Pilihan
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 03 Mei 2015
Di suatu siang saya
menyaksikan tayangan ulang sebuah serial televisi berjudul Scandal. Saya
seorang pemirsa yang sejak awal telah menyaksikan serial yang mampu membuat
emosi naik turun itu.
Namun, sejak ada
serial televisi yang jauh lebih memikat, saya tak lagi mengikutinya. Hmmm...
kalau Anda menganggap saya manusia yang tak setia, saya menerima predikat itu
dengan lapang dada. Saya memang manusia yang tidak setia.
Kompromi
Diceritakan dalam
episode itu, seorang wali kota memerintahkan sopirnya yang setia membunuh
istrinya yang berselingkuh dengan calon wali kota yang baru. Untuk menghadapi
reaksi publik atas kejadian itu, Olivia Pope, seorang wanita yang awalnya
bekerja sebagai Direktur Komunikasi Gedung Putih, kemudian memilih untuk
memiliki usahanya sendiri, yang memfokuskan melindungi citra publik kalangan
elite Amerika, menyarankan sebuah strategi yang jitu kepada dua wali kota
tersebut, meski sesungguhnya saran jitu itu jauh dari mengungkapkan
kebenaran.
Pada saat acara jumpa
pers berlangsung, ketika calon wali kota yang baru mendapat giliran
berbicara, ia tidak mengikuti saran Olivia, tetapi justru membuka kebenaran
dan borok yang sesungguhnya. Ia menceritakan secara singkat soal pembunuhan
dan perselingkuhan itu. ”Saya adalah pendosa dan dia (wali kota yang lama)
adalah seorang pembunuh.”
Tayangan di siang itu
membuat saya gundah gulana. Saya bergumul dengan kegundahan itu sambil
menghibur diri. ”Ahh... itu kan semua hanya terjadi di film.” Tetapi nurani
saya tak bisa diam dan ia mengusik sehingga mulut saya menyuarakan sebuah
pertanyaan.
”Benarkah kebenaran
dan kejujuran itu hanya sebuah khayalan dan hanya bisa terjadi di layar lebar
Hollywood? Hanya terjadi di sebuah negara adikuasa? Sebuah negara yang kaya,
yang masyarakatnya mungkin sudah sejahtera?”
Saya tak tahu soal
politik, saya tak mengerti bahkan. Saya juga tak tahu soal komunikasi. Tetapi
hal yang paling mengusik dan menarik adalah melihat bagaimana hidup itu
menawarkan banyak pilihan. Dan manusia harus memilihnya. Entah itu melalui
intelektualitas, navigasi emosi, atau nilai spiritualnya.
Olivia memilih sebuah
jalan keluar yang sungguh intelektual, yang strategis, meski tidak ada
kejujuran di dalamnya hanya agar semua selamat. Sementara itu, ada manusia
yang untuk selamat saja, seperti sang wali kota yang baru, memilih menjadi
jujur dan memperlihatkan kebenaran dengan segala risiko yang harus
dibayarnya.
Maka di saat itulah,
saya menjadi bingung. Apakah tidak jujur itu sebuah kepandaian dan jujur itu
adalah sebuah kebodohan. Saya tak bisa menilai, apakah yang satu terlalu
emosional dan yang satu lagi terlalu berakal.
Pembuat borok
Dalam perjalanan hidup
ini, sesungguhnya saya tidak berani mengungkapkan kebenaran dan kejujuran
itu. Ups... keliru. Saya bukan tidak berani, saya terlalu sering berkompromi
dengan ketidakjujuran. Sama persis betapa seringnya, saya berkompromi dengan
dosa.
Awalnya saya tak bisa
tidur karena tidak jujur, tetapi lama-lama kompromi melahirkan sebuah
kebiasaan. Dan Anda tahu bukan hasil yang didapat dari sebuah kebiasaan?
Apalagi rajin dilatih?
Yaa... benar. Seratus
untuk Anda. Saya tak peka lagi terhadap kejujuran dan atau kebenaran itu.
Kebiasaan itu bahkan sudah membuat saya berpikir kalau ketidakbenaran itu
adalah kebenaran yang sesungguhnya. Saya menjadi mati rasa seperti disuntik
obat anestesi.
Saya bisa tersenyum
manis di saat hati panas membara. Saya bisa memeluk seseorang tetapi memegang
belati di belakangnya. Saya bisa mengatakan ah... cantiknya dirimu, sementara
di dalam hati, saya menghakimi betapa jauhnya dirinya dari cantik.
Saya mampu membuat
seorang juru masak merasa dihargai karena ucapan manis yang saya ucapkan
untuk sebuah sajian yang dibuatnya. Tetapi di dalam benak yang paling dalam,
saya telah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah makan itu untuk
selama-lamanya.
Saya telah merasakan
nikmatnya tidak jujur dan saya juga pernah mengungkapkan kebenaran dan atau
kejujuran itu. Ternyata, menjadi jujur dan menjadi benar itu mengandung
risiko. Kadang ringan-ringan saja, tetapi tak memungkiri di lain waktu mampu
mendirikan bulu roma. Bulu roma saya, dan bulu roma orang lain.
Memiliki kebiasaan
tidak jujur itu adalah borok yang saya pelihara. Dan saya senang berkubang di
dalamnya dan tak jemu-jemu melakukannya. Tetapi pengecutnya, saya tak senang
kalau borok saya terungkap karena malas membayar harga dari keborokan yang
saya buat sendiri.
Karena malas, maka
yang harus membayar adalah orang lain. Saya akan mendatangi manusia macam
Olivia, berkelit dengan sejuta skenario. Atau kadang mencari kambing yang
bisa dihitamkan, agar saya dan orang lain selamat. Jadi saya menjadi
pembunuh, sekaligus penyelamat pada waktu yang bersamaan.
Berpuluh-puluh kali
telah saya katakan pada diri sendiri dan orang lain, kalau saya ingin sekali
masuk surga kalau saya game over. Tetapi saya tak tahu pilihan yang mana yang
mengantar saya pada keinginan itu. Berkelit tetapi menyelamatkan banyak
orang, atau tidak berkelit tetapi saya sengsara dan orang lain juga sengsara.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar