Perbuatan versus Perbuatan
Azrul Ananda ;
Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 29 Juli 2015
DIA orang baik! Dia orang jahat! Dia lebih banyak baiknya!
Dia lebih banyak jahatnya!
*****
Mengikuti Tour de France 2015, sulit menghindari
pembicaraan soal doping. Khususnya soal Lance Armstrong.
Penggemar balap sepeda atau tidak, kebanyakan orang kenal
Lance Armstrong. Selamat dari kanker testis, dia berlatih serius dan
menciptakan ”keajaiban”. Memenangi Tour de France sebanyak tujuh kali
berturut-turut, antara 1999 hingga 2005.
Cerita Armstrong begitu luar biasa sehingga masuk kategori
”too good to be true” alias terlalu ajaib.
Dan prestasi itu ternyata memang terlalu ajaib. Setelah
bertahun-tahun melawan tuduhan doping, akhirnya kebenaran mencuat ke
permukaan, disusul pengakuan.
Lance Armstrong melakukan doping untuk meraih prestasi
itu. Menggunakan EPO, human growth hormone, testosteron, untuk meningkatkan
performa.
Semua itu akan ditampilkan di layar lebar dalam waktu
dekat, dalam sebuah film berjudul The Program. Aktor Ben Foster, yang pernah
main di X-Men, tampil memerankan pembalap asal Texas tersebut.
Tujuh gelar Tour de France-nya pun dicabut.
Uniknya, sekarang Tour de France 2000 hingga 2006
dinyatakan tak punya pemenang. Mengapa demikian? Sebab, sudah menjadi rahasia
umum, mereka yang finis di belakang Armstrong pun melakukan ”program” yang
sama!
Sampai hari ini, perdebatan soal Armstrong itu terus
berjalan.
Apakah dia orang jahat? Karena menggunakan doping untuk
meraih prestasi begitu luar biasa.
Apakah dia kompetitor normal? Sebab, dia bertarung melawan
pesaing yang melakukan hal sama.
Apakah dia tetap bisa dibilang sebagai orang baik?
Sebab, bagaimanapun, kisah hidupnya melawan kanker telah
menginspirasi jutaan orang untuk mengejar keajaiban. Menginspirasi mereka
yang juga punya kanker untuk berjuang mengejar kesembuhan, menginspirasi
lainnya untuk hidup lebih sehat lewat olahraga.
Dan bagaimanapun, prestasinya telah membantu memopulerkan
olahraga cycling ke level yang begitu tinggi. Dia telah memperkaya banyak
perusahaan yang mensponsorinya. Dia bahkan memperkaya perusahaan-perusahaan
yang tidak mensponsorinya, tapi berada di industri yang bersaing dengan
sponsor-sponsor Armstrong!
Sampai hari ini, sikap yang mungkin paling dianggap benar,
yang paling politically correct, adalah menghujatnya.
Tapi, sampai kapan? Ada ungkapan, ”Time heals all wound.”
Waktu akan menyembuhkan segala luka.
Mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan ada kesadaran
baru, yang memaafkan Armstrong, dan mengembalikan gelar-gelarnya secara
resmi. Sebab, bagaimanapun, dia bersaing melawan orang-orang yang sangat
mungkin juga doping (tidak sedikit yang terbukti juga doping).
Kisah dan perdebatan soal Armstrong itu membuat saya
banyak berpikir tentang perbuatan versus perbuatan.
Secara pribadi, saya tidak berani menghujat Armstrong.
Walau dia terbukti doping, apa yang dicapainya adalah sesuatu yang
benar-benar menakjubkan.
Gampangnya begini: Seandainya saya doping dan berlatih
keras, apakah saya mampu menjadi juara Tour de France? Mungkin tetap tidak
mungkin! Tetap harus punya bakat, tetap harus bekerja keras.
Armstrong, yang jelas-jelas punya bakat hebat, tetap harus
berlatih gila-gilaan. Armstrong tetap harus berjuang menyelesaikan perlombaan
yang panjangnya tiga pekan, tetap harus jatuh bangun menaklukkan
lawan-lawannya.
Dan dia memang pernah jatuh, lalu bangun lagi untuk
mengalahkan lawan-lawannya.
Berapa banyak orang, doping atau tidak, punya tekad dan
kemauan sebesar Armstrong?
Dan sekali lagi, entah berapa banyak orang yang selamat
dari kanker karena terinspirasi oleh kisahnya.
Bukankah banyak orang selalu bilang, tidak ada manusia
yang sempurna?
Ini bukan berarti saya mendukung Armstrong. Tapi, saya
termasuk orang yang paling sebal melihat orang menuding orang lain buruk.
Padahal, dia sendiri belum tentu baik.
Lebih parah lagi kalau dia sendiri ternyata juga tidak
pernah bekerja keras mengejar sesuatu yang luar biasa, tidak pernah melakukan
prestasi apa-apa… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar