Senin, 10 Agustus 2015

Inklusivitas Keagamaan

Inklusivitas Keagamaan

Asep Salahudin  ;   Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Universitas Pasundan, Bandung
                                                       KOMPAS, 07 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seandainya hari ini ada sebagian ormas keagamaan yang mempertanyakan ulang eksistensi dasar negara, menganggap demokrasi sebagai sistem "kafir" dan Pancasila hanya titik antara, nalar seperti ini tak hanya mencerminkan sesat pikir, tetapi juga melambangkan akal yang tak pernah digunakan untuk belajar dari sejarah pergerakan nasional.

Membuka lembaran sejarah, akan dengan mudah kita temukan fakta betapa para leluhur kita dahulu memperjuangkan kemerdekaan demi hadirnya "keindonesiaan" dengan sikap lapang tanpa dibebani sentimen agama, budaya, dan etnisitas. Mereka bergerak bahu-membahu demi mewujudkan mimpi Indonesia yang terbebas dari sekapan kolonial Belanda dan Jepang. Dengan imajinasi yang luhur bagaimana misalnya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 diterakannya jalan Indonesia, "Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air". Prapolitik (sentimen etnisitas dan agama) ditanggalkan demi memburu politik kebangsaan yang berdaulat, lapang, non diskriminatif dan kosmopolit.

Gerakan keagamaan

Masa pra-kemerdekaan tak sedikit organisasi berbasis keagamaan didirikan. Akta kelahiran mereka lebih tua dari usia "Indonesia", memberikan kontribusi besar terhadap konsep diri keindonesiaan itu di kemudian hari. Sebut saja Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), atau jauh sebelum itu Serikat Dagang Islam (1905) dan Serikat Islam (1912). Dari kelompok Katolik lahir Indische Katholieke Partij (1918), Christelijke Ethische Partij (1917), dan pada 22 Februari 1925 umat Nasrani melahirkan Partai Katolik Djawi di Yogyakarta yang menjadikan bahasa Melayu bahasa resmi partai dengan keanggotaan tak dibatasi hanya orang Jawa. Semua gerakan keagamaan itu didirikan dengan trayektori imajinasi politik kebangsaan yang kuat: hadirnya Indonesia merdeka.

Walau mereka berlatar agama dan berkiprah dalam penyadaran teologis bagi umatnya, politik yang ditatingnya justru melampaui itu. Organisasi yang didirikan satu tarikan napas dengan gerakan nasionalisme sekuler lain, semisal  Partai Nasionalis Indonesia (1927), Komunisme-Sosialisme (PKI), dan Indische Partij  yang didirikan EFE Douwes Dekker (1912). Begitu juga gerakan yang mengusung sentimen kedaerahan mereka satu haluan dengan gerakan keagamaan dan partai nasionalis sebut saja Paguyuban Pasundan (1920), Serikat Sumatra (1918), Perkumpulan Ambon (1912), Perkumpulan Kaum Betawi (1923), apalagi dengan kaum mudanya, semisal Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong  Minahasa (1918), Jong Celebes, Jong Ambon, dan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1922).

Semua aliran itu yang kemudian membentuk sungai-istilah Benedict Anderson-imagined political community yang kian mempercepat Indonesia yang diimpikan menemukan raganya. Terutama setelah dibentuk BPUPKI (1 Maret 1945) dan memuncak 17 Agustus 1945 ketika Soekarno dan Hatta atas nama seluruh rakyat  memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dalam sidang-sidang BPUPKI yang dipimpin Radjiman Wediodiningrat, manusia pergerakan ini dengan sangat visioner meletakkan dasar negara. Satu sama lain dengan nalar kuat dan wawasan luas  mengusulkan sila demi sila. Soekarno, misalnya, tepat pada 1 Juni 1945 (kemudian ditahbiskan sebagai hari lahir Pancasila), mengusulkan apa yang disebutnya dengan Pancasila yang meliputi: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Sebelum pada akhirnya disepakati Pancasila sebagaimana yang kita dapati hari ini.  Pancasila sebagai titik temu (frame of reference) sekaligus alasan kita untuk melakukan kebaikan bersama (public good) dan hasrat abadi untuk tetap bersatu (a living and active coorporate will).

Musyawarah mufakat jadi jalan tengah atau mungkin selaras dengan apa yang disebut Jurgen Habermas "demokrasi deliberatif" di mana proses bernegara diacukan pada poros argumentasi dan tindakan komunikasi dengan keberpihakan ke kedaulatan dan kepentingan bersama. Termasuk dalam peristiwa penghapusan redaksi, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dan "orang Indonesia asli dan beragama Islam" dalam satu pasal UUD.

Fakta-fakta seperti ini semakin menegaskan betapa the founding fathers tidak saja cermat melihat keindonesiaan yang bineka, tetapi juga menjadikan kebinekaan itu sebagai bagian dari hidup, menjadi pengalaman dari proses berbangsa dan bernegara. Maka, ketika harus mengambil keputusan fundamental yang menyangkut urusan bangsa, segenap  ego sektoral dikuburkan. Ketika mendiskusikan dasar negara, yang menjadi acuannya adalah kemaslahatan bersama, nilai-nilai universal, dan kearifan perenial.

Melampaui fanatisme

Persoalan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) mereka diskusikan dengan akal sehat dan akhirnya menghasilkan jalan keluar yang memuaskan segenap pihak. Berbanding terbalik  zaman gelap Orde Baru yang memandang ihwal SARA sebagai  sesuatu yang tabu dipercakapkan. Bukannya diselesaikan malah dihindari dan atau dibiarkan "negara" mengambil alih penyelesaiannya dengan cara menebar teror dan kekerasan.

"Bangsa" yang mereka impikan dan perjuangkan itu tak boleh dikorbankan atas nama nafsu kekuasaan sektarian. Bisa jadi alasan yang mengendap dalam layar bawah sadar manusia pergerakan  adalah bahwa menghadapi kolonial saja dapat bersatu, mengapa dengan bangsa sendiri tak bisa dicarikan titik temunya.

Sikap lapang yang ditampilkan organisasi keagamaan pra-kemerdekaan seharusnya jadi bahan refleksi sekarang  justru ketika mencuat banyak ormas keagamaan dan gerakan etnis kedaerahan hari ini  yang melakukan kontestasi politik dengan agenda tak jelas. Agama yang dulu bisa diposisikan segaris dengan jiwa kebangsaan tiba-tiba dihadirkan seolah-olah NKRI ini lengkap dengan dasar negara dan UUD 1945 adalah musuh keyakinannya, demokrasi dan pemilu dianggap haram, sementara sistem yang ditawarkannya ahistoris.

Kalau leluhur kita dengan sangat bijak mampu mendamaikan urusan teologis dengan persoalan sekuler kenegaraan, menjadi sangat mengherankan kalau kita sebagai ahli warisnya lebih terpikat pesona politik arkais yang dihujamkan pada semangat politik skolastik-teologis abad pertengahan yang belum tentu selaras   akar budaya Nusantara.

Tentu juga harus diakui bahwa dalam perjalanan bernegara ada banyak anomali yang mencuat ke permukaan. Sebut saja korupsi yang kian menggurita, kemungkaran yang menyala-nyala, birokrasi yang pongah, kerumunan penguasa yang bertingkah tengik tak ubahnya kaum kolonial, gerombolan politisi yang  kerjanya hanya memburu anggaran dan gejala terakhir  mereka tengah menghinakan dirinya sendiri dengan usulan dana aspirasi Rp 20 miliar untuk setiap anggota dewan, Pancasila yang dirampok penafsirannya selama 35 tahun oleh rezim despotik Orde Baru. Namun, kenyataan getir seperti ini tidak harus menjadi alasan "bubarnya" negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar