Museum
Surabaya
dan
Institut Penelitian Kerajaan Belanda
Nanang Purwono ; Wakil Pemimpin Redaksi JTV
|
JAWA POS, 06 Mei 2015
HORE... hore…!
Begitulah sorak gembira warga Surabaya setelah Pemerintah Kota Surabaya
meresmikan museum baru yang diberi nama Museum Surabaya. Museum yang
beralamat di Jalan Tunjungan 1 tersebut menambah jumlah museum sebelumnya
seperti Museum 10 November, Museum Maritim, Museum Kesehatan, House of
Sampoerna, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bank Indonesia. Museum Surabaya
diresmikan pada 3 Mei 2015 dalam rangkaian peringatan HUT Ke-722 Kota
Surabaya.
Meskipun Museum
Surabaya terhitung baru, Kota Surabaya sebenarnya pernah memiliki museum kota
yang dibuka pada 1933 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namanya Stedelijk
Historisch Museum atau Museum Sejarah Kota. Museum yang lokasinya sempat
berpindah-pindah tersebut akhirnya menjelma menjadi Museum Mpu Tantular yang
kini berstatus museum negeri Provinsi Jawa Timur dan berlokasi di Sidoarjo.
Seperti apakah Museum
Surabaya yang menempati lantai 2 gedung cagar budaya Siola itu? Benda-benda
yang dipajang di ruangan yang pernah dipakai sebagai pusat perbelanjaan
tersebut umumnya adalah benda-benda lama dari dinas-dinas di lingkungan SKPD
Kota Surabaya.
Misalnya, dinas pemadam
kebakaran menyumbangkan beberapa alat dan baju petugas pemadam kebakaran.
Dispendukcapil menyumbangkan buku besar yang mencatat akta kelahiran warga
pada era pemerintahan Belanda. Juga, beberapa mebel dari gedung bali kota.
Menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, sambil berjalan, Museum Surabaya
akan dilengkapi dengan benda-benda bersejarah yang menjadi saksi sejarah
perkembangan Kota Surabaya.
Koleksi Pilihan
Museum Surabaya sudah
dibuka. Isinya sementara masih terkesan sekadar memindahkan barang-barang
lama di masing-masing kantor SKPD. Kelak, jika akan mengisi museum itu dengan
serius, benda-benda yang akan di-display hendaknya diseleksi dengan baik dan
cermat sesuai dengan konsep Museum Surabaya. Tentu, Museum Surabaya harus
berbeda dengan museum yang sudah ada, khususnya Museum 10 November.
Misalnya, jika
mendapatkan benda-benda yang terkait dengan sejarah kepahlawanan 10 November
1945, kiranya akan lebih pas kalau benda tersebut ditempatkan di Museum 10
November. Hal itu ditujukan untuk membedakan positioning Museum Surabaya
dengan Museum 10 November atau Tugu Pahlawan.
Museum Tugu Pahlawan
yang dibuka pada 2000 sebenarnya masih perlu mendapat perhatian untuk
pengayaan isi benda-benda koleksinya. Sejak dibuka, koleksinya relatif tetap
itu-itu saja, meski pernah ada tambahan benda koleksi seperti mobil Opel dari
keluarga Bung Tomo dan koleksi lain dari keluarga Mayjen Sungkono. Ruang
relief di bagian dalam tembok yang mengelilingi taman dan halaman Tugu
Pahlawan juga masih kosong. Belum ada pengerjaan relief. Padahal, dulu pada
awal-awal pembukaan museum, tembok yang sudah dibingkai akan dibuat relief
perjuangan arek-arek Suroboyo. Namun, hingga kini, sudah 15 tahun, space
relief masih kosong.
Kekhawatiran
melesetnya realisasi sebuah rencana bisa jadi terulang pada proyek Museum
Surabaya. Karena itu, pengelolaan Museum Surabaya yang diharapkan menjadi
etalase sejarah perjalanan Kota Surabaya yang panjang ini bisa tersaji dengan
baik. Pilihan benda-benda yang dipajang hendaknya bisa mewakili perjalanan
sejarah. Benda-benda koleksi harus ditata dan ditempatkan secara sistematis
dan kronologis sehingga memudahkan pengunjung memahami sejarah Kota Surabaya.
Museum Surabaya adalah representasi sejarah Kota Surabaya.
KITLV: Recording The Future
Recording The Future
adalah proyek pendokumentasian oleh Institut Penelitian Kerajaan Belanda,
KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-,
Land-en Volkenkunde), mengenai kehidupan sehari-hari di Indonesia,
termasuk di Surabaya. Mengacu pada namanya, proyek tersebut merekam masa
depan Surabaya hingga 2100 dan dimulai sejak 2003.
Menurut peneliti KITLV
Fridus Steijlen yang datang ke Surabaya pada 2011 dan bertemu dengan penulis,
peneliti KITLV yang terlibat dalam proyek tersebut akan datang ke lokasi yang
sama setiap empat tahun sekali. Kepada penulis, Fridus mengaku pernah merekam
Kota Surabaya pada 2003 dan 2007. Rencananya, KITLV datang tahun ini (2015)
di lokasi yang sama seperti pada 2003, 2007 dan 2011. Demikian seterusnya
pada kurun waktu empat tahunan hingga 2100 (abad ke-22) peneliti KITLV akan
datang ke Kota Surabaya untuk melakukan perekaman di lokasi yang sama.
Bisa dibayangkan apa
yang akan terjadi ketika kita memasuki abad ke-22. KITLV akan memiliki
dokumen visual Kota Surabaya kembali ke awal abad ke-21. Mereka akan memiliki
dokumen tentang Surabaya sepanjang abad ke-21. Proyek tersebut menunjukkan
bahwa KITLV memiliki blueprint yang dapat dijadikan panduan bagi siapa pun
penelitinya, meski peneliti KITLV dalam proyek tersebut berganti-ganti.
Apakah kita secara
kelembagaan sudah memikirkan proyek untuk anak cucu kita, meski pemimpin kota
berganti-ganti? Jangan-jangan pada abad ke-22 nanti anak cucu kita masih
tetap akan menengok Belanda untuk mencari sumber-sumber sejarah seperti yang
sudah kita lakukan selama ini. Alangkah sayangnya!
Karena itu, Museum
Surabaya hendaknya punya visi jauh ke depan sebagai lembaga yang bisa merajut
sejarah perjalanan kota, setidaknya seperti yang dilakukan KITLV. Museum
Surabaya harus selektif terhadap benda-benda koleksinya. Museum Surabaya
tidak boleh pasif, hanya menunggu datangnya hibah dari warga. Museum Surabaya
harus aktif dan visioner agar bermanfaat sebagai sumber penelitian,
pendidikan, dan tentu saja pariwisata. Akhirnya, Museum Surabaya turut
memarakkan HUT Ke-722 Kota Surabaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar