Sepak
Bola Minus PSSI
Abdullah Yazid ; Suporter Sepak Bola
|
MEDIA INDONESIA, 08 Mei 2015
DENGAN alasan force majeur, PSSI menghentikan seluruh kompetisi sepak bola di
Indonesia karena menganggap tidak didukung pemerintah. Menpora, pascapembekuan
PSSI, selalu menyatakan kompetisi harus dilanjutkan dalam waktu secepat
mungkin, dengan tetap mengakomodasi seluruh klub ISL dan tetap melibatkan PT
Liga Indonesia sebagai operator kompetisi. Apa kepentingan di balik
penghentian kompetisi ini?
Secara de
facto, keputusan PSSI tentu tidak berlaku karena organisasinya sudah
dibekukan pemerintah. Agar tidak kehilangan muka, tentu ada pengurus PSSI di
jajaran executive committee (Exco)
mengambil langkah penyelamatan organisasi. Itu dilakukan, mulai melayangkan
gugatan terhadap Kemenpora ke PTUN hingga penghentian kompetisi.
Jika memahami langkah tersebut, rasanya apa
yang dilakukan PSSI kontraproduktif dengan keinginan memajukan sepak bola
Indonesia. PSSI juga tak menghargai kerja keras klub yang telah melewati
serangkaian verifikasi ISL hingga mematikan sumber ekonomi semua yang
terlibat dalam sepak bola, seperti pemain, pelatih, pemasukan tiket, hak
siar, juru parkir di stadion, dan kegembiraan suporter.
Sejauh ini yang dapat dipahami dari langkah-langkah
PSSI ialah ketiadaan iktikad baik membenahi sisi profesionalitas sepak bola
sekaligus ego para pengurusnya. Itu ditunjukkan dengan penolakan atas
rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang tidak
merekomendasi dua klub yang berkategori bermasalah secara legalitas.
Secara faktual, tidak diakuinya PSSI oleh
Menpora memberikan konsekuensi pro dan kontra. Untungnya, yang pro dan kontra
sama-sama memandang sepak bola adalah faktor penting yang dapat mempersatukan
publik, meski pihak pro dan kontra memiliki cara pandang berbeda menilai
langkah Menpora.
Pihak kontra memandang Menpora telah jauh
melampaui kewenangannya. Menurut mereka, pemerintah tidak berhak membekukan
PSSI karena selama ini PSSI mencari uang sendiri dan tidak dibiayai APBN.Selain
itu, PSSI dipandang berada langsung di bawah FIFA. Itu pula yang membuat
pemberitaan di media massa menyebutkan PSSI tidak membutuhkan pemerintah,
sebagaimana acap diungkap para petinggi PSSI.
Sebaliknya pihak pro melihat langkah
pemerintah adalah terobosan berani yang positif dalam rangka membangun tata
kelola sepak bola secara baik, sehat, fair, dan profesional. Sudah terlalu
lama sepak bola Indonesia tidak menunjukkan prestasi, terutama di kancah
internasional. Sudah terlalu lama pula pemerintah tidak dianggap
keberadaannya oleh PSSI.
Dosa PSSI
Bukti-bukti konkret yang melandasi ketiadaan
pengakuan itu ialah absennya profesionalitas dalam pengelolaan kompetisi
sepak bola. BOPI sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah sesuai UU No 3/2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) menemukan sejumlah data faktual
yang mendukung hal tersebut.
Misalnya, ketiadaan aspek legalitas dua klub
(Persebaya dan Arema Cronus) yang tidak direkomendasi kompetisi, lima klub
direkomendasi dengan catatan khusus penyelesaian kewajiban pajak, tunggakan
gaji pemain, dll, hingga separuh kompetisi, tidak transparannya nilai kontrak
komersial terkait hak siar dan sponsor utama kompetisi, lemahnya pembagian
hak komersial yang diterima klub peserta kompetisi, hingga tiadanya kejelasan
kapan dan bagaimana hak klub dibayarkan sesuai jadwal yang ditentukan.
Selain itu, pemicu utama tidak diakuinya PSSI
oleh pemerintah ialah tidak diindahkannya peringatan tertulis hingga tiga
kali peringatan agar menaati rekomendasi BOPI. Seandainya PSSI dan PT Liga
Indonesia selaku operator kompetisi Indonesia
Super League (ISL) menaati rekomendasi BOPI, sangat mungkin tidak akan
terjadi pembekuan. Namun, akibat arogansi yang berlebihan, pemerintah tidak
mungkin tinggal diam.Apalagi, desakan sejumlah elemen masyarakat agar
pemerintah segera bersikap tegas terus-menerus digencarkan,
sekurang-kurangnya dalam 7 tahun terakhir ini.
Babak baru tata kelola sepak bola nasional
sedang berjalan. Pemerintah sedang memastikan kompetisi berjalan sesuai peraturan
dan perundang-undangan. Jika memang tidak ada niat untuk mengorbankan
kompetisi, klub, dan pemain sepak bola, langkah-langkah pemerintah memperkuat
tata kelola kompetisi sepak bola Indonesia ini harus didukung bersama.
Apalagi, pemerintah cukup komunikatif menjumpai asosiasi pemain dan beberapa
kapten tim yang memahami langkah tegas pemerintah sebagai salah satu cara
untuk mendisiplinkan PSSI, PT Liga, dan klub agar menghormati hak-hak pemain
sebagaimana tercantum dalam kontrak.
Sudah terlalu lama tata kelola sepak bola
dimonopoli oleh federasi sepak bola, dari FIFA di tingkat dunia hingga PSSI
di tingkat nasional. Tata kelola sepak bola bersifat tertutup karena statuta
FIFA menghendaki demikian. Sepak bola hanya boleh diurusi oleh
lembaga-lembaga yang ada di bawah FIFA, dalam hal ini federasi, yaitu PSSI.
Sangat sulit bagi pihak luar, termasuk pemerintah turut campur.
Pemerintah mana pun akan menghadapi kesulitan
jika berhadapan dengan statuta tersebut. Pemerintah negara mana pun pasti
tidak ingin tunduk oleh statuta jika sudah menyangkut aspek-aspek yang
terkait tata kelola pemerintah. Tidak mungkin ada negara yang diam saja jika
ada pemain asing yang seenaknya keluarmasuk tanpa izin tinggal dan izin
kerja. Tidak mungkin ada negara yang tidak berbuat apa-apa jika ada
pelanggaran soal pajak. Intinya, pemerintah mana pun pasti ingin peraturan
dan perundangan ditegakkan, termasuk dalam hal sepak bola.
Langkah strategis
PSSI saat ini telah mengajukan langkah hukum.
Pemerintah sudah di PTUN-kan oleh PSSI. Ketok palu hakim PTUN-lah yang saat
ini sedang ditunggu bersama. Semua pihak harus menghormati apa pun
putusannya. Apa pun keputusannya, PSSI dan PT Liga harus menunjukkan komitmen
yang kuat untuk memenuhi hak-hak klub. Jangan sampai hadiah juara, hadiah pemain
terbaik, hadiah top scorer, dan hak klub yang lain ditunggak tanpa kejelasan.
Agar prinsip-prinsip perbaikan tata kelola
sepak bola dan kompetisi itu bisa dipraktikkan, pemerintah perlu memilih
orang-orang yang tepat dalam tim transisi yang sedang dibentuk saat ini.
Sebab, merekalah yang akan memberikan supervisi terhadap pelaksanaan
kompetisi ISL dan Divisi Utama.
Ke depan, agar keruwetan pengelolaan kompetisi
tidak berulang dari tahun ke tahun, standar profesionalitas yang selama ini
telah dijadikan landasan BOPI memverifikasi klubklub peserta kompetisi serta
mengatur organisasi dan operatornya, perlu diperkuat lagi.
Ketentuan tegas seperti regulasi pindah status
dari klub amatir ke profesional, kewajiban penyelenggara kompetisi kepada
negara, validasi terhadap pelaku olahraga profesional, ketentuan pembagian
hak komersial, hingga aturan sanksi terhadap segala jenis pelanggaran di
atas, perlu dibuat dan diatur rigid.
Forum reguler antara pemerintah dan pelaku
olahraga profesional serta operator kompetisi juga tidak dapat diabaikan.
Komunikasi intensif demikian perlu dilakukan agar semua pihak dapat
bersinergi dan satu frekuensi dalam menata sepak bola.
Tujuannya tidak lain agar PSSI ke depan tidak
mudah diseret muatan politis, pragmatis, dan hegemoni kelompok tertentu yang
selama ini dinilai hal lumrah.
Kita tidak boleh kehilangan keyakinan dan
optimisme bahwa sepak bola masih dapat dibina, ditata, dan direncanakan
secara baik. Semua hanya soal iktikad baik, dan tidak lengah menyiapkan
langkah strategis yang melibatkan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar