Membalik
Pendamping Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 04 Mei 2015
Upaya menghidupkan
kembali 16.000 pendamping desa harus diikuti dengan pembalikan pengalaman 15
tahun terakhir. Subyek pendampingan dan finansial telah berubah mengikuti UU
No 6/2014 tentang Desa. Undang-undang juga menyodorkan lembaga baru pendukung
pembangunan.
Semua Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) kini berkonsep community-driven development (CDD). Namun, justru pengalaman
inilah yang harus diperlakukan secara terbalik.
Modal sosial
Diperkenalkan sejak
1999, Bank Dunia mendasarkan CDD pada konsep modal sosial ciptaan James S
Coleman. Sebagai pakar teori pilihan rasional, Coleman mengusulkan wargalah
yang mengambil keputusan paling efisien di antara pilihan-pilihan kegiatan
yang dibolehkan (community-driven).
Caranya, memadukan
peringkat tujuan pembangunan yang paling mungkin dicapai sesuai nilai bantuan
pemerintah dan modal sosial warga (tindakan kolektif, pengumpulan dana, dan material).
Operasionalisasinya berupa pertemuan tingkat kecamatan guna memutuskan
pemenang di antara lautan proposal yang diajukan semua desa. Proposal paling
efisien adalah yang rasionya paling tinggi antara manfaat per biaya (B/C
ratio).
Desa berstrategi
meningkatkan angka benefit dengan menuliskan jumlah pemanfaat
sebanyak-banyaknya, termasuk manfaat bagi desa-desa lain. Adapun strategi
penurunan biaya dilakukan dengan menambahkan modal sosial sebesar-besarnya.
Jumlah warga yang
bergotong royong dinilai sekadar tukang batu yang bekerja bersama (collective action). Upah bayangannya
dikembalikan kepada PNPM lalu dihitung sebagai nilai modal sosial. Sumbangan
sukarela berupa lahan dan konsumsi dipandang berpamrih sehingga bisa dinilai
setara uang.
Keniscayaan modal awal
berlanjut hingga penerima skema pinjaman proyek. Untuk itu, diutamakan warga
yang berpengalaman berproduksi dan berdagang. Alhasil, kegiatan simpan pinjam
kalis dari rumah tangga termiskin.
Basis data PNPM
Mandiri Perdesaan, misalnya, memang mencatat 70 persen pemanfaat langsung
proyek dari rumah tangga miskin. Namun, golongan miskin didefinisikan
tersendiri dalam rapat keproyekan.
Sebagai perbandingan,
menurut Badan Pusat Statistik, hanya 14 persen desa yang melaporkan rumah
tangga miskin mendapatkan manfaat PNPM. Statistika ini sejalan dengan hasil
diskusi-diskusi evaluatif desa yang menihilkan PNPM sebagai pendorong
mobilitas sosial orang miskin.
Muncul pada awal
reformasi, CDD menilai, pemerintah pusat, daerah, dan desa berpamrih. Mereka
dianggap penumpang gelap (free rider)
dengan korupsi sehingga dilarang turut serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi proyek.
Mudah ditebak,
pembangunan yang kosong dari negara tersebut segera diisi swasta, yaitu
perusahaan konsultan pendamping dan bank pembangunan asing. Selayaknya
industri, standardisasi dipraktikkan dengan menyamaratakan semua tahapan dan
penggunaan metode partisipasi di semua lokasi proyek.
Alokasi dana utang
Dari utang PNPM
Mandiri Perdesaan ke Bank Dunia 2012-2015 sebesar 650 juta dollar AS atau Rp
8,5 triliun, sebanyak 450 juta dollar AS atau Rp 5,8 triliun dialokasikan
bagi pendamping internasional, nasional, kabupaten, hingga kecamatan.
Menganalogikan laporan BPS di atas, diduga utang luar negeri hanya bermanfaat
4 persen bagi rumah tangga miskin, 27 persen untuk rumah tangga kaya, dan 69
persen untuk pendamping.
Untuk menjaga
rasionalitas pertukaran nilai dana, material, dan tenaga, PNPM dijalankan
sebagai sistem proyek yang tertutup. Berlakulah kaidah zero sum game, di mana
total nilai manfaat selalu sama dengan nilai kucuran dana ditambah sumbangan
modal sosial dan dikurangi biaya pendampingan.
Prasyarat ketertutupan
sistem menghalangi penguatan unit pengelola kegiatan (UPK) di kecamatan yang
beromzet hingga miliaran rupiah per tahun untuk menjadi lembaga berbadan
hukum, seperti koperasi dan badan usaha lain. Sebaliknya, semua komponen
proyek bersifat tetap selama belasan tahun.
Solidaritas sosial
UU No 6/2014 mengubah
dimensi keproyekan menjadi kebijakan birokratis pembangunan desa. Lompatan
paradigma mutakhir ini melarang pendamping menyisihkan pemerintah desa
sebagaimana terjadi selama ini dan mendudukkannya sebagai aktor pembangunan
bersama warga.
Dana pembangunan tidak
lagi diberikan sebatas 54 persen desa terseleksi, tetapi menyebar ke semua
desa. Sementara PNPM Mandiri Perdesaan menghabiskan biaya proyek dan
pendampingan sekitar Rp 405 juta per desa, kini aliran dana ke setiap desa
berlipat ganda. Artinya, jika diperlukan, pemerintah desa mampu membayar
pendampingnya seiring dengan kemandiriannya dalam membangun bersama warga.
Orientasi pamrih dan
sifat ketertutupan CDD harus diganti menjadi solidaritas antar-lapisan
masyarakat dan golongan sebagaimana lazim di desa sejak dahulu. Pendamping
tidak boleh lagi mengeliminasi elite dan pemerintah desa sebagaimana acuan
PNPM, sebaliknya menjadikan semua lapisan dan golongan sebagai subyek
pendampingan.
Mubyarto dan Sajogyo
telah menerapkan sepanjang 1993-1997 dalam Program Inpres Desa Tertinggal, di
mana musyawarah selalu diikuti warga berbagai lapisan, termasuk elite dan
pemerintah desa. Nilai solidaritas mengarahkan kekuasaan elite justru guna
memberdayakan lapisan terbawah di pedesaan (power with the poor).
Badan usaha milik desa
di tingkat desa atau kecamatan perlu berbadan hukum agar dapat menampung
kumulasi nilai tambah kegiatan guna memandirikan desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar