Sabdaraja
Diklaim Wahyu Tuhan
Ridwan Anshori ; Wartawan
Koran Sindo
|
KORAN SINDO, 09 Mei 2015
Raja Keraton
Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X memenuhi janjinya menjelaskan
tentang Sabdaraja dan Dawuhraja di Ndalem Wironegaran, kemarin.
Dari penuturannya,
Sultan menyatakan ada sejumlah pemahaman berbeda dari apa yang disampaikan di
hadapan kerabat Keraton dengan apa yang beredar di media massa dan masya
rakat umum. Dia pun mengklaim apa yang disampaikan dalam Sabdaraja adalah
wahyu Tuhan melalui leluhurnya. Sultan mengakui sejak mengeluarkan Sabdaraja
pada Kamis (30/4) dan Dawuhraja pada Selasa (5/5) menimbulkan polemik.
“(Yang beredar) biar
pun bener ning ora pener (benar
tapi tidak tepat). Lima hal (dalam Sabraja) sebetulnya tidak sepenuhnya benar
apa yang saya lakukan,” katanya. Sultan HB X membantah telah menghapus “Assalamualaikum” dalam segala acara
protokoler di dalam Keraton Yogyakarta. Namun, dia mengakui saat membaca Sabdaraja tidak memakai Assalamualaikum.
Pria yang bernama
lahir Herjuno Darpito ini menjelaskan Sabdaraja tidak menggunakan Assalamualaikum karena Sabdaraja merupakan dawuh atau wahyu langsung dari Gusti
Allah. “Saya merasa Sabdaraja ini
merupakan dawuh Allah (wahyu Tuhan) lewat leluhur saya. Masa dawuh Gusti
Allah kepada orang lain, menggunakan Assalamualaikum? Kan tidak,”
katanya.
Sultan menegaskan Sabdaraja yang tidak memakai kata Assalamualaikum bukan berarti di
Keraton tidak boleh menggunakan Assalamualaikum.
“Di Keraton tetap boleh,” katanya.
Gubernur DIY ini menjelaskan pergantian dari Buwono menjadi Bawono. Buwono
merupakan jagad alit, sedangkan Bawono merupakan jagad ageng.
“Umpamanya Buwono itu daerah, maka Bawono itu nasional. Buwono
itu nasional berarti Bawono itu internasional. Kira-kira seperti itu,” kata Sultan. Soal
penggantian “Sadasa” menjadi “Kasepeluh” menggunakan dasar lir gumanti (tata
urutan). Contohnya, kasapisan kapindo katelu dan seterusnya sampai kasepuluh.
Tidak bisa bisa disebut sadasa, tidak pula disebut kaping sepuluh.
Sultan juga
menjelaskan tentang nama dan gelarnya, “Sri
Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumenenng Kasepuluh, Suryaning Mataram
Senopati Ing Ngalogo Langgening Bawa no Langgeng, Langgening Toto Panoto
Gomo”. Alasan menggunakan Suryaning Mataram karena perjanjian pendiri
Mataram antara Ki Ageng Pemananan dengan Ki Ageng Giring sudah selesai.
Keraton Yogyakarta
pada zaman sekarang ini bukan bagian dari perjanjian tersebut. Zaman Ken Arok
di Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang merupakan Mataram lama.
Sementara Mataram baru di mulai dari Panembahan Senopati sampai sekarang. “Pada masa Mataram lama ada perjanjian itu
(Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan) yang memisahkan Mataram baru.
Perjanjian itu sudah rampung. Saya tidak terkena perjanjian itu,” ujar
Sultan.
Sultan menjelaskan
pergantian dalam gelar “khalifatullah
sayiddin” menjadi “langgeng toto
panoto gomo”, yakni langgeng yang diperintah Gusti Allah adalah untuk prantan jagad. “Dawuh ini sebenarnya tidak bisa dianggap sepele seperti raja
sebelumnya. Sebab zaman sudah berubah. Ini zaman baru,” ucapnya.
Raja yang naik takhta
sejak 7 Maret 1989 ini juga mengakui dalam dawuh raja memilih Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai
putri mahkota serta menobatkan nama baru GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning
Bawono Langgeng ing Mataram. Sebelum penobatan, putri sulung duduk
berdampingan bersama adik-adiknya. Lalu Sultan memanggil GKR Pembayun untuk
maju dan duduk di Watu Gilang atau batu Singgasana Panembahan Senopati.
Tetapi, Sultan belum
memastikan GKR Mangkubumi tersebut sebagai penerus takhta. Alasannya, Sultan
hanya mendapat wahyu sebatas mengganti nama dan gelar serta mengangkat putri
mahkota. “Kalau lebih dari itu
(memastikan sebagai penerus takhta), saya dikira mengarang cerita. Wahyu yang
saya dapat sebatas itu,” ungkapnya.
Pada kesempatan itu,
Sultan juga membantah memiliki dukun seperti yang dituduhkan sejumlah
adiknya. Saat Sultan remaja dan bernama Herjuno Darpito sampai berganti nama
menjadi Mangkubumi sering diminta oleh ayahnya Sri Sultan HB IX mengunjungi
petilasan para leluhur.
Menurut dia, ayahnya
sering meminta melakukan itu karena saat itu HB IX lebih banyak beraktivitas
di Jakarta sebagai Wakil Presiden era Soekarno. “Saat ayah banyak di Jakarta, sering mengutus ke sejumlah petilasan
para leluhur. Itu saya lakukan. Jadi saya tidak punya guru spiritual dan
dukun,” katanya.
Selain itu, ayah
membangun HB IX memperbaiki Petilasan Banglampir di Gunungkidul saat
memperingati Eyang Panembahan Senopati. Kemudian Sultan juga ditugasi merawat
gua saat Eyang Prabu Brawijaya V di Ngobaran Gunungkidul. “Eyang Prabu
Brawijaya V pernah duduk di Ngobaran,” ucap Ngarso Dalem.
Menurut Sultan,
perbaikan Petilasan Banglampir dan Ngobaran itu tidak menggunakan uang
Keraton Yogyakarta sehingga internal Keraton tidak mengetahuinya. Sampai saat
ini Petilasan Ngobaran dijaga oleh orang bernama Darto dan Banglampir dijaga
Sarjono. “Keduanya itu bukan dukun
saya. Keduanya adalah juru kunci, sama seperti juru kunci Keraton di Gunung
Merapi dan pesisir (pantai selatan),” katanya.
GKR Mangkubumi Ngaku Tugasnya Makin Berat
Putri tertua Raja
Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, resmi berganti nama
menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgenging Mataram setelah
dinobatkan oleh sang raja. Setelah berganti nama, GKR Mangkubumi mengaku
memiliki tugas dan tanggung jawab berat. “Jadi beban saya semakin berat lagi,
mulai saat ini dan ke depan,” ucapnya saat di rumahnya di Ndalem Wironegaran,
kemarin.
Istri dari Kanjeng
Pangeran Karyo (KPH) Wironegoro ini mengungkapkan, nama dan gelar baru yang
diberikan Sultan HB X membawa konsekuensi baru yang cukup berat. “Nyeng kuyung Keraton dengan berbagai
macam hal di dalamnya sungguh tugas yang tidak mudah. Sangat berat menerima
gelar baru ini,” ujar GKR Mangkubumi.
Menurut dia, persiapan
hati sudah disiapkan sejak lama karena siapa pun bisa mendapatkan wahyu di
Keraton. “Saya harus siap. Kali ini
saya mendapatkan dhawuh dari Ngarso Dalem. Bagaimanapun saya harus siap,”
ujarnya. Disinggung apakah tugas berat tersebut karena sudah dinobatkan
sebagai putri mahkota calon penerus takhta, GKR Mangkubumi enggan menjawab
secara pasti. “Saya diminta duduk di
atas Watu Gilang saat Dawuhraja,” ungkapnya.
Watu Gilang merupakan
batu Singgasana Panembahan Senopati. Karena raja-raja Keraton Yogyakarta
sebelum menjadi bertakhta harus melalui prosesi duduk di atas batu itu.
Secara implisit GKR Mangkubumi merupakan putri Keraton yang dipilih sang raja
untuk meneruskan takhta Keraton Yogyakarta. Ibu dua anak ini mengakui ada
Sabdaraja dan Dawuhraja ini menimbulkan polemik di internal Keraton
Yogyakarta, termasuk mendapat penentangan dari paman-pamannya atau adik raja.
Namun, dirinya tetap
menghormati adik sang raja yang saat ini masih berseberangan dengan
pengangkatannya sebagai calon pemimpin Keraton. GKR Mangkubumi mengungkapkan
apa yang sudah disandangnya sebatas nama baru.
“Yang jelas saya tetap akan menghormati para romo apa pun yang
terjadi. Karena beliaubeliau merupakan para om saya. Saat ini saya baru
ditetapkan baru sebatas nama baru oleh Ngarso Dalem,” tuturnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar