Mengukur
Kemandirian Desa
Aang Kusmawan ; Peneliti Isu Pedesaan dan Anggaran di
Perkumpulan Inisiatif
|
KOMPAS, 08 Mei 2015
Dari era kolonial
sampai sekarang posisi desa tidak lebih dari sekadar obyek pembangunan.
Berbagai regulasi telah memosisikan desa tidak lebih dari sekadar pelaksana
kebijakan dan program pembangunan pemerintah di atasnya.
Hal ini menyebabkan
posisi desa menjadi terpojok. Tidak berdaya membangun dirinya sendiri. Lebih
banyak membangun dengan modal pihak luar daripada kekuatan sendiri.
Ketergantungan
Secara historis
ketergantungan desa terhadap pemerintahan di atasnyabermula pada era
kolonial. Hal ini ditandai dengan keluarnya Regeerings reglement, sebuah aturan mengenai desa pada 1854.
Aturan tersebut mengatakan bahwa pemerintah desapunya hak mengurus rumah
tangganya sendiri, mengacu pada aturan gubernur jenderal.
Namun, aturan tersebut
dianulir oleh aturan Desa ordonannantie pada 1941. Aturan ini menyatakan
bahwa desa mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa harus
mengacu pada aturan di atasnya.
Akan tetapi, sebelum
aturan ini berjalan menyeluruh, penjajahan Belanda digantikan oleh penjajahan
Jepang. Pada penjajahan Jepang, semua aturan desa tersebut tidak berlaku.
Desa tidak lebih dari sekadar kepanjangan tangan dalam upaya memenangi
peperangan.
Semangat untuk
mengurangi ketergantungan desamuncul kembali di era kemerdekaan, melalui UU
No 1/1945 dan UU No 22/1948. Kedua UU ini spesifik menyatakan bahwa desa
merupakan bentuk otonomi paling bawah dan berwenang mengatur dirinya sendiri
tanpa harus mengacu pada aturan di atasnya. Ini merupakan sinyalemen positif
bagi desa.
Namun, belum juga UU
tersebut dilaksanakan secara menyeluruh dan merata, lahir Dekrit Presiden
1959. Menindaklanjuti dekrit tersebut, lahir Penpres No 6/1959 yang secara
substantif mengatur desa melalui pemerintah daerah dengan cara yang
sentralistik. Peran Presiden dan Menteri Dalam Negeri yang dominan menjadi
salah satu ciri menonjol. Tentu saja, hal ini menyebabkan desa kembali tak
lebih sekadar kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya.
Pada prosesnya,
semangat sentralistik tersebut dianulir olehUU No 19/1965 tentang Desa
Pradja. UU tersebut mengatakan bahwa desa praja adalah suatu kesatuan
masyarakat hukum yang dibatasi oleh teritori berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, memilih penguasanya dan memiliki harta bendanya sendiri. Secara
semangat UU ini mencoba memberikan kepada desa keleluasaan untuk mengurus
dirinya sendiri tanpa harus terlalu terikat dengan pemerintahan di atasnya.
Melalui UU ini posisi desa kembali menguat.
Namun, setelah itu
serangkaian regulasi tentang desa cenderung menempatkan desa dalam posisi
yang lemah. Pada periode 1969-1979, lahir UU No 6/1969 yang membekukan UU
sebelumnya, yangdisusul dengan UU No 5/1974dan UU No 5/1979. Dalam UU
tersebut posisi pemerintah desa adalah bagian dari pemerintah daerah yang
dikendalikan secara sentralistik oleh presiden dan pejabat setingkat menteri
secara langsung. Melalui UU ini posisi desa tidak lebih dari sekadar kepanjangan
tangan pemerintah di atasnya.
Lalu pada periode
1999-2014 lahir beberapa UU yang berkaitan langsung dengan desa.UU No 22/1999
mendefinisikandesa sebagai ”sebuah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten.” UU ini memang sama sekali tak
berbau sentralisme yang kuat, tetapi desa sifatnya tetap hanya memperoleh
kewenangan sisa dari pemerintah kabupaten dan kecamatan. Desa dalam bingkai
UU ini pun tak lebih darikepanjangan tangan pemerintah di atasnya.
Begitu juga denganUU
No 32/2004 tentang Pemerintah Daerahdan UU No 6/2014 tentang Desa. Kedua UU
ini punya napas yang sama, yaitu antisentralisme dengan memosisikan desa
sebagai kesatuan hukum yang punya kewenangan untuk mengurus kepentingan
masyarakat dan rumah tangganya sendiri.
Namun, tetap saja,
dalam dua UU ini desa secara mendasar hanya mendapatkan kewenangan sisa dari
pemerintah di atasnya. Posisi desa tetap menjadi kepanjangan tangan dari
pemerintah di atasnya.
Pemandu
Akibat dari regulasi
yang subordinatif dan konsekuensi logis atas berbagai regulasi tersebut,
dapat terlihat jelas pada beberapa dimensi yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat desa.
Pertama, dimensi
kelembagaan pemerintah desa. Pada dimensi ini akan diketahui bagaimana
tingkat kemandirian kelembagaan pemerintah desa terhadap pemerintah di
atasnya. Semakin besar ketergantungan kelembagaan pemerintah desa dalam
melaksanakan kewenangannya, ini adalah bentuk ketergantungan yang negatif.
Namun, semakin kecil ketergantungan kelembagaan pemerintah desa terhadap
pemerintah di atasnya,ini adalah bentuk ketergantungan yang positif.
Kedua, dimensi
kelembagaan ekonomi masyarakat desa. Pada dimensi ini akan diketahui
bagaimana tingkat kemampuan kelembagaan ekonomi masyarakat dalam upaya
memajukan kondisi perekonomian. Semakin berjalan fungsi-fungsi kelembagaan
ekonomi dalam menjawab semua kebutuhan material masyarakat, kelembagaan
ekonomi itu semakin mandiri. Namun, semakin tidak berjalan fungsi kelembagaan
ekonomi masyarakat itu, berarti semakin tidak mandiri kelembagaan ekonomi
tersebut. Tentu saja ini adalah hal negatif.
Ketiga, kelembagaan
sosial masyarakat. Pada dimensi ini akan tergambar dengan jelas bagaimana
fungsi-fungsi kelembagaan sosial ini berjalan. Berbeda dengan dua dimensi
lainnya yang cenderung material, dimensi ketiga ini cenderung abstrak.
Bagaimana nilai-nilai kearifan lokal, nilai-nilai universal dianut dan
dijalankan oleh masyarakat dalam kelembagaan sosial akan sangat menentukan
bagaimana keberhasilan kelembagaan sosial ini berperan di masyarakat.
Melihat karakteristik
bangsa Indonesia yang begitu luas dan plural, gambaran mengenai kondisi desa
dalam tiga dimensi tersebut akan sangat beragam. Dalam bayangan penulis, akan
banyak muncul tipologi desa dengan kondisi yang berbeda di setiap tiga
dimensi tersebut.
Gambaran kondisi desa
yang sebenarnya berdasarkan tiga dimensi tersebut secara langsungakan menjadi
pemandu bagi siapa saja untuk melaksanakan semua program di desa. Semakin
patuh program yang masuk dengan kondisi tiga dimensi tersebut, semakin tepat
pula program yang masuk ke desa. Sebaliknya, semakin tidak patuh guliran
program yang masuk ke desa dengan kondisi tiga dimensi tersebut, semakin
tidak tepat pula program tersebut.
Dalam konteks
demikian, desa tidak lagi dikendalilan oleh berbagai guliran program dari
luar, tetapi program dari luar tersebut justru dikendalikan oleh desa melalui
gambaran dari ketiga dimensi tersebut.
Dengan demikian, desa
akan lebih mandiri dalam mengurus dirinya sendiri. Desa akan punya daya tawar
dalam mengurus, membangun dirinya sendiri terhadap pihak lain. Seharusnya
pemikiran ini menjadi salah satu bahan diskusi menarik di antara semua penggiat
desa selain ingar-bingar mengenai pembagian uang yang besar ke desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar