Praperadilan
di Indonesia
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan
|
KORAN SINDO, 18 Mei 2015
Persoalan
serius dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pascaputusan
praperadilan perkara BG dan IAS adalah ketentuan mengenai praperadilan, tidak
lagi ketentuan mengenai hukum pembuktian semata-mata karena putusan
praperadilan dapat mencegah ketidakadilan pencari keadilan dari tindakan
sewenang-wenang penyidik.
Putusan
praperadilan, sekalipun bukan forum pembuktian atas kesalahan terdakwa,
memiliki nilai HAM tertinggi dibandingkan dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan praperadilan dimasukkan
dalam KUHAP Tahun 1981 sejatinya merupakan upaya para ahli hukum yang
diinisiasi antara lain oleh, Adnan Buyung Nasution, pengacara terkemuka
ketika itu, petinggi Polri seperti Awaludin Djamin dan Purwoto Gandasubrata (almarhum)
serta Ketua MA dan Kejaksaan.
Mereka
berkomitmen untuk mengakhiri proses beracara HIR peninggalan masa Hindia
Belanda dengan alasan banyak ketentuan acara masih mencerminkan peradaban
kolonialisme sehingga diperlukan praperadilan. Praperadilan atau preliminary hearing (sistem Common Law, AS dan Inggris) adalah a criminal hearing to determine whether
there is sufficient evidence to prosecute an accused person (BlackBlacks Law Dictionary).
Penekanan
sufficient evidence atau bukti yang
cukup dan sah baik dalam praperadilan di AS dan Inggris maupun sistem hukum
kekuasaan kehakiman Indonesia diakui merupakan benchmark perlindungan HAM
in concreto. Logis dan dapat diterima secara hukum jika hakim
praperadilan mempertanyakan (1) kecukupan alat bukti (sufficient evidence) vide
Pasal 184 jo 183 KUHAP, dan (2) keabsahan perolehannya dalam proses
penyidikan.
Tidak
dapat dimungkiri tugas hakim praperadilan di negara dengan sistem common law, adalah memverifikasi alat
bukti (yang cukup), bahwa telah lengkap dua alat bukti minimal dan
perolehannya secara sah dalam penetapan tersangka dan kelima objek praperadilan
berdasarkan Pasal 77 KUHAP.
Untuk menemukan keadilan dan
tidak terjadi “perampasan” hak asasi tersangka, hakim praperadilan dapat
memperluas tafsir hukum (ekstentif) terhadap pengertian istilah
“praperadilan” sesuai dengan perkembangan keadilan masyarakat kekinian. Fungsi
dan peranan lembaga praperadilan (preliminary
hearing atau pretrial) dalam
sistem peradilan di kedua sistem hukum yang diakui universal, sangat
strategis.
Hakim praperadilan ditugasi
untuk mempersoalkan lingkup dan batas-batas tindakan hukum penyidik yang
diperbolehkan sesuai standar perlindungan HAM universal yang telah diakui
berdasarkan ratifikasi ICCPR dengan UU RI No 12 Tahun 2005.
Ketentuan praperadilan di dalam dua sistem hukum yang diakui universal ini,
jelas untuk membuktikan bahwa peradaban manusia abad pasca pembentukan PBB
dan Deklarasi HAM Universal (1948) telah berubah.
Bahkan
sistem itu berbeda secara mendasar dari masa perbudakan abad ke-15 sampai
dengan awal abad pertengahan kepada masa pencerahan dan kemanusiaan masa
kini. Ronny
Nitibaskara mengatakan bahwa tindakan
hukum sewenang-wenang menetapkan status tersangka, menangkap dan menahan
termasuk tindak hukum lainnya yang tidak
sah; mencerminkan “penjajahan” abad modern dan hukum telah dipergunakan untuk
melakukan kejahatan (law as a tool of
crime).
Di
lapangan hukum administratif, tindakan pejabat publik atau penyelenggara
negara/pemerintahan yang merupakan penyalahgunaan wewenang telah diatur di
dalam Pasal 17 UU RI No 30 Tahun 2014 tentang Sistem Administrasi
Pemerintahan.
Karena
itu, sejak pemberlakuannya, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dimaksud
pertama-tama dan diutamakan harus ditafsirkan sebagai atau termasuk tindakan
administratif tidak serta-merta dianggap perbuatan yang memuat unsur pidana
dan merupakan objek peradilan tata usaha negara, bukan peradilan pidana.
Menurut
penulis, proses peradilan TUN terhadap subjek penyelenggara negara analog
dengan praperadilan terhadap tindakan aparatur penegak hukum (penyidik) dan
keduanya harus dapat dibedakan satu sama lain. Ketentuan praperadilan menurut
KUHAP telah diubah di dalam Rancangan KUHAP (2012)-RUU KUHAP 2012, yang
dipelopori Andi Hamzah, tercantum dalam Pasal 111 dengan 10 (sepuluh) objek
“praperadilan” yang disebut dengan “pemeriksaan pendahuluan”.
RUU
KUHAP (2012) bahkan menyentuh pokok perkara seperti bahwa keterangan yang
dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak
memberatkan diri sendiri; bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan
untuk tujuan yang tidak sah (h) dan layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan (i).
Menurut
penulis, setiap fakta yang ditemukan sepanjang proses beracara pidana yang
diduga telah melanggar hak asasi
seharusnya dapat dipersoalkan oleh tersangka/terdakwa. Masalah itu harus
dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam pemeriksaan pokok perkara karena
perjuangan hak asasi tidak dapat dibatasi waktu dan tempat.
Lingkup
praperadilan atau pemeriksaan pendahuluan sebaiknya diperluas termasuk hak
ekonomi, hak sosial dan hak politik setiap orang berdasarkan Bab XA UUD 1945
tentang HAM. Dalam hal ini tentunya harus dirinci
perbuatan-perbuatan yang termasuk pelanggaran hak-hak dimaksud agar dapat
di-praperadilan-kan atau dijadikan objek pemeriksaan pendahuluan.
Negara
tidak memiliki hak untuk membatasi hak setiap orang memperjuangkan keadilan
bagi yang bersangkutan terkait dugaan perampasan hak asasinya. Bahkan negara
wajib melindungi dan memelihara serta memfasilitasi dan menjunjung tinggi hak
asasi setiap orang sesuai dengan amanat UUD 1945.
Keberhasilan
praperadilan BG dan IAS seharusnya dipandang dari kacamata (optik) penegakan
HAM di Indonesia, bukan hanya semata-mata pandangan (optik) sempit normatif.
Dalam penegakan hukum diakui secara universal bahwa prosedur (means) memiliki nilai tertinggi dibandingkan
dengan tujuan (goals) sehingga para
ahli filsafat hukum modern selalu menyatakan lawas ameansto anend, notan ends in itself. Dalam kalimat penganut
aliran hukum modern (Pound dan Mochtar K), law as a tool of social engineering atau law as a tool of social and bureaucratic engineering (RAS).
Dalam
mencermati dan mengkritisi ketentuan UU, menurut saya, yang perlu dipahami
adalah nilai-nilai (values) di
balik setiap norma yang diatur di dalamnya. Oleh karena itu, undang-undang
dengan sejumlah pasalnya merupakan sistem nilai (system of values) teori hukum integratif bukan system of norms and logics per se. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar