Kutukan
Permissiveness
Faisal Ismail ; Guru Besar
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 15 Mei 2015
Sekularisme adalah paham yang
memisahkan nilai-nilai agamawi dari urusan duniawi. Sekularisme mengakibatkan
terjadi ”permissiveness”
(keserbabolehan) dalam masyarakat Barat sebagai penganut paham ini.
Pemerintah Swedia pernah membentuk Panitia Nasional meriset hubungan
seks di kalangan remaja. Carel Gustav Boethus, sekretaris Panitia Nasional,
mengatakan: ”Premarital sex relations
are common and young people in most contries regard this all right.” (Hubungan
seks pria-wanita di luar nikah sudah biasa dan generasi muda di kebanyakan
negara Barat menganggapnya tidak apa-apa).
Perkembangan moralitas baru ini mewujud dalam bentuk diadakannya
naturist camps atau nudist camp (perkampungan kaum telanjang). Terjadi commercialization of sex
(komersialisasi seks) dalam skala besar dalam bentuk sex expo, prostitusi, pornografi, night life, dan night club
yang mempertontonkan strip tease (tarian
telanjang), erotic show (pertunjukan erotis), maraknya tabloid dan majalah
porno (seperti Playboy) serta blue
film.
Lewat lirik-lirik lagu, propaganda permissivenessitu juga gencar
diserukan. Roderick Maredith dalam majalah Plain Truth (No 3 Maret 1971) menyebut permissiveness sebagai ”curse
of western society” (kutukan terhadap masyarakat Barat). Maredith
membeberkan akibat yang ditimbulkan permissiveness
di Amerika Serikat (AS) sebagai berikut: (1) Kejahatan meningkat hampir
sembilan kali lipat secepat populasi.
(2) Sepertiga kelahiran bayi pertama pada 1964-1966 berasal dari luar
perkawinan. (3) Pada 1969 diperkirakan 400.000 kelahiran bayi tidak sah. (4)
Suatu survei terbuka menyatakan setidak-tidaknya 50% anak perempuan mengalami
putus sekolah karena hamil. (5) Penyakit kelamin keadaannya tidak terkontrol.
(6) Lebih sejuta wanita setiap tahunnya melakukan aborsi ilegal.
(7) Sebanyak 8000 orang meninggal dunia diperkirakan akibat aborsi
ilegal.
(8) Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pelajar di lingkungan college.
Begitulah akibat permissiveness
di AS dan akibat serupa ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Barat lainnya
yang telah menjadi permissive society.
Banyak orang Barat sudah menerima ”permissiveness
psychology”. Mereka mengatakan: ”There
is no eternal truth, there can be no fixed standards by which we can judge
any issues, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to
look to for guidance.” (Tidak ada
kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menghukumi sesuatu, tidak
ada jalan untuk mengetahui yang benar dan yang salah, tentunya tidak ada
Tuhan yang bisa memimpin).
Mereka tidak mengakui nilai-nilai kebenaran abadi dan tidak mengenal
cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Pandangan inilah yang telah
menimbulkan ”permissiveness” itu.
Moralitas baru yang bernama permissiveness
ini melenyapkan batas antara yang halal dan yang haram di bidang moral
seksual.
Moralitas baru ini tidak mempunyai nilai moral yang pasti atau tidak
memiliki ukuran moral yang mutlak karena kepercayaan kepada Tuhan dan akhirat
telah dilucuti. Moral permisif ini sebenarnya adalah ”moral relativism” di
mana kriteria baik dan buruk diserahkan kepada subjektivitas perseorangan.
Menjamurnya permissiveness di Barat karena kebanyakan masyarakat Barat
melucuti bimbingan Tuhan. Agama ditinggalkan, akibatnya norma-norma moral
seksual juga diabaikan, dosa dianggap ringan, kepercayaan kepada Tuhan
dianggap kuno dan takhayul belaka.
David Raphael Klein dalam majalah Reader’s Digest (edisi April 1970)
melukiskan ini: ”Pada suatu saat dalam
perjajalan sejarah, orang Barat kehilangan kepercayaan kepada Tuhan sebagai
kekuasaan tersendiri, sebagai pemutus nasibnya, dan sebagai hakim tertinggi
atas perbuatan-perbuatannya. Paham bahwa Tuhan menciptakan manusia dipandang
telah kuno: kita manusia mengalami evolusi (berkembang dari bentuk-bentuk
sederhana menjadi wujud yang sekarang ini).
Pikiran tentang neraka adalah indah,
tetapi tidak lagi meyakinkan. Hidup mulai dilihat sedikit-banyak sebagai
suatu yang relatif, ringan, dan bersifat sosiologis dan, bagi orang banyak,
dosa itu dipandang sebagai suatu hal yang dibuat-buat saja. Sesudah beribu-ribu
tahun hidup di bawah kekuasaan berbagai Tuhan, manusia memandang kepercayaan
yang demikian itu sebagai kuno dan takhayul.”
Pandangan hidup sekuler inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Barat
memandang kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang kuno dan takhayul
semata. Nietzsche bahkan berteriak keras: Tuhan telah mati (God was dead). Hilangnya kepercayaan
kepada Tuhan menyebabkan hilang pula rasa takut terhadap ancaman neraka.
Mereka acuh tak acuh terhadap harapan-harapan kenikmatan surga, yang mereka
jalani adalah hidup, mati, dan usailah sudah.
Persis seperti dikatakan Klein: In
freeing himself of the terror of hell, he gave up his hope of heaven: you
live, you die, that is the end of it. (Dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, dia
(orang Barat) melepaskan pula harapannya akan kenikmatan surga: kamu hidup,
kamu mati, dan selesailah sudah).
Demikianlah ”kutukan” permissiveness
yang menimpa dunia Barat. ”Kutukan” permissiveness
dalam batas tertentu juga sudah menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Di
negeri ini permissiveness di bidang
hubungan seksual semakin merebak. Terjadi prostitusi online di rumah kos di
Tebet dan apartemen Kalibata City (Jakarta), Bandung, Surabaya, Jember, dan
kota-kota lainnya.
Terakhir, polisi di Jakarta membongkar jaringan prostitusi kelas atas
yang melibatkan seorang artis (berinisial AA bertarif Rp80-200 juta) dan
mucikarinya. Bukankah ini merupakan ”kutukan” permissiveness? Profesor Jaques Barzun menyerukan: ”Restore God to the fullness of His
Reality” (Kembalikan Tuhan kepada
kedudukan-Nya yang sesungguhnya!).
Selama Tuhan tidak dikembalikan kepada kedudukan-Nya yang sejati,
selama itu pula nilai-nilai ketuhanan tidak akan tercermin dalam setiap
perilaku moral. Pesan Profesor Jaques Barzun itu berlaku universal, termasuk
juga bagi pelaku moral permisif di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar