Merengek
di Zaman yang Serbamudah
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak
nasional di Indonesia
|
JAWA POS, 10 Mei 2015
SAYA menyimpan
anggapan bahwa sekarang ini segalanya serbamudah jika dibandingkan dengan
situasi beberapa tahun lalu. Pengetahuan-pengetahuan yang sulit didapatkan
pada waktu lalu sekarang bisa didapatkan dengan gampang. Itu berarti, jika
seseorang memiliki minat untuk meningkatkan diri, di bidang apa pun yang dia
sukai, dia memiliki kesempatan dan kemudahan untuk melakukannya.
Belajar fotografi
beberapa tahun lalu, misalnya, akan memerlukan biaya yang cukup besar. Harga
kamera mahal. Anda juga harus sangat berhati-hati menggunakan film dan tidak
boleh terlalu boros memotret. Mungkin Anda membatasi diri untuk menghabiskan
satu atau dua rol sebulan.
Sekarang, jika mau
agak serius mendalami fotografi, Anda bisa mendapatkan kamera dengan harga
relatif terjangkau. Atau, kalau sekadar suka memotret dengan kamera saku,
tanpa hasrat menjadi fotografer profesional, fasilitas kamera semacam itu
sudah melekat di gawai (gadget) Anda. Anda juga tidak harus membeli film,
tidak harus membayar biaya cuci film, dan boleh memotret seribu jepretan
sehari, kalau Anda mau, tanpa mengeluarkan biaya.
Untuk mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan dasar tentang fotografi, Anda bisa menemukannya
dengan mengoperasikan perangkat mesin pencari di internet. Setidaknya, untuk
mendapatkan pengetahuan-pengetahuan dasar dari apa yang Anda minati, Anda
nyaris tidak mengeluarkan biaya selain akses internet.
Begitupun dengan
hal-hal lain. Jika Anda berniat lebih terampil memainkan gitar untuk
menghibur tetangga sebelah, ada banyak bahan yang bisa Anda dapatkan gratis
tentang bagaimana cara mencakar senar gitar dan membuat tetangga kiri-kanan
Anda menangis sesenggukan oleh rasa haru yang tak tertahankan. Ada banyak
teknik dasar yang bisa Anda peroleh gratis tentang bagaimana memainkan kecapi
atau beternak keledai atau memikat burung bulbul.
Namun, Anda tahu,
hidup kurang menarik jika segalanya terlalu mudah dan kurang ada kejutan.
Sampai beberapa hari lalu, dengan latar belakang yang sudah kita bicarakan di
atas, tetap ada pertanyaan-pertanyaan yang nyelonong di e-mail maupun di
keranjang pesan akun media sosial saya, yang kalau diringkaskan bunyinya akan
seperti ini: ''Ajari dong caranya menulis bagus.''
Astaga! Pengin nangis
saya. Saya tidak ingin menjawabnya sambil berpura-pura bahwa saya bisa
menulis bagus. Saya sudah menulis buku tentang penulisan kreatif dan itu
bukan buku terlarang. Saya juga sudah sering menyampaikan pemikiran saya
tentang tulis-menulis, baik di ruangan ini maupun di blog pribadi saya, dan
itu juga bukan tulisan-tulisan terlarang.
Maka, hal terbaik yang
bisa saya lakukan untuk menanggapi pertanyaan semacam itu adalah menirukan
cara Bertrand Russell menjawab pertanyaan serupa dalam tulisannya How I
Write, yakni menceritakan pengalaman sendiri dalam urusan tulis-menulis. Saya
beruntung dalam urusan ini karena hampir setiap hari dikepung bermacam-macam
dongeng.
Di kampung masa kecil
saya, di Semarang, ada tetangga seorang kakek yang suka mendongeng –umurnya
sudah lebih dari seratus pada waktu itu– dan hampir setiap hari selepas
magrib kakek itu mengumpulkan anak-anak kecil di rumahnya dan mendongeng.
Saya pernah menyebut kakek itu dalam tulisan saya terdahulu, dan
menceritakannya kepada beberapa teman, saya yakin karena saya mencintainya.
Dongeng lain yang
hampir setiap malam menjejali telinga saya adalah cerita wayang. Saya sering
tidur bersama nenek dan dia selalu mendengarkan acara wayang kulit melalui
siaran radio. Nenek saya menyukai dalang wayang kulit Ki Narto Sabdho, tetapi
pada dasarnya dia mendengarkan semua siaran wayang kulit di radio, siapa pun
dalangnya. Saya tidak memahami cerita-cerita wayang yang dia dengarkan, dan
baru sedikit paham ketika mulai bisa membaca dan menikmati saduran
Mahabharata dan Ramayana.
Sumber-sumber cerita
lain yang juga sangat memukau bagi saya adalah para gali yang sering
berkumpul di rumah dan mereka selalu memiliki cerita-cerita yang mengasyikkan
untuk didengar. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi korban penembakan
misterius dan mereka tidak pernah bisa lagi berkumpul setelah itu. Saya
kehilangan cerita-cerita menarik dari mereka.
Tumbuh di
tengah-tengah mereka dan di lingkungan pergaulan kelas bawah, saya diam-diam
mengamati sebuah pola yang ajek: semakin rendah tingkat pendidikan orang, dan
mungkin juga tingkat kesejahteraan mereka, semakin menakjubkan cerita-cerita
dan pengalaman yang mereka tuturkan.
Ada sebuah keluarga
besar di kampung sebelah dan nyaris semua penghuni rumah itu buta huruf.
Mereka selalu menuturkan pengalaman-pengalaman yang mustahil dialami orang
lain dan hampir setiap hari salah seorang di antara mereka menemukan
benda-benda sakti, atau berjumpa dengan pelbagai jenis hewan yang memiliki
nama-nama ganjil dan tidak pernah ada. Saya memercayai mereka karena mereka
sulit dibantah dan saya selalu mendengar cerita-cerita mereka dengan perasaan
takjub dan cemburu.
Itu dunia lisan yang
melekat selamanya di dalam ingatan. Saya baru memasuki dunia tulisan pada
kelas tiga SD, mengikuti cerita silat bersambung di harian Suara Merdeka, dan
membaca buku-buku cerita pada kelas empat saat sekolah saya mulai memiliki
perpustakaan. Buku pertama yang saya baca adalah Lawa dan Kusya, kisah dua
anak Sri Rama yang ditulis ulang oleh Djokolelono, nama yang akan saya jumpai
lagi kelak sebagai penerjemah novel-novel Dataran Tortilla, karya John
Steinbeck, dan Prajurit Schweik, karya Jaroslav Hasek. Itulah dua di antara
empat novel yang pernah saya ketik ulang semasa SMA. Dua yang lain adalah
Frankenstein karya Mary Shelley dan Lelaki Tua dan Laut karya Ernest
Hemingway.
Saat naik ke kelas
enam dan mulai muncul hasrat menulis –saya kira itu efek menyengsarakan dari
kegemaran membaca–saya membeli dua buku panduan menulis. Yang satu
benar-benar tidak bisa saya ingat apa isinya dan siapa penulisnya dan yang
satunya adalah karya Mochtar Lubis berjudul Teknik Mengarang. Saya berpikir
akan bisa menulis cerita setelah membaca buku-buku tersebut. Dan saya tetap
tidak bisa menulis cerita. Namun, buku Mochtar Lubis itu memperkenalkan
kepada saya nama-nama seperti Anton Chekov, William Saroyan, dan Alberto
Moravia. Melalui buku itu, untuk kali pertama saya membaca terjemahan cerpen
Anton Chekov berjudul Benda Seni.
Pada masa SMP, saya
terpukau kepada para detektif, terutama Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan
Doyle) dan Hercule Poirot (Agatha Christie) serta para pendekar, baik pribumi
maupun dari Negeri Tiongkok, lalu terseret untuk menulis cerita-cerita
detektif dan cerita silat tanpa pernah berhasil menyelesaikan satu cerita
pun. Pada masa itu, penulis Yusi Avianto Pareanom, kawan karib saya sejak
SMP, SMA, hingga kuliah di Jogjakarta, mengajak saya ikut kelompok teater
sekolah dan saya mengikuti ajakan itu tanpa pernah sekali pun berpentas.
Kemudian, saya menamatkan semua seri Petualangan Karl May terbitan Pradnya
Paramita dan jika terkejut pada sesuatu saya menjadi Winnetou yang
mengeluarkan bunyi: ''Uff! Uff!''
Di luar semua
petualangan yang kocar-kacir itu, ada satu pengalaman yang saya anggap
sebagai pengalaman terbaik di waktu yang tepat. Suatu hari dalam pelajaran
mengarang di SD, guru memberikan tugas untuk menuliskan pengalaman
sehari-hari selama seminggu terakhir. Saya sudah membaca buku Teknik
Mengarang dan tidak senang menulis karangan seperti yang diminta oleh guru.
Maka, dengan risiko dimarahi atau mendapat nilai buruk, saya menulis fiksi
tentang seorang ibu yang melakukan pengembaraan ke mana-mana untuk mencari
anaknya yang hilang terbawa banjir besar.
Guru tidak menyalahkan
karangan itu dan menghukum saya dengan nilai buruk karena melanggar perintah.
Dia malah memberi nilai sembilan dan itu membuat saya semakin keranjingan
mengarang cerita. Tulisan itu juga sebentuk ucapan terima kasih kepadanya,
entah dia membaca atau tidak, entah dia mengingat hal itu atau tidak.
Sejak saat itu, saya
rajin mengirimkan karangan, yang saya tulis tangan di atas kertas folio
bergaris, ke pelbagai majalah anak-anak. Tidak ada satu pun yang dimuat. Saya
pikir, karangan harus diketik rapi agar bisa dimuat.
Baru saat kelas dua
SMA, 1986, cerita pendek saya yang berjudul Suara-Suara dimuat di koran lokal
Semarang, Kartika. Dua minggu setelah itu, puisi saya dimuat di koran yang
sama. Itulah satu di antara dua puisi yang saya kirimkan dan menjadi
satu-satunya puisi karya saya yang pernah dimuat di media massa. Cerpen kedua
dimuat enam tahun kemudian, 1992, di koran Jawa Pos dan seminggu kemudian
cerpen ketiga muncul di Kompas. Saya tidak ingat kedua judul cerpen tersebut.
Setelah itu, urusan
mengirimkan cerpen agar dimuat di media massa menjadi agak mudah. Yang tidak
pernah mudah adalah bagaimana menghasilkan tulisan yang bagus. Itu seperti
urusan mendaki gunung, sebuah perjalanan yang sengsara, namun kita menolak
surut dan selalu ingin tiba di puncak. Kemudian, kita mendaki lagi puncak
yang lebih tinggi, dan lebih tinggi, dan lebih tinggi.
Selebihnya, saya hanya
meyakini bahwa menulis bagus atau menulis buruk adalah soal kebiasaan. Orang
yang terbiasa menulis bagus akan sulit dipaksa menulis buruk dan orang yang
terbiasa menulis buruk akan susah dipaksa menulis bagus. Orang yang terbiasa
membaca karya bagus akan sulit dipaksa membaca karya buruk dan orang yang terbiasa
membaca karya buruk sulit dipaksa membaca karya bagus.
Demikian pula dengan
kebiasaan orang menonton film. Penonton yang membiasakan diri dengan
tontonan-tontonan buruk akan sulit mencerna film-film bagus, dan sebaliknya.
Jadi, untuk mendapatkan kecakapan apa pun, Anda hanya perlu membiasakan diri
mendapatkan pengetahuannya dan melakukan sesuatu pada level yang Anda
inginkan.
Dan sekarang saya
merasa sangat beruntung karena mudah sekali mendapatkan bahan-bahan dan
pengetahuan untuk meningkatkan kecakapan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar