UN
dan Ujian Kejujuran (UK)
A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI
UIA Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2015
UJIAN Nasional (UN) 2015, untuk tingkat SMA
sederajat sudah dimulai sejak Senin, 13 April yang lalu. Berbeda dengan UN
tahun-tahun sebelumnya, UN pada masa kepemimpinan Anies Baswedan ini tidak
menjadi penentu kelulusan. Itu hanya sebagai alat pemetaan sekolah, syarat
masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, serta sebagai alat [intervensi]
kebijakan pemerintah terhadap sekolah tertentu.
Pada UN kali ini, diperkenalkan Indeks
Integritas Sekolah (IIS), yang dimaksudkan, antara lain, untuk menekan
sekolah agar berlaku jujur dalam pelaksanaan UN. Caranya, IIS dilakukan
dengan membuat perbandingan antara nilai UN dan nilai rapor harian. Apabila
terjadi deviasi yang (terlalu) mencolok antara nilai UN dan nilai harian pada
suatu sekolah, diduga kuat sekolah tersebut melakukan kecurangan dan dengan
begitu, sekolah tersebut dipandang memiliki integritas rendah.
Sebagai ikhtiar untuk menekan kecurangan di
satu pihak dan menumbuhkan kejujuran pada sekolah di lain pihak, penerapan
IIS patut diapresiasi.Namun, secara metodologi, cara dan teknik penetapan IIS
masih bisa diperdebatkan. Banyak teori yang bisa diujicobakan di sini. Hal
yang perlu dijaga, jangan sampai penetapan IIS itu berpotensi merugikan
pihak-pihak tertentu, siswa atau sekolah itu sendiri. Sekadar contoh, siswa
yang tekun dan jujur dalam mengikuti UN di sekolah yang berintegritas buruk,
ia bisa ditolak masuk Perguruan Tinggi. Sebaliknya, hanya berdasar jawaban
siswa pada UN, sekolah dipandang memiliki integritas buruk. Apakah ini tidak
berarti generalisasi yang kelewat longgar?
Di luar itu, tidak ada yang berubah pada UN
kali ini. Kebocoran dan berbagai kecurangan tetap terjadi. Seperti
diberitakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), yakni kebocoran,
kecurangan, sontek-menyontek, bahkan jual beli soal tetap terjadi. Malah
kebocorannya lebih canggih, karena beberapa paket soal diunggah ke google drive, sehingga beberapa hari
sebelum UN, banyak siswa sudah memiliki link
dan mengetahui soal UN. Lantas, kapan UN bebas dari kebocoran dan kecurangan?
Membangun karakter
kejujuran
Di luar UN, berbagai kecurangan juga terjadi,
mulai dari plagiarisme penulisan tugas akhir, sontek-menyontek dalam ujian,
upaya menghindar dari kewajiban dalam tugas individu maupun tugas kelompok
(ada siswa/mahasiswa yang hanya numpang nampang nama), hingga pengatrolan
nilai yang biasa dilakukan oleh oknum guru atau kepala sekolah.
Kenyataan ini diperparah oleh lingkungan dan
kultur sosial yang juga buruk (culas).Korupsi semakin menggila, dilakukan
secara berjemaah di semua lingkaran kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, sehingga kejujuran menjadi `makhluk langka'. Apa yang dinyatakan
Greg Barton, Indonesianis asal Australia, tentang tiga penyakit `kurang' yang
menggerogoti kekuatan bangsa ini, yaitu kurang akal (irrational), kurang matang (immature),
dan kurang menghargai nilai-nilai kejujuran (in-moral), ialah benar adanya.
Dalam keadaan demikian, bagaimana sekolah dan
para pendidik dituntut untuk membangun kejujuran? Disadari, sebagai insti
tusi pendidikan formal, sekolah dan para pendi dik memang selalu dituntut dan
ditempatkan sebagai pihak pertama yang harus bertanggung jawab. Di Amerika,
misalnya, apabila hal-hal buruk terjadi di masyarakat, spontan ditanyakan, `What is wrong with our education'?
Pertanyaan dan gugatan semacam ini bisa
dimenger ti, tetapi tidak adil bilamana semua kesalahan hanya ditimpakan ke
sekolah. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat ikut memikul tanggung jawab.
Pakar pendidikan Kevin Ryan dan Thomas Lickona, memandang masyarakat sebagai
`vital partner' dalam membangun karakter kejujuran (lihat, Characters development in school and
beyond, tt.).
Di sekolah, membangun karakter kejujuran tak
boleh dilihat pada output-nya saja, tetapi juga pada input dan prosesnya. Dalam
proses, ada dua hal penting yang mesti diperhatikan menurut James W
Komarnicki. Pertama, rancangan materi yang akan diberikan. Di sini, guru bisa
memilih dan menentukan karakter tertentu dari (universal virtue) yang ingin ditanamkan, termasuk menetapkan
target waktu dan metode yang digunakan, sehingga kemajuannya bisa dievaluasi
setiap saat.
Kedua, tingkat pemahaman siswa. Di sini, guru
perlu mengupayakan pemahaman sampai pada level tertinggi, mulai dari tingkat
pengetahuan (understanding level),
tingkat pemahaman (comprehension level),
dan tingkat pengamalan (application
level), (James W Komarnicki, How to
Teach Toward Character Development, 2004).
Aspek pengamalan, selain pemahaman dan
penghayatan, agaknya merupakan problem paling krusial dalam proses pendidikan
kita. Dakwah dan pendidikan kita sering kali hanya berputar-putar pada
tataran wacana, tidak sampai pada tingkat aplikasi. Adanya gap atau
disparitas antara pemahaman (teoritikal) dan kenyataan (praktikal)
menyebabkan pendidikan kita gagal menanamkan karakter kejujuran.
Dalam khazanah keilmuan Islam, jauh sebelum
dunia pendidikan mengenal Taksonomi Bloom, Imam Ghazali, dalam magnum opus-nya, Ihya' Ulum al-Din, sudah menekankan tiga tingkatan (tahapan)
penanaman kualitas-kualitas moral, yaitu tahap pemahaman, kognisi (al-ulum), sikap, afeksi (alahwal), dan tindakan, psikomotorik (al-a'mal). Transformasi dan
peningkatan moral dari sifat-sifat buruk yang destruktif (rub'u al-muhlikat) menuju
kualitas-kualitas moral yang konstruktif (rub'u
al-munjiyat) dilakukan melalui tiga tahapan di atas.
Dalam aplikasinya, Ghazali mengusulkan program
pembiasaan (al ta'wid wa al-mumarasah)
pada kualitas-kualitas moral (virtue)
dengan metode berbalik (bi thariqat
al-'aks). Maksudnya, dalam pandangan Ghazali, penyakit-penyakit moral
hanya bisa dihilangkan dengan lawannya, semisal bodoh dengan ilmu, pelit
dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, bohong dan curang dengan jujur,
dan seterusnya. Kalau orang sudah tahu (berilmu), demikian Ghazali, bodohnya
hilang. Kalau sudah dermawan, pelitnya hilang. Begitu juga, kala jujur dan
kejujuran sudah menjadi mental dan watak seseorang, sifat bohong dan culasnya
menjadi hilang atau lenyap.
Di luar semua itu, membangun karakter jujur di
sekolah maupun di masyarakat, memerlukan dua hal lain yang juga amat penting,
yaitu keteladanan dan gerakan. Dalam filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara
(1889-1959), teladan (tuladha)
merupakan asas pertama yang perlu dibangun, disamping political will, tekad kuat (karsa),
dan dukungan atau supporting (handayani) dari masyarakat. Ini
berarti membangun karakter jujur. Jika ingin berhasil, perlu
ditransformasikan ke dalam sebuah gerakan yang secara nasional menjadi
komitmen bersama dan disadari serta digerakkan bersama oleh seluruh elemen
bangsa, disertai keyakinan yang dalam bahwa hanya dengan gerakan kejujuran
ini, maka kekuatan dan muruah bangsa bisa dibangun dan ditegakkan.
Tanpa memperhatikan proses, lingkungan, dan
kultur, serta gerakan yang mendukung atmosfer kejujuran di sekolah maupun di
masyarakat, seperti dikemukakan tersebut, maka setiap usaha membangun
karakter kejujuran akan menemui kegagalan. Contohnya ialah proyek pendirian
`kantin kejujuran' yang beberapa waktu lalu marak, tetapi kini mulai surut
dan nyaris tak terdengar.
Soalnya, proyek ini tidak banyak menolong dalam
membangun karakter kejujuran.Malah dari sini muncul `olok-olok' yang sudah
umum diketahui, yang dalam bahasa Sunda disebut `Darmaji' (Dahar lima bebeja hiji) atau olok-olok
lebih umum yang dalam bahasa Jawa berbunyi `Jarkoni' (iso ngajar, tapi ra-siso ngelakoni).
Jadi, kalau begitu, sebagai bangsa untuk lebih
maju dan kompetitif di era baru, kita tak hanya membutuhkan ujian nasional
(UN), tapi juga butuh ujian kejujuran (UK) yang bisa mengedukasi masyarakat,
terutama para pemangku kekuasaan, agar bisa berkata benar dan bertindak
benar, “Say what you do and do what you
say“ atau “ari-na al-haqq-a haqqan
warzuq-na ittiba'ah-u, wa arina al-bathil bathilan warzuq-na ijtinabah-u“.
Wallahualam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar