TNI
AL sebagai Pengawal Poros Maritim Dunia
Connie Rahakundini Bakrie ; Direktur Eksekutif Indonesia Maritime
Studies; Dosen Senior Hubungan Internasional President University
|
KORAN SINDO, 18 Mei 2015
Dalam
sejarah negeri ini yang cukup panjang sejak kemerdekaannya 70 tahun yang
lalu, bangsa ini hanya pernah memiliki dua presiden yang berorientasi
sekaligus berani menempatkan Indonesia sebagai negara “pemain” daripada
sekadar negara “penonton” dalam konstelasi pergerakan politik dan pertahanan
keamanan kawasan dan dunia.
Kedua
presiden ini adalah Soekarno dan Joko Widodo (Jokowi). Pembangunan maritim
tidak bisa dilakukan secara serba instan. Untuk mengoptimalkan pembangunan
maritim di tingkat nasional, regional dan global, dan khususnya dalam
mencapai Poros Maritim Dunia dibutuhkan arah, orientasi, strategi dan
antisipasi pembangunan yang efektif.
Diperlukan
segenap daya, upaya, keunggulan sumber daya, posisi strategis dan geopolitik
yang perlu diarahkan untuk menjawab tantangan demi mewujudkan keunggulan
Indonesia. Implikasi dari sebuah negara yang berkehendak menjadi “pemain”
kelas kawasan, terlebih kelas dunia, adalah harus terwujudnya pembangunan
kekuatan militer yang bersifat outward
looking, yaitu militer yang dipersiapkan untuk menghadang dan menghampiri
ancaman serta lawan jauh melampaui batas terluar negara tersebut.
Itu
karenanya, pada era Soekarno Indonesia dikenal sebagai negara terkuat di bumi
bagian selatan serta memiliki efek deterrence
yang kuat dari sisi politik. Dengan anggaran pertahanan mencapai 29% dari
PDB, kekuatan militer kita memungkinkan kebijakan politik Soekarno terkait
akan harga diri, kehormatan martabat, pertahanan dan keamanan bangsa, mampu
didukung oleh kekuatan tentara yang sangat mumpuni.
Kedua
presiden ini (Soekarno dan Jokowi) sangatlah sadar bahwa salah satu cara
pasti agar negara mampu mengamankan jalur laut dan sumber daya laut adalah
memiliki kekuatan AL yang mampu menempati 12 lautan yang dimiliki negeri ini,
menguasai titik-titik strategis penting pulau-pulau, choke points Malaka dan 39 selat lainnya yang baik langsung
ataupun tidak merupakan jalur utama pendukung kepentingan perdagangan,
pergerakan sumber daya energi dan makanan (sea lanes of trade/SLOT) serta merupakan jalur suprastrategis militer
(sea lanes of communications/SLOC).
Hampir
setiap negara normal akan sadar betul tentang pentingnya urat nadi lautan ini
dan akan berusaha keras untuk memiliki AL besar sekaligus modern untuk
mengantisipasi titik-titik strategis tersebut. Karenanya, dalam sejarah
militer dunia, kita dapat menemukan bahwa masalah “teritorial” baik darat,
laut maupun udara menjadi penyebab konflik paling sering di antara
bangsa-bangsa.
Dalam
sistem negara modern, faktor munculnya sengketa teritorial dipercaya akan
muncul justru dari negara tetangga. Sengketa Laut China Selatan hanya
berbicara tentang 9 titik krusial keamanan maritim kawasan. Banyak di antara
kita yang tidak menyadari bahwa justru terdapat sekitar 51 titik yang
berpotensi menimbulkan clash di antara negara kawasan dan patut dicatat,
sebagian besar dari 51 titik itu berada di garis batas laut Indonesia dengan
negara tetangganya.
Kompetisi
yang terjadi di Asia memiliki potensi besar untuk meningkat menjadi perang
sesungguhnya, yang sebagian besar disebabkan oleh kompetisi segitiga
pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kebutuhan akan energi di
mana kebutuhan akan energi otomatis mendorong terjadinya penguatan angkatan
bersenjata dan belanja militer.
Belanja
militer akan meningkat dikaitkan pada pertumbuhan ekonomi yang selalu harus
dipastikan terjaga aman. Pada Forum Keamanan Dunia 2014 di Munchen, Kissinger
mengatakan bahwa situasi Asia saat ini menyerupai Eropa pada abad ke-19.
Robert Kaplan, penasihat beberapa Presiden AS, malah menganggap bahwa era
Mare Pacificum (Pasifik yang damai) telah berakhir dan kemungkinan pecahnya
perang di Asia sangatlah besar.
Hal ini
dapat juga dilihat dari pengeluaran militer Australia, China, Korea Selatan,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Selandia Baru pada 2013 yang
mencapai dua kali lebih besar dari pengeluaran mereka di 2003. Pertumbuhan
anggaran pertahanan negara-negara Asia di dekade pertama abad 21 juga
terbukti 3 kali lebih cepat, dibandingkan dengan negara anggota NATO.
Panglima TNI dan Paradigma Poros
Maritim Dunia
Paradigma
Poros Maritim Dunia jelas akan berdampak signifikan pada aspek pertahanan dan
membawa pada pertanyaan mendasar untuk apa dan ke mana kekuatan militer kita
akan dibangun dan dibawa. Patut disadari oleh pemangku kepentingan bahwa
selain terbesar dari segi biofisik, ke-12 lautan Indonesia juga sangat
strategis secara geopolitik.
Implikasi
luas pencurian masif sumberdaya alamlautan kita memberikan konsekuensi
kerugian ekonomi, ekologis, dan sosial yang sangat besar. Praktik perikanan
ilegal yang begitu masif, degradasi ekosistem pesisir, tantangan dan
implikasi perubahan iklim global, pencemaran dan tumpahan minyak menjadi
tantangan nyata bagi negeri ini.
Untuk
itu, Kementerian Pertahanan misalnya, perlu meninjau kembali doktrin dan
strategi pertahanannya. Sebagai doktrin, Poros Maritim Dunia mutlak perlu di-back up oleh TNI AL laut hijau (green water navy) yang mampu digelar
secara aktif dan berkala di 200 nm batas ZEE, dan TNI AL laut biru (blue water navy), yaitu angkatan laut
yang armada lautnya mampu mengarungi ganasnya tiga samudra utama dunia:
Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia.
Jelaslah,
kebijakan Presiden Jokowi ini berdampak magnutidial pada rencana penggantian
Panglima TNI beberapa waktu mendatang yang seyogianya jatuh pada giliran
Panglima berasal dari TNI AU, maka kali ini seharusnya “direlakan” untuk
dirotasikan kembali terlebih dahulu pada Panglima yang berasal dari TNI AL.
Mengapa?
Membangun Poros Maritim Dunia bukan sekadar membangun TNI AL yang mampu menenggelamkan
kapal pencuri ikan. Kerancuan inilah yang mendorong perlunya pemerintah
segera menyusun cetak biru grand strategy pertahanan dalam pembangunan Poros
Maritim Dunia di mana suka atau tidak suka harus didorong oleh pandangan dan
pengetahuan seorang panglima berasal dari Angkatan Laut.
Hal ini
dikarenakan terkait dua aspek. Pertama: terkait aspek pertahanan dan keamanan
maritim di mana bertitik berat pada arah pengembangan sumber daya, sistem,
dan implementasi pengawasan, pemantauan dan pengendalian keamanan dan
pertahanan maritim Indonesia yang maju dan efektif.
Menciptakan
SLOC dan SLOT yang aman dan terawasi dengan baik, di samping mengoptimalkan
sistem pertahanan dan keamanan maritim nasional, juga berkontribusi
menyediakan sistem pemantauan dan pengendalian perlindungan pemanfaatan
sumber daya kelautan di tingkat regional dan internasional.
TNI AL
yang kuat adalah jaminan bagi meningkatnya posisi tawar Indonesia selaku
hegemoni kawasan utamanya dalam Political Security Pillar of ASEAN. Bukan
hanya Filipina dan Vietnam akan hormat, tapi Amerika Serikat dan China, juga
Australia dan India pun akan segan.
Pada
level inilah Indonesia bisa menjadi negara pemain: kita bisa menjadi pemain
di perairan kita sendiri dan kawasan, sekaligus pemetik keuntungan dari
posisi Indonesia yang pada abad Asia ini sesungguhnya menjadi jantung
pergerakan maritim dunia.
Kedua,
terkait aspek sistem logistik. Poros logistik yang tepat dapat menjadikan
Indonesia sebagai salah satu penyedia fasilitas sistem logistik kemaritiman
terbaik sehingga selain bisa mendukung pergerakan militer yang outward looking, juga bisa menjadi
alternatif utama bagi berbagai lalu lintas barang, jasa, dan berbagai
kegiatan kemaritiman dunia.
Komponen
logistik ini berpotensi memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi Indonesia,
karena selain mendorong penyerapan tenaga kerja terampil, penyerapan
teknologi kemaritiman terkini mampu mereposisikan Indonesia sebagai negara
maritim terpenting dunia. Dalam lingkup nasional dan lokal, komponen ini akan
mengurangi kesenjangan antara berbagai wilayah.
Secara
doktrinal, konsep Poros Maritim Dunia bisa kita sebut sebagai The Golden
Maritime Spices Road untuk mengingat kembali kedigdayaan nenek moyang kita
yang dapat menggelar pasukan lautnya dari Tidore hingga ke Madagaskar, Venice
dan Genoa. Doktrin Presiden Jokowi sesungguhnya dapat disetarakan dengan
doktrin nasional British Rules the Waves (Inggris), Cooperative Strategy
(Amerika Serikat), dan Chain of Pearl (China).
Dengan
kata lain, Poros Maritim Dunia adalah sebuah gagasan besar, untuk menjadikan
Indonesia kembali menjadi bangsa besar. Bangsa yang berjaya di lautan dan
selatnya sendiri dan juga samudra-samudra serta chokepoints dunia.
Pada
abad XVI, Sir Walter Raleigh berkata, “Whoever
commands the sea, commands the world.” Inilah “mantra” yang telah
“menyihir” bangsa Inggris menjadi bangsa maju dan dihormati, mendorong AS dan
China tampil sebagai kekuatan adidaya. Kini, tibalah saatnya Indonesia
membuktikan bahwa kita mampu dan bisa!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar