Kok
Hanya Pajak, Sih
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 16 Mei 2015
Beberapa
waktu yang lalu saat menanggapi kenaikan tunjangan jabatan bagi pegawai
pajak, Jimly Asshiddiqie bercuit melalui akun Twitter-nya bahwa pegawai pajak
tak boleh korupsi karena tunjangan jabatannya sudah besar, sedangkan pegawai
negeri yang lain boleh korupsi.
Tentu
Jimly yang mantan ketua MK itu hanya menyindir. Meski saya meyakini kebijakan
pemberian tunjangan besar itu sudah didiskusikan dengan matang, saya setuju
dengan kritik Jimly itu. Pemberian tunjangan jumbo kepada pegawai pajak itu
terasa sebagai pemanjaan dan pengistimewaan yang berlebihan. Sejak dulu saya
termasukyang setuju dengan pendapat bahwa kebijakan pemberian insentif
istimewa kepada pegawai bidang tertentu adalah kurang tepat.
Menurut
saya, hampir semua bidang tugas dalam pemerintahan itu sama pentingnya. Kalau
dikatakan bahwa petugas pajak itu sangat penting karena menentukan besarnya
penerimaan negara, bisa ada yang mengatakan bahwa hakim dan jaksa jauh lebih
penting. Kalau hakim dan jaksa bisa dibeli dengan suap meski petugas pajaknya
tertib, korupsi akan terus terjadi di bidangbidang lain.
Jadi,
hakim dan jaksalah yang lebih penting untuk diberi tunjangan khusus yang
besar. Tetapi, ini pun bisa dibantah. Yang lain bisa mengatakan polisilah
yang lebih penting. Alasannya, kalau tidak ada polisi, keamanan dan
ketertiban bisa terganggu, negara bisa kacau balau.
Petugas
pajak, hakim, jaksa tak akan mungkin bisa bekerja dengan baik jika tidak ada
polisi yang menjamin hakim dan jaksa bisa bekerja dengan aman. Polisi jugalah
yang pada tahap awal mengantarkan kasus pelanggaran hukum pidana ke
pengadilan. Maka itu, yang paling layak mendapat tunjangan besar adalah
polisi.
Ingat,
kalau kekurangan biaya operasional, polisi bisa saja mencari dana sendiri
dari jalanan agar tugasnya bisa dijalankan. Tapi, ini pun bisa disalahkan
oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa justru tentaralah yang paling
penting. Menurut konstitusi, TNI mengemban tugas pertahanan yakni menjaga
keutuhan negara baik dari ancaman luar maupun dalam negeri.
Kalau
gaji untuk TNI kecil, bisa-bisa eksistensi negara terancam bahaya. Buat apa
kita berhasil memungut pajak dalam jumlah besar kalau pertahanan negara
lemah? TNI dong yang harus diberi gaji besar. Para dokter pun bisa membantah
pula. Kalau dokter tak bisa bekerja dengan baik karena gajinya kecil, yang
dirugikan adalah pasien dan kesehatan rakyat pada umumnya.
Tak akan
efektif pelaksanaan tugas tentara, hakim, polisi, petugas pajak, atau yang
lainnya kalau mereka tidak sehat. Kalau rakyat tak sehat, negara tak akan
maju. Tapi, “Itu lebih salah lagi”, teriak para guru dan dosen. Bagaimana
bangsa ini akan cerdas kalau tidak ada sekolah dan universitas dengan
guruguru dan dosen-dosen yang bermutu? Lagi pula mana bisa ada pegawai pajak,
polisi, jaksa, hakim, tentara, dan dokter kalau mereka tidak bersekolah atau
kuliah di perguruan tinggi dulu?
Jadi,
guru dan dosenlah yang harus mendapat gaji besar. Itulah perdebatan terkait
besarnya tunjangan bagi pejabat perpajakan kita. Pilihan kebijakan pemerintah
itu memang ada benarnya sebab pendapatan negara kita dari pajak menjadi
sumber terbesar dan sandaran utama pendapatan negara.
Tax
ratio atau penerimaan pajak atas produk domestik bruto (PDB) kita pada 2015
misalnya hanya 12,38% atau Rp1.380 triliun dari target pendapatan negara
sebesar Rp1.1793,6 triliun. Catatan mengenai tax ratio dari tahun ke tahun
menunjukkan bahwa dengan ratio di kisaran 12% saja sumbangan pajak terhadap
pendapatan negara sudah berada di kisaran 80%.
Negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura berhasil meraih tax
ratio sampai sekitar 16%. Masak negara kita tak bisa menaikkannya sampai 15%?
Kalau efektivitas capaian tax ratio pajak kita mencapai sebesar negaranegara
tetangga itu, akan sangat besarlah sumbangan sektor pajak bagi pendapatan
negara.
Itulah
sebabnya tunjangan pegawai pajak harus dibesarkan agar tax ratio meningkat
dan agar mereka tidak korupsi. Tetapi, meski ada logika seperti itu, tetap
saja kebijakan seperti itu terasa kurang tepat, terutama jika dikaitkan
dengan pentingnya tugastugas pemerintahan di bidang lain yang tak kalah
penting. Mengapa bukan petugas pemberantas narkoba misalnya yang dibesarkan
gajinya?
Bukankah
bisnis narkoba itu sangat mengancam dan membahayakan negara bukan hanya
sekarang, melainkan masa depan negara? Jika dipandang dari atas, sebenarnya
tugas-tugas pemerintahan itu satu kesatuan yang saling terkait dan masalah
perpajakan bukan masalah yang berdiri sendiri. Diberi tunjangan sebesar apa
pun petugas pajak jika bidang-bidang lain tetap dikelola secara korup, takkan
memberi manfaat apa pun bagi negara.
Persoalan
kita sebenarnya adalah buruknya mental aparat. Jadi, kalaupun kita harus menelan
kebijakan tunjangan jumbo bagi pegawai pajak sebagai sesuatu yang sudah
terjadi, kita harus memastikan bahwa kebijakan itu hanyalah kebijakan antara.
Arah
pembenahan yang sesungguhnya adalah bagaimana mulai melaksanakan revolusi
mental secara sungguh-sungguh yang diikuti penindakan dan penegakan hukum
secara tegas, tanpa pandang bulu. Kalau ini tidak dilakukan, berapa pun
besarnya tunjangan kepada pegawai bidang apa pun, akan tidak ada gunanya bagi
negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar