Manusia Miopik dan Korupsi
Andi Irawan ;
Dosen Universitas Bengkulu
|
KORAN
TEMPO, 05 Agustus 2015
Dari persepektif kepentingan,
politik dengan definisi siapa yang berkuasa, kapan, dan bagaimana mendapatkan
kekuasaan adalah niscaya dengan syarat dalam bingkai kepentingan bangsa.
Artinya, dalam politik kepentingan, politikus dan parpol itu tidak boleh
teralienasi (terkucil) dari kepentingan umum dan kepentingan bangsa.
Seorang politikus atau satu partai
politik sah untuk menginginkan kekuasaan dan mendapatkan kekuasaan di
lembaga-lembaga negara pusat dan daerah. Tapi yang perlu digarisbawahi dengan
tebal bahwa kekuasaan itu bukan untuk kepentingan personal atau kelompok
semata, tapi juga kepentingan personal dan golongan itu merupakan subordinasi
dan tidak merugikan kepentingan yang lebih besar (kepentingan bersama).
Tapi, masalahnya, politikus itu
umumnya berkarakter manusia miopik. Yang saya maksudkan dengan manusia miopik
itu adalah sosok yang hanya sangat peduli akan kepentingan dirinya. Paling
luas kepentingan yang menjadi kepedulian seorang politikus adalah kelompok
dan golongannya. Maka adalah suatu yang akan sangat mudah, ketika seorang
memegang kekuasaan, terjadi perilaku korup. Karena kekuasaan yang diemban
akan sangat mudah untuk diabdikan pada kepentingan pribadi dan kelompok
dibanding kepentingan bersama.
Manusia miopik dalam politik
adalah indentik dengan manusia ekonominya Adam Smith. Adam Smith dalam
bukunya, Wealth of Nation (1776),
berkata: "Kita mendapatkan makan
malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir atau pembuat
roti, tetapi dari penghargaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan
karena kemanusiaan mereka tapi karena cinta mereka pada dirinya sendiri....
Dengan mengejar kepentingan sendiri dia secara tak sengaja mempromosikan
kepentingan publik."
Politikus berkarakter manusia
miopik memposisikan aturan, wewenang, perundang-undangan, bahkan promosi
jabatan publik tertentu sebagai komoditas. Semua itu untuk ditransaksikan
kepada siapa yang berani membayar dengan harga tinggi.
Kita tidak perlu terobesesi
menghilangkan perilaku manusia miopik itu. Karena itu hal yang sangat tidak
mungkin dilakukan. Yang perlu kita lakukan adalah memahami paradigma
berperilaku manusia miopik dalam rangka mengambil langkah antisipasi
mereduksi perilaku eksploitatifnya yang merugikan.
Beberapa hal yang perlu dipahami
tersebut adalah sebagai berikut: pertama, aturan dan wewenang adalah
komoditas yang bisa ditransaksikan di satu sisi, sedangkan pasar politik di
mana transaksi itu terjadi adalah pasar monopoli karena aturan,
perundang-undangan, dan regulasi adalah wewenang segelintir orang yang
menduduki posisi eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan parpol adalah
sumber pamasoknya.
Dalam konteks ini perilaku eksploitatif
bisa dicegah dengan mengintroduksi: 1) transparansi. Semua kekayaan, aset,
sumber masuk-keluar dana parpol sebagai organisasi, semua pimpinan parpol
pusat dan daerah dan pejabat publik serta keluarga inti mereka harus
ditunjukkan secara transparan kepada publik melalui lembaga audit negara yang
berwenang. 2) Para politikus dan parpol harus dipaksa membangun integritas
mereka, tentu saja bukan dengan penataran moral dan agama, melainkan dengan
menciptakan aturan bahwa semua tambahan kekayaan finansial, aset, dan
harta-harta lainnya selama menjabat sebagai pengurus parpol (pusat dan
daerah) dan para pejabat publik dan keluarga inti mereka harus mempunyai underlying transaction yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Kedua, negara harus menciptakan
konstrain (kendala) yang menyebabkan para politikus dan pejabat publik bisa
mengambil keputusan bahwa perilaku korup mereka tidak layak dilakukan. Logika
pragmatis para manusia miopik adalah suatu tindakan (korupsi) akan selalu
layak dilakukan selama tambahan benefit yang didapat dari perilaku tersebut
lebih besar daripada tambahan biaya yang mereka terima.
Menghentikan perilaku korup hanya
akan efektif jika negara bisa memberikan ekspektasi kepada calon pelakunya
bahwa tambahan biaya dari perilaku korup menjadi lebih besar daripada
manfaatnya. Di sinilah urgensi hukuman berat terhadap tindakan yang terbukti
secara hukum merugikan bangsa dan negara, termasuk hukuman mati.
Tetapi, tentu saja, itu baru akan
efektif jika lembaga negara penegak hukumnya bisa menjalankan tugas penegakan
hukum itu dengan baik. Itu juga bermakna yang paling awal harus direformasi
dan dibersihkan dari karakter manusia miopik adalah aparatur penegak hukum,
khususnya hakim, jaksa, dan polisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar