Kebangkitan
Orang Muda
Ferdinand Hindiarto ; Direktur
Pusat Psikologi Terapan;
Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata
Semarang
|
SUARA MERDEKA, 20 Mei 2015
TIAP
kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), selalu muncul harapan.
Kebangkitan adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Suatu momentum untuk
meninggalkan situasi lama, dan menatap situasi baru. Situasi yang dipenuhi
dengan spirit dan semangat tinggi, serta keinginan kuat untuk mewujudkan
cita-cita. Orang-orang muda yang penuh energi dan imaginasi kuat.
Mungkin
juga terjadi perdebatan dan pertentangan sengit, namun hal itu akan kalah
dari spirit dan cita-cita yang sama. Tantangan dan kesulitan pasti selalu
ada, namun tak mampu mengadang semangat yang menggelora. Kira-kira
demikianlah hal yang dapat diimajinasikan saat para para pendiri Boedi Oetomo
menyatakan tekadnya tahun 1908.
Masih
relevankah jika saat ini kita melihat kembali pengalaman 1908 yang menjadi
momentum emas kemerdekaan bangsa ini? Masih sangat relevan dan semestinya
menjadi permenungan segenap anak bangsa ini, dan tidak terjebak hanya pada
seremonial belaka. Setidaktidaknya ada dua alasan yang mendasari. Pertama;
kebangkitan memang seharusnya menjadi milik orang muda.
Sejarah
bangsa ini telah membuktikan, mulai dari gerakan Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda
tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, kelahiran Orde Baru 1966 dan
gerakan reformasi 1998, dengan pelaku orang-orang muda. Kedua, karena
kebangkitan sejatinya adalah mencipta sebuah perubahan maka diperlukan energi
sangat besar untuk memulai dan menggerakkannya.
Energi
yang besar itulah yang selalu dimiliki oleh orang-orang muda. Dalam
perjalanan sejarah bangsa ini, orang-orang mudalah yang selalu menginisiasi
perubahan. Tentu tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh yang lebih tua.
Dalam
konteks zaman saat ini, tentu pergerakan-pergerakan orang muda semestinya
tetap menjadi lokomotif perubahan. Namun kita harus mengakui bahwa begitu
banyak perbedaan situasional dan kontekstual pada diri orang muda saat ini
dibanding pada masa-masa perjuangan.
Banyak
fakta tentang karakter dan perilaku orang muda zaman ini yang begitu berbeda
dari karakter orang muda pada zaman perjuangan. Orang muda zaman ini
seringkali mendapat stempel sebagai generasi digital yang dicirikan dengan
keberlimpahan informasi sebagai akibat kemajuan teknologi informasi.
Namun
seringkali keberlimpahan informasi itu tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian
besar orang muda untuk mengembangkan diri dan membangun karakter yang kuat.
Energi yang besar jika disinergikan dengan keberlimpahan informasi tentu akan
menghasilkan kekuatan yang sangat besar untuk mengubah bangsa ini menjadi
lebih baik.
Namun
acap yang terjadi justru sebaliknya. Fenomena penyalahgunaan narkoba, gaya
hidup hedonis, seks pranikah, pola pikir dan mental instan adalah beberapa
contoh yang menggambarkan hal itu. Dimensi karakter yang lebih berkembang
pada orang muda saat ini lebih pada dimensi personal individual.
Kemajuan
teknologi informasi kadang malah menciptakan orang-orang autis, yang hanya
sibuk dengan dirinya sendiri. Sebaliknya dimensi-dimensi sosialnya cenderung
meredup.
Alih-alih
membangun nasionalisme atau cinta bangsa, kepedulian terhadap apa yang
terjadi di masyarakat saja kadang jarang dimiliki oleh orang muda zaman ini.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Yang utama ìudara moralî
yang tidak sehat. Orang-orang muda zaman ini tiap hari menghirup udara moral
yang kurang menyehatkan perkembangan karakternya.
Udara
yang mereka hirup dipenuhiunsur kekerasan, parade korupsi, dagelan penegakan
hukum, sikap hidup konsumtif, gaya hidup hedonis, dan tipuan kenikmatan hidup
yang dibeberkan oleh media dan para selebritis. Ada dua hal yang paling masuk
akal dilakukan saat ini.
Pertama;
meredefinisi pendidikan supaya kembali pada hakikatnya. Tidak perlu atmosfer
perjuangan seperti dalam perjalanan sejarah. Namun sekolah dan kampus
seharusnya menjadi sebuah setting hidup yang dipenuhi udara moral yang sehat.
Karakter kuat dari orang muda harus dibangun sejak anak-anak masuk dan selama
mereka berdinamika di sekolah dan kampus.
Kurikulum
harus dirombak agar mereka belajar untuk hidup bukan belajar kognitif untuk
mengejar kelulusan dan ijazah. Pendidik harus menjadi sosok model sekaligus
teman dalam mengembangkan diri. Pendidik jangan sekadar mentransfer ilmu
pengetahuan, namun harus bisa menjadi mitra siswa dalam membangun
karakternya. Pendidik bukanlah karyawan pabrik manufaktur yang memproduksi
lulusan.
Kedua;
keluarga dikembalikan pada hakikatnya sebagai basis utama pengembangan
karakter anak. Orang tua harus menjadi sosok model yang utama bagi anaknya
dalam pengembangan karakter dirinya. Orang tua seharusnya juga menjadi
sahabat bagi anaknya, dan tempat yang paling nyaman bagi anak untuk berbagi
segala pengalaman yang ditemuinya.
Bila
tiap hari mereka menghirup udara moral yang segar dan sehat maka kita tidak
perlu khawatir ketika mereka berada dalam lingkungan masyarakat yang
seringkali memproduksi udara tidak sehat. Dengan demikian, mereka bisa tumbuh
dan berkembang menjadi sosok-sosok orang muda yang berkarakter kuat sebagai
lokomotif perubahan supaya kita menjadi bangsa yang besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar