Sistem
Pembayaran dan Permintaan Tenaga Kerja
Achmad Deni Daruri ; President Director Center for Banking
Crisis
|
KORAN SINDO, 15 Mei 2015
Negara Asia dan Afrika mengalami surplus tenaga kerja. Sayangnya,
Konferensi Asia-Afrika (KAA) tidak menjadikan kondisi ini sebagai basis
rekomendasi kebijakan ekonomi masa depan di Asia dan Afrika.
Seharusnya model yang dikembangkan adalah endogenisasi surplus tenaga
kerja melalui pematangan sistem pembayaran. Dalam perekonomian yang
menggunakan kebijakan moneter tradisional, permintaan akan tenaga kerja
ditentukan dalam sistem perekonomian. Namun, dalamperekonomian yang
menggunakan kebijakan moneter nontradisional, permintaan akan tenaga kerja
ditentukan di luar sistem perekonomian.
Larry Summers mengistilahkannya sebagai stagnasi sekuler yang bersifat
global. Implikasinya, globalisasi bukan hanya menciptakan dampak positif bagi
perekonomian, melainkan juga matinya kebijakan moneter tradisional. Kalau
virus merebak menggunakan sarana transportasi, stagnasi sekuler merebak
dengan menggunakan jaringan ekonomi yang kita kenal sebagai keterkaitan
sistem pembayaran global.
Keterkaitan ini membuat permintaan tenaga kerja sulit untuk dipulihkan
oleh kebijakan moneter. Artinya, kebijakan fiskal dan struktural juga harus
dihidupkan secara bersamaan agar sistem pembayaran mampu digunakan secara
efektif memicu pertumbuhan ekonomi yang menyerap tenaga kerja secara penuh.
Larry Summers menambahkan, dalam stabilitas keuangan, ”Tidak mungkin
bagi perekonomian untuk mencapai kesempatan kerja penuh, pertumbuhan yang
memuaskan, dan stabilitas keuangan secara bersamaan hanya dengan melalui
operasi kebijakan moneter konvensional.”
Pada 1938 sembilan tahun setelah awal Depresi Hebat, Alvin Hansen
menyampaikan pidato kepresidenan, ”Kemajuan Ekonomi dan Penurunan Pertumbuhan
Populasi”. Hansen membuat pembicaraan tersebut setelah era ekspansi yang
belum pernah terjadi sebelumnya atas ekonomi AS, baik dari segi populasi
maupun lahan yang tersedia.
Akhir periode ini dan pengalaman Depresi Besar (Great Depression) menyebabkan Hansen bertanya-tanya apakah akan
ada permintaan investasi yang cukup untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi
pada masa depan. Larry Summers memunculkan kembali ide ini dalam pidatonya
pada November 2013 di Forum IMF mengingat kembali pemikirannya dalam
pidatonya Februari 2014 di Asosiasi Nasional untuk Ekonomi Bisnis (Summers 2014).
Istilah ”stagnasi sekuler” mengena tepat di inti. Barry Eichengreen
menempatkannya dalam kontribusinya untuk menanggapi penelitian ini: ”Gagasan bahwa Amerika dan negara maju
lainnya mungkin menderita lebih dari mabuk akibat krisis keuangan diresonansi
oleh banyak pengamat.”
Resonansi, bagaimanapun, tidak menghasilkan harmoni. Sebagaimana
pengamatan Barry Eichengreen : ”Meskipun
istilah ‘stagnasi sekuler’ diulang secara luas, tidak dipahami secara luas.
Stagnasi sekuler, yang telah kita pelajari, adalah milik seorang ekonom
Rorschach Test. Bisa jadi berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda.”
Untungnya, ilmu makroekonomi menyediakan cara mudah untuk menyusun berbagai
pandangan.
Dasar ekonomi makro menyediakan tiga pilar kerangka kerja untuk
berpikir tentang pertumbuhan ekonomi pada masa depan. Pertama, tingkat
pertumbuhan potensial jangka panjang perekonomian. Kedua, penyimpangan
pertumbuhan aktual dari potensinya. Ketiga, satu perubahan tingkat PDB tanpa
perubahan dalam tingkat pertumbuhan jangka panjang.
Berbagai kontribusi yang ada di diskusi ini menekankan satu atau lebih
dari tiga pilar tersebut. Peneliti menangani pilar secara bergantian. Pilar
kedua menegaskan Keynessian dengan semua perubahan dan perbaikan modern
pertumbuhan mungkin rendah karena berada di bawah tingkat pertumbuhan
potensial jangka panjangnya. Inipremis dasar dari komentar Summers pada 2013.
Seperti yang ia katakan : ”Misalkan
tingkat bunga riil jangka pendek yang konsisten dengan tenaga kerja penuh
telah jatuh menjadi negatif dua atau negatif tiga persen pada pertengahan
dekade terakhir. ... Kita mungkin perlu, di tahun-tahun mendatang, untuk
berpikir tentang bagaimana kita mengelola ekonomi di mana tingkat bunga
nominal nol adalah inhibitor kronis dan sistemik dari kegiatan ekonomi, memegang
ekonomi kita kembali di bawah potensi mereka.”
Pandangan kekurangan permintaan agregat juga ditekankan oleh Paul
Krugman yang mengatakan, ”Stagnasi sekuler adalah proposisi bahwa periode
seperti lima tahun-plus yang lalu, ketika bahkan kebijakan suku bunga nol
tidak cukup untuk memulihkan tenaga kerja penuh, akan menjadi jauh lebih umum
di masa depan...”
Pilar ketiga pada kerangka Makro 101 di mana para peneliti menekankan
peningkatan tingkat pertumbuhan, terutama kerusakan krisis terkait dengan
potensi output perekonomian yang terjadi hanya satu kali. Ini bagian dari
diskusi penting yang mengambil literatur yang jauh lebih tua pada hysteresis
pasar tenaga kerja. Dalam tulisan mereka yang berpengaruh, Blanchard dan
Summers (1986) menciptakan istilah ”Eurosclerosis” karena mereka melihat
hysteresissebagai masalah Eropa.
Setelah setiap resesi, pengangguran melonjak, tidak pernah kembali ke
tingkat praresesi. Glaeser menunjukkan bahwa hingga 1970 pangsa laki-laki
berusia mapan tanpa pekerjaan di AS adalah 5% di masa baik dan 8% di masa
kemerosotan. Setelah 1970 dampak penurunan menjadijadi, resesi berkaitan dengan
kenaikan pengangguran yang tidak sepenuhnya berbalik selama pemulihan.
Kerusakan itu permanen. Menurut Glaeser, ”Modal manusia terdepresiasi pengangguran sehingga bakat menghilang.”
Intinya, sistem pembayaran di era globalisasi bagaikan pisau bermata dua di
mana perbaikan permintaan tenaga kerja tidak lagi hanya dapat mengandalkan
kebijakan moneter, apalagi kebijakan moneter tradisional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar