Pemilu Serentak yang Tidak Serentak
James Luhulima ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
01 Agustus 2015
Pemilihan kepala daerah serentak di 269 daerah yang
dijadwalkan diselenggarakan pada 9 Desember 2015 tampaknya tak akan
terlaksana secara mulus. Hal itu karena hingga batas akhir pendaftaran calon
peserta pilkada, 28 Juli 2015 pukul 16.00, beberapa Komisi Pemilihan Umum
daerah hanya mendaftarsatu pasangan calon peserta pilkada.
Padahal, Pasal 89 Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015
menetapkan, jika tidak ada calon lain, pilkada di daerah dengan calon tunggal
akan ditunda hingga pilkada serentak berikutnya (tahun 2017). Juga, menurut
Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, jika di suatu calon daerah hanya ada calon
tunggal, masa pendaftarannya akan diperpanjang tiga hari. KPU memberikan jeda
waktu tiga hari untuk sosialisasi sebelum pendaftaran waktu tiga hari
tambahan, 1-3 Agustus 2015.
Menurut catatan Kompas, 30 Juli 2015, ada 14 daerah yang
hanya memiliki satu pasangan bakal calon, yakni Kabupaten Minahasa Selatan
(Sulawesi Utara); Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Blitar
(Jawa Timur); Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah); Kabupaten Serang (Banten);
Kabupaten Asahan (Sumatera Utara); Kota Tasikmalaya (Jawa Barat); Kabupaten
Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur); Kota Samarinda (Kalimantan Timur);
Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat); Kota Tidore Kepulauan (Maluku); serta
Kabupaten Sorong dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat). Sementara di
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Sulawesi Utara) belum ada calon yang
mendaftar.
Pertanyaannya, bagaimana jika hingga batas waktu tambahan
itu benar-benar tidak ada tambahan calon pasangan yang mendaftar? Itu satu
soal! Soal lainnya adalah banyak yang khawatir akan muncul pasangan calon
semu (asal ada saja) untuk memungkinkan pilkada serentak berlangsung
serentak.
Kekhawatiran itu muncul karena ada tambahan waktu ekstra
yang diberikan KPU. Sesuai Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, tambahan waktu
itu tiga hari. Namun, dengan adanya waktu tiga hari untuk sosialisasi,
tambahan waktunya jadi enam hari. Dalam waktu enam hari, banyak hal yang
dapat terjadi, termasuk kemungkinan memunculkan pasangan calon semu.
Jika di suatu daerah hanya ada satu pasangan calon, sambil
menunggu pilkada serentak berikutnya, di daerah itu pelaksana tugas kepala
daerah ditunjuk oleh otoritas di atasnya.
Tidak adil
Situasi seperti itu tentunya tidak adil bagi pasangan
calon petahana (incumbent) yang
kuat mengingat kehadiran mereka sebagai calon tunggal sama sekali bukan salah
mereka. Repotnya, di daerah-daerah tempat pasangan calon petahananya kuat,
partai-partai oposisi enggan mengajukan pasangan calon sebagai lawan.
Salah satu contoh adalah di Kota Surabaya, yakni pasangan
Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana yang diusul PDI Perjuangan. Posisi pasangan
calon petahana ini sangat kuat, kemungkinan pasangan ini untuk menang dalam
pilkada di Surabaya sangat besar. Akan tetapi, karena partai koalisi
lawannya, Koalisi Majapahit, tidak mengajukan pasangan calon, Tri Rismaharini-Wisnu
Sakti Buana otomatis menjadi calon tunggal dan kehilangan kesempatan untuk
terus melanjutkan masa baktinya.
Dengan menjadi calon tunggal, pasangan Tri
Rismaharini-Wisnu Sakti Buana harus menunggu hingga pilkada serentak
berikutnya tahun 2017. Sementara mereka menunggu, Surabaya akan dipimpin oleh
pelaksana tugas kepala daerah yang wewenangnya tidak sama dengan kepala
daerah. Itu berarti juga tidak adil bagi masyarakat Surabaya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menawarkan tiga opsi
(pilihan). Pertama, meminta kepada daerah, yang memiliki calon tunggal,
menggunakan waktu tambahan untuk memunculkan pasangan calon pendamping.
Kedua, merujuk pemilihan kepala desa, di mana calon kepala desa melawan
bumbung kosong.
Untuk bisa berkuasa, calon harus mengalahkan bumbung
kosong itu. Ketiga, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu). Namun, opsi ketiga ini, oleh Mendagri, dinilai tidak relevan karena
tidak ada unsur kegentingannya. Dari 269 daerah, hanya ada 14 daerah yang
memiliki calon tunggal, dan satu daerah tidak memiliki calon sama sekali.
”Memaksakan” munculnya pasangan calon lain di luar calon
tunggal dalam masa tambahan waktu dirasakan kurang pas, apalagi jika ada
kegiatan transaksional di baliknya. Cara penyelesaian seperti itu secara
prosedur benar, tetapi tidak benar jika dikaitkan dengan prinsip dan hakikat
demokrasi.
Penyelesaian yang paling masuk akal bagi daerah yang
memiliki calon tunggal adalah memilih opsi kedua, yang merujuk pada pilkades
yang diikuti calon tunggal. Namun, untuk menggunakan opsi kedua itu, masih
perlu dicarikan dasar hukumnya.
Keadaan seperti itu menunjukkan ada ketidaksempurnaan
dalam penyusunan undang-undang karena tidak memperhitungkan seluruh
kemungkinan persoalan yang dapat muncul dari penyelenggaraan pilkada
serentak.
Jika saja di dalam UU itu ada keharusan bagi setiap partai
politik yang mengajukan pasangan calon, kemungkinan munculnya pasangan calon
tunggal dapat dihindari. Demikian pula dengan daerah yang sama sekali tidak
memiliki pasangan calon.
Namun, pada saat ini, melihat ke belakang tidak banyak
gunanya. Karena, di depan kita ada 14 daerah yang memiliki pasangan calon
tunggal, dan satu daerah yang sama sekali tidak mempunyai pasangan calon.
Pemerintah perlu mencarikan jalan keluarnya tanpa ada yang merasa dirugikan
atau merasa diperlakukan tidak adil agar jangan sampai terjadi pilkada
serentak yang tidak serentak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar