telah mengadakan 11 kali pertemuan, terakhir di
Brunei pada 15-19 Februari 2016. Perundingan RCEP ini memang tidak dapat
diselesaikan pada akhir 2015 sebagaimana diamanatkan oleh 16 kepala
pemerintahan peserta RCEP. Ada tiga alasan mengapa perundingan RCEP perlu
dilanjutkan pada 2016 ini.
Pertama, bagi ASEAN
mengonsolidasikan lima FTA menjadi satu tidak semudah dibayangkan sebelumnya.
Setiap negara ASEAN memiliki sensitivitas berbeda terhadap mitra runding yang
berbeda. Apa yang dapat ditawarkan ke satu negara mitra FTA ASEAN, misalnya,
bisa saja menjadi sensitif untuk ditawarkan kepada negara mitra yang lain.
Kedua, tidak semua
negara mitra ASEAN telah memiliki hubungan FTA satu sama lain yang akan
memudahkan proses konsolidasi. Tiongkok, misalnya, tidak atau belum memiliki
FTA atau perjanjian kemitraan ekonomi lainnya dengan India. Demikian pula
India, ia belum memiliki hubungan kemitraan dengan Jepang. Wajar karenanya
bila negara-negara mitra ASEAN ini menjadi sangat hati-hati dalam proses
perundingan karena RCEP akan menjadi perikatan FTA atau kemitraan bagi
mereka.
Ketiga, perundingan
RCEP berlangsung di tengah berjalannya perundingan ”mega-regional FTA”
lainnya seperti TPP dan US–EU Trans-Atlantic Trade and Investment
Partnership. Masing-masing prakarsa regional ini tentu memiliki latar
belakang dan dinamikanya sendiri, tetapi tidak dapat disangkal bahwa
ketiganya menciptakan tekanan satu sama lain, baik dari cakupan dan kedalaman
komitmen yang dirundingkan maupun dari aspek waktu.
Tentunya menarik untuk
melihat RCEP dan TPP dalam konteks persaingan geopolitik di Asia Timur antara
Amerika Serikat dan Tiongkok. Namun, dalam proses perundingan RCEP, para
perunding dari 16 negara peserta RCEP sangat memfokuskan perhatiannya pada
upaya mewujudkan kawasan ini sebagai mesin pertumbuhan baru dunia dengan
ASEAN sebagai pusatnya.
Dan, itu bukannya
tanpa alasan: negara-negara seperti Jepang dan Korea, disusul Tiongkok, dan
lainnya, telah berinvestasi besar di negara-negara ASEAN. Lalu lintas barang,
jasa, dan tenaga profesional di kawasan ini terbilang yang sangat intensif di
Asia Pasifik dan telah membentuk mata rantai pasokan regional yang cukup kuat
dibandingkan, misalnya di antara negara-negara peserta TPP.
ASEAN memiliki
kepentingan yang besar untuk memastikan apakah perundingan RCEP dapat dituntaskan
tahun ini dan tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar