Hukuman
Mati
Endang Suryadinata ; Peminat Sejarah
|
KORAN TEMPO, 30 April 2015
Hukuman mati memang
tidak ada matinya. Sejak mulai diterapkan pada abad XVIII SM, sebagaimana
bisa dibaca dalam Codex Hammurabi di Babilonia, hingga era Jokwoi-JK pada
angka 2015 Masehi, hukuman mati seolah menjadi solusi hukum yang final dari
negara atau penguasa bagi para terhukum.
Sayang, dalam
kenyataan, hukuman mati sesungguhnya tetap menyisakan banyak masalah dalam
sejarah umat manusia. Salah satunya adalah masalah "error in
persona" atau salah hukum atau salah vonis, sehingga kebenaran menjadi
sumir.
Buntut dari salah
vonis itu adalah fakta yang tragis, ketika cukup banyak terpidana mati yang
sesungguhnya tidak benar-benar salah. Bagi yang sudah telanjur dieksekusi
lalu dikubur atau dikremasi, tentu tidak ada gunanya lagi ralat tersebut.
Mereka tidak mungkin dibangkitkan lagi dari kuburnya. Tapi, bagi yang sudah
divonis mati dan menunggu eksekusi, ralat atas salah vonis bisa memberi
harapan alias kesempatan kedua untuk hidup.
Sejarah mencatat,
sejak "Wetboek van Strafrecht" atau KUHP bikinan pemerintah
kolonial Belanda mulai disahkan pada 1 Januari 1818 dan diterapkan di
Hindia-Belanda hingga 1900, terjadi hampir 40 kasus salah vonis. Lalu, dari
1900 hingga 1940, turun menjadi 25 kasus. Sedangkan pada era kemerdekaan RI,
1945 hingga 2015, belum ada data resmi. Hanya, publik selalu mengingat sosok
Sengkon dan Karta yang menjadi korban salah vonis paling fenomenal di
sepanjang sejarah hukum di Indonesia. Keduanya divonis bersalah pada 1977
dengan dakwaan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman dan Siti
Haya. Belakangan, terungkap bahwa ada orang lain sebagai pelaku pembunuhan
yang sebenarnya. Keadilan baru dirasakan Sengkon-Karta lewat mekanisme
"herzeining" atau peninjauan kembali.
Salah vonis memang
tidak hanya memonopoli negeri kita. Menurut kajian James S. Liebman, Jeffrey
Fagan, dan Valerie West yang bertajuk A
Broken System: Error Rates in Capital Cases 1973-1995 (2000: 1) di
University of Columbia School of Law, yang meneliti hampir 4.600 kasus
hukuman mati di Amerika Serikat, angka total salah vonis di semua kasus
hukuman mati mencapai 68 persen atau hampir tujuh dari setiap sepuluh kasus.
Kesimpulannya, kesalahan serius terhadap pengadilan hukuman mati telah
mencapai level epidemis (2000: 20).
Bukan tidak mungkin
salah vonis itu juga menimpa para terpidana mati, termasuk terpidana mati
kasus narkotik, baik yang sudah dieksekusi maupun tengah menunggu eksekusi.
Hukum kita yang masih "bengkok" sehingga masih melanggengkan
peradilan sesat, sangat mungkin melahirkan vonis yang salah, yang mengantar
orang tak bersalah dicabut nyawanya di depan regu tembak di Nusakambangan.
Dalam konteks salah
vonis inilah presiden, yang memiliki hak prerogatif memberikan grasi, perlu
lebih berhati-hati dan peka. Jangan sampai Jokowi asal tanda tangan penolakan
grasi, namun tidak tahu apa yang telah ditandatangani sebagaimana dalam
Perpres DP Mobil. Ini menyangkut martabat manusia dan nyawanya yang tidak
dobel.
Media juga menjadi
tumpuan harapan terakhir bagi pencari keadilan, seperti disuarakan terpidana
mati Mary Jane asal Filipina. Lewat investigative
reporting, fungsi kontrol media bisa menelusuri kembali bagaimana kinerja
polisi, jaksa, dan hakim sampai akhirnya jatuh palu godam hukuman mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar