Investasi
untuk Industri Hijau
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
(ISNU);
Ketua WGEA (2013-2014)
|
KORAN SINDO, 07 Mei 2015
Industrialisasi
sebagai proses dan pembangunan industri berada pada satu nafas kegiatan yaitu
pada hakikatnya berfungsi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
rakyat. Industrialisasi sendiri tidak terlepas dari upaya peningkatan mutu
sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam. Semakin berkembangnya
industri di berbagai daerah, masalah lingkungan hidup juga menjadi perhatian
yang sangat besar dan harus mendapat perhatian yang lebih dari pihak swasta
tersebut.
Dewasa ini
permasalahan lingkungan hidup akan terus muncul secara serius di berbagai
pelosok bumi sepanjang penduduk bumi tidak segera memikirkan dan mengusahakan
keselamatan dan keseimbangan lingkungan. Di Indonesia permasalahan lingkungan
hidup seolah-olah seperti dibiarkan menggelembung sejalan dengan intensitas
pertumbuhan industri walaupun industrialisasi itu sedang menjadi prioritas
dalam pembangunan.
Tidak sedikit jumlah
korban ataupun kerugian yang justru terpaksa ditanggung oleh masyarakat luas
tanpa ada kompensasi yang sebanding dari pihak industri. Di sisi lain, makin
maraknya industri besar yang berdiri serta kehidupan masyarakat yang tidak
peduli terhadap lingkungan sekitarnya menambah permasalahan yang ada saat
ini. Mulailah tumbuh tumpukan limbah atau sampah yang tidak dibuang
sebagaimana mestinya.
Ini berakibat pada
kehidupan manusia di bumi yang menjadi tidak sehat sehingga menurunkan
kualitas kehidupan, terutama pada lingkungan sekitar. ”Siapa yang mau berinvestasi di Indonesia harus hijau (ramah
lingkungan),” kata Wakil Presiden Indonesia HM Jusuf Kalla saat
memberikan sambutan dalam Tropical Landscape Summit di Jakarta beberapa hari
lalu.
Tuntutan tersebut
sangatlah tidak berlebihan. Seyogianya, perusahaan dan industri wajib
menerapkan prinsip-prinsip produksi ramah lingkungan. Mengapa? Isu mengenai
lingkungan dan kampanye perusahaan ”hijau” lambat laun menjadi suatu tuntutan
paradigma baru yang harus diterapkan pada setiap perusahaan. Kemunduran
kelestarian alam akibat limbah industri harus diakhiri. Sebelum alam menjadi
marah dan berbalik melumpuhkan kehidupan manusia.
Mewujudkan Komitmen Manila
Harus kita sadari pula
bahwa pemanasan global akibat limbah industri bukan sekadar wacana
lingkungan. Menurut Forum Kemanusiaan Global (GHF), kematian yang disebabkan
oleh pemanasan global di seluruh dunia tidak kurang dari 315.000 orang.
Jumlah sebesar itu berasal dari kelaparan, berbagai penyakit, dan aneka
bencana alam. Diprediksi, pada 2030 jumlah kematian langsung dari pemanasan
global bisa mencapai 500.000 orang. Maka, tidak heran jika kemudian kesadaran
akan pentingnya kehidupan yang lebih ramah lingkungan menggema di mana-mana.
Tuntutan bukan saja
terhadap individu, melainkan juga pada perusahaan yang telah begitu banyak
memberikan andil besar terhadap perusakan lingkungan. Mengatasi hal tersebut,
sekelompok organisasi yang bernaung di PBB dan beberapa Negara Asia hadir
dalam International Conference on Green
Industry in Asia di Manila Filipina pada 2009 dan menelurkan gagasan ”Declaration on Green Industry in Asia”.
Deklarasi Manila
tersebut bersifat nonlegally binding dan merupakan komitmen bersama negara-
negara di Asia dalam upaya penanganan masalah lingkungan hidup melalui
efisiensi penggunaan sumber daya dan pengurangan emisi gas karbon utamanya di
sektor industri. Green industry atau industri hijau adalah industri yang
dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas
penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberi manfaat bagi masyarakat.
Pertumbuhan pendapatan
dan penciptaan lapangan kerja baru bersumber dari investasi pemerintah dan
swasta yang rendah karbon dan polusi, yang efisien dalam pemakaian energi dan
sumber daya alam, serta mampu mencegah kerusakan keanekaragaman hayati dan
lingkungan. Efisiensi sumber daya dapat dilakukan dengan menerapkan reduce, reuse, recycle, dan recovery (4R) yang merupakan inti
dari cleaner production (produksi bersih).
Untuk lebih
mengefektifkan aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip Rethink (konsep
pemikiran pada awal operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi
5R. Di samping itu, produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di
seluruh tahapan produksi. Dengan menerapkan konsep produksi bersih,
diharapkan sumber daya alam dapat lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
Secara singkat,
produksi bersih memberikan dua keuntungan, pertama efisiensi dalam proses
produksi; dan kedua adalah meminimisasi terbentuknya limbah sehingga dapat
melindungi kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan rendah karbon dapat
dicapai dengan menerapkan CO2 emission
reduction yang sejalan dengan clean
development mechanism (CDM); efisiensi energi, dan diversifikasi dalam
rangka mendapatkan energi terbarukan.
Investasi Hijau
Menindaklanjuti
Deklarasi Manila, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif dan
kemudahan bisnis untuk investor yang menanamkan modalnya pada industri hijau.
Ketentuan mengenai insentif itu tertuangdalamPeraturanPemerintah (PP) Nomor
18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah- Daerah Tertentu.
Kemudahan atau
insentif yang akan diberikan pemerintah bersifat fiskal dan nonfiskal. Dari
sisi fiskal, pemerintah akan memberikan insentif berupa keringanan pajak
seperti tax holiday dan tax allowance untuk lima sampai 10 tahun kepada
industri biofuel dan sumber daya alam terbarukan. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, pemberian tax allowance diberikan kepada 143
sektor bisnis.
Bukan hanya itu,
pemerintah juga memberikan fasilitas nonfiskal untuk industri hijau yang
mencakup pelayanan satu pintu (one stop service) untuk perizinan investasi
serta penyederhanaan perizinan. Selanjutnya, industri ramah lingkungan juga
akan mendapatkan perpanjangan izin secara otomatis tanpa melakukan verifikasi
ulang dan dibebaskan bea masuk untuk impor teknologi yang mewujudkan
investasi ramah lingkungan.
Bidang usaha ramah
lingkungan atau investasi hijau yang mendapatkan insentif itu meliputi bidang
pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan pengolahan gas alam,
industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, industri
lampu tabung gas, pembangkit tenaga listrik, serta pengadaan gas alam dan
buatan.
Selain itu, juga
penampungan penjernihan dan penampungan air bersih, angkutan perkotaan yang
ramah lingkungan, kawasan pariwisata, serta pengelolaan dan pembuangan sampah
yang tidak berbahaya. Dengan ada insentif tersebut, pemerintah berharap
industri hijau bisa tumbuh hingga 20% per tahun. Dalam lima tahun terakhir
investasi di industri hijau mencapai USD41 miliar.
Realisasi penanaman
modal untuk industri ramah lingkungan ditargetkan mencapai USD100 miliar pada
2019. Agar insentif dari pemerintah semakin efektif dan untuk mempercepat
langkah penerapan Standar Industri Hijau, wajib pula ada sinergi program
antarlembaga dan kementerian negara. Hal tersebut juga penting agar tidak
terjadi tumpang tindih kebijakan.
Melihat komitmen
pemerintah, sudah saatnya industri mengubah pandangan bahwa investasi bukan
lagi semata persoalan keuntungan. Dengan pengolahan limbah yang baik, secara
moril perusahaan telah ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan yang
dieksploitasinya. Kenyamanan kerja bisa muncul jika kondisi perusahaan juga
ramah terhadap lingkungan.
Limbah produksi yang
seringkali menjadi pemicu konflik utama antara masyarakat dan perusahaan atau
industri lambat laun bisa dikurangi. Dengan rendahnya tingkat limbah
industri, bumi bisa menjadi lebih lega bernafas. Manusia yang hidup pada masa
kini mampu mewariskan bumi sebagai taman yang indah untuk generasi mendatang.
Investasi hijau adalah investasi untuk masa depan. Setujukah Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar