Minggu, 03 Mei 2015

Hukuman Mati

Hukuman Mati

Endang Suryadinata  ;  Peminat Sejarah
KORAN TEMPO, 30 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hukuman mati memang tidak ada matinya. Sejak mulai diterapkan pada abad XVIII SM, sebagaimana bisa dibaca dalam Codex Hammurabi di Babilonia, hingga era Jokwoi-JK pada angka 2015 Masehi, hukuman mati seolah menjadi solusi hukum yang final dari negara atau penguasa bagi para terhukum.

Sayang, dalam kenyataan, hukuman mati sesungguhnya tetap menyisakan banyak masalah dalam sejarah umat manusia. Salah satunya adalah masalah "error in persona" atau salah hukum atau salah vonis, sehingga kebenaran menjadi sumir.

Buntut dari salah vonis itu adalah fakta yang tragis, ketika cukup banyak terpidana mati yang sesungguhnya tidak benar-benar salah. Bagi yang sudah telanjur dieksekusi lalu dikubur atau dikremasi, tentu tidak ada gunanya lagi ralat tersebut. Mereka tidak mungkin dibangkitkan lagi dari kuburnya. Tapi, bagi yang sudah divonis mati dan menunggu eksekusi, ralat atas salah vonis bisa memberi harapan alias kesempatan kedua untuk hidup.

Sejarah mencatat, sejak "Wetboek van Strafrecht" atau KUHP bikinan pemerintah kolonial Belanda mulai disahkan pada 1 Januari 1818 dan diterapkan di Hindia-Belanda hingga 1900, terjadi hampir 40 kasus salah vonis. Lalu, dari 1900 hingga 1940, turun menjadi 25 kasus. Sedangkan pada era kemerdekaan RI, 1945 hingga 2015, belum ada data resmi. Hanya, publik selalu mengingat sosok Sengkon dan Karta yang menjadi korban salah vonis paling fenomenal di sepanjang sejarah hukum di Indonesia. Keduanya divonis bersalah pada 1977 dengan dakwaan merampok dan membunuh pasangan suami-istri Sulaiman dan Siti Haya. Belakangan, terungkap bahwa ada orang lain sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Keadilan baru dirasakan Sengkon-Karta lewat mekanisme "herzeining" atau peninjauan kembali.

Salah vonis memang tidak hanya memonopoli negeri kita. Menurut kajian James S. Liebman, Jeffrey Fagan, dan Valerie West yang bertajuk A Broken System: Error Rates in Capital Cases 1973-1995 (2000: 1) di University of Columbia School of Law, yang meneliti hampir 4.600 kasus hukuman mati di Amerika Serikat, angka total salah vonis di semua kasus hukuman mati mencapai 68 persen atau hampir tujuh dari setiap sepuluh kasus. Kesimpulannya, kesalahan serius terhadap pengadilan hukuman mati telah mencapai level epidemis (2000: 20).

Bukan tidak mungkin salah vonis itu juga menimpa para terpidana mati, termasuk terpidana mati kasus narkotik, baik yang sudah dieksekusi maupun tengah menunggu eksekusi. Hukum kita yang masih "bengkok" sehingga masih melanggengkan peradilan sesat, sangat mungkin melahirkan vonis yang salah, yang mengantar orang tak bersalah dicabut nyawanya di depan regu tembak di Nusakambangan.

Dalam konteks salah vonis inilah presiden, yang memiliki hak prerogatif memberikan grasi, perlu lebih berhati-hati dan peka. Jangan sampai Jokowi asal tanda tangan penolakan grasi, namun tidak tahu apa yang telah ditandatangani sebagaimana dalam Perpres DP Mobil. Ini menyangkut martabat manusia dan nyawanya yang tidak dobel.

Media juga menjadi tumpuan harapan terakhir bagi pencari keadilan, seperti disuarakan terpidana mati Mary Jane asal Filipina. Lewat investigative reporting, fungsi kontrol media bisa menelusuri kembali bagaimana kinerja polisi, jaksa, dan hakim sampai akhirnya jatuh palu godam hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar