Reshuffle
Kabinet Republik Komedi
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI; Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN SINDO, 30 April 2015
Ketidakpuasan publik
pada kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan hukum, ditambah akumulasi
tekanan politik yang arusnya demikian kuat, memaksa Presiden Joko Widodo
untuk mempertimbangkan reshuffle kabinet.
Perombakan kabinet
ibarat harga yang harus dibayar Presiden kepada partai pengusung karena
membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala
Polri. Artinya, reshuffle kabinet tak lain dari kompromi politik sekaligus
sarana untuk memfasilitasi kepentingan koalisi partai pendukung pemerintah
yang sangat kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan
pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Dengan demikian,
reshuffle kabinet akan ditentukan oleh dinamika internal PDIP dalam kurun
waktu satu-dua bulan ke depan. Jika situasi internal partai itu makin panas,
bisa ditarik kesimpulan bahwa Jokowi dan PDIP gagal bersepakat. Tapi, jika
PDIP kembali menyokong Jokowi, berarti reshuffle kabinet akan terwujud.
Pertanyaan berikutnya,
kapan reshuffle kabinet akan dilaksanakan? Waktu masih menjadi perdebatan di
internal Istana. Ada pihak yang mendesak dilakukan dalam waktu dekat, sekitar
Juni atau Juli 2014. Sementara pihak yang lain berharap Presiden memberikan
kesempatan kepada para menteri untuk memperbaiki kinerjanya.
Pihak yang terakhir
ini menyarankan agar kalau dianggap perlu dan mendesak, reshuffle hendaknya
dilakukan ketika kabinet kerja genap berumur setahun yakni Oktober 2016.
Sinyal reshuffle kabinet itu sebenarnya datang dari dalam lingkaran Presiden
yakni partai politik pendukung. Namun, untuk sampai pada isu reshuffle
kabinet, prosesnya cukup rumit.
Diawali dengan
kemarahan beberapa kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang
terang-terangan dan langsung dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo
(Jokowi). Kemarahan itu menjadi penanda menurunnya soliditas dukungan PDIP
kepada Presiden Jokowi.
Usut punya usut,
kemarahan itu lebih disebabkan minimnya jumlah kader PDIP yang menjadi menteri
di Kabinet Kerja. ”Kami (kader PDIP)
harus menahan dahaga di samping sumur yang airnya berlimpah,” begitu
ungkapan canda seorang kader. Sampai di sini Budi Gunawan belum menjadi
faktor pendorong reshuffle kabinet. Kemarahan itu makin menjadi-jadi karena
upaya sejumlah kader PDIP berkomunikasi dengan Presiden menjadi sangat sulit
alias terhambat.
Dari kemarahan ini,
lahir sebutan Trio Macan Istana. Sebutan ini untuk mengidentifikasi Menteri
Sekretaris Kabinet (Mensekab) Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Sumarno, dan
Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan. Tiga pejabat tinggi negara
tersebut dinilai sebagai penghambat komunikasi Jokowi dengan kader PDIP.
Kader PDIP Effendi
Simbolon bahkan sempat menyebut Andi sebagai pengkhianat. Tidak berhenti sampai
di situ, PDIP melanjutkan kemarahannya dengan mewacanakan penggunaan Hak
Angket DPR ketika Presiden membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala
Polri. Perilaku politik PDIP seperti ini dinilai aneh oleh banyak kalangan.
PDIP justru menjadi oposisi yang jauh lebih galak dibanding partai-partai
politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR.
Momentum kekecewaan
terhadap Presiden dan kabinet pun mencapai puncaknya ketika harga kebutuhan
pokok merangkak naik akibat kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak pada
November 2014. Masyarakat juga merasa tidak nyaman karena harga BBM yang
berubah-ubah sering mengacaukan tarif jasa angkutan.
Ekspresi kekecewaan
terhadap pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla itu akhirnya
terefleksikan pada hasil survei yang mengukur kepuasan publik. Survei
dilaksanakan ketika pemerintahan sekarang ini genap berjalan enam bulan.
Perkuat Tim Ekonomi
Survei Poltracking
yang dilaksanakan pada 23-31 Maret 2015 menyebutkan 48,5% publik menyatakan
tidak puas pada kinerja pemerintahan. Di bidang ekonomi, publik tidak puas
karena melambungnya harga bahan pokok, gas, listrik, serta naikturun harga
bahan bakar minyak (BBM). Sekitar 52,2% publik kurang puas dan 14,4% publik
sangat tidak puas.
Ketidakpuasan di
bidang hukum disebabkan oleh praktik korupsi yang masih marak dan disharmoni
antara KPK dan Polri. Tingginya ketidakpuasan di bidang keamanan disebabkan maraknya
aksi begal dan perampokan akhir-akhir ini. Ketika kepada responden ditanyakan
tentang urgensi perombakan kabinet, survei Poltracking mendapat jawaban yang cukup mengejutkan. Sebesar
41,8% publik setuju dilakukan reshuffle kabinet.
Gayung pun bersambut.
Menggunakan hasil survei itu sebagai pijakan, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP
Bidang Pemerintahan Ahmad Basarah menegaskan bahwa reshuffle kabinet perlu
dilakukan dan sulit dihindari ketika tingkat kepuasan publik pada
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla rendah. Tercukupilah alasan untuk
menggoreng isu reshuffle kabinet.
Apalagi, PDIP sudah
membahas reshuffle kabinet itu dalam Kongres PDIP di Bali baru-baru ini.
Alasan utamanya adalah soliditas pemerintahan yang masih mengkhawatirkan. Ada
menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditengarai menjalankan agenda
tersembunyi. Beberapa nama menteri sudah diidentifikasi kinerjanya oleh PDIP.
Pada saatnya PDIP
sebagai partai pengusung akan memberi masukan kepada Presiden soal figur
menteri yang patut di-reshuffle. Masa depan karier Budi Gunawan mulai
dimasukkan sebagai faktor pendorong reshuffle kabinet. Sebenarnya, kubu KMP
sudah menangkap sinyal reshuffle kabinet itu sejak Januari 2015. Bukan dari
siapa-siapa, melainkan langsung dari Presiden Jokowi.
Dalam pertemuan dengan
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo
Subianto, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta di Istana Negara
maupun Istana Bogor, Presiden Jokowi sudah menawarkan kursi menteri. Dengan
mengajukan tawaran itu, Presiden memang sudah merencanakan reshuffle kabinet.
Kalau tak ada rencana
reshuffle, Presiden tak mungkin mengajukan tawaran itu. Namun, tawaran itu
ditolak tiga ketua umum partai itu untuk menjaga eksistensi KMP di DPR.
Memang, ada urgensi bagi Presiden untuk melakukan reshuffle kabinet. Presiden
harus ekstrahati-hati dalam menyikapi aspirasi publik tentang harga kebutuhan
pokok.
Tinggi-rendahnya
popularitas pemimpin pemerintahan sedikit-banyak ditentukan oleh faktor yang
satu ini. Karena itu, Presiden sebaiknya membentuk tim ekonomi yang kuat.
Selain fokus pada proyek-proyek besar di bidang infrastruktur, tim ekonomi
itu juga secara konsisten harus peduli pada isu kebutuhan pokok. Presiden
Jokowi telah mengubah kebijakan subsidi energi.
Perubahan mendasar
yang dampaknya langsung dirasakan rakyat adalah membiarkan harga eceran bahan
bakar minyak (BBM) dibentuk seturut mekanisme pasar. Harga BBM turun-naik
tanpa disosialisasikan. Dampaknya sangat luas dan strategis karena menyentuh
harga kebutuhan pokok dan tarif jasa angkutan. Harga dan tarif bisa
turun-naik kapan saja.
Dalam situasi seperti
itu, pemerintah tidak boleh diam saja. Pemerintah sebagai regulator harus
hadir di pasar untuk menstimulus harga dan pasokan agar segala sesuatunya
terkendali dan terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Itulah pekerjaan besar yang
harus selalu diantisipasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di semua
provinsi.
Konsekuensinya, harus
ada koordinasi berkesinambungan antara tim ekonomi di Kabinet Kerja dan semua
pemerintahan provinsi. Dalam agenda reshuffle kabinet, Presiden Jokowi
hendaknya mempertimbangkan pentingnya sebuah tim ekonomi yang mampu
mengamankan kebutuhan pokok rakyat.
Mengelola persoalan
yang satu ini makin rumit. Rakyat hanya minta agar pemerintah sebagai
regulator harus responsif. Pemerintah harus lebih sensitif terhadap
ketidaknyamanan rakyat akibat lonjakan harga kebutuhan pokok.
Kita tidak ingin
pemerintahan Jokowi ini hanya melahirkan republik komedi dengan kebijakan
lucu-lucuan dan sembrono. Serta, Presiden yang kewenangan sudah terdiskon
habis karena stigma petugas partai menjadi hanya setengah presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar