Hukuman
Mati dan Tantangan Diplomasi
Tantowi Yahya ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
DETIKNEWS, 08 Mei 2015
Setelah
menyelesaikan dua gelombang eksekusi hukuman mati bagi terpidana narkoba,
pemerintah mengindikasikan tak akan menghentikan opsi tersebut. Meskipun
berbagai kecaman dan tekanan datang dari masyarakat internasional, hukuman
mati akan terus mengisi halaman berita surat kabar hingga setahun ke depan.
Sejauh
ini opini di masyarakat terbelah antara mendukung dan menentang eksekusi
mati. Pihak yang mendukung menyandarkan argumennya pada "kedaulatan
hukum" Indonesia, sementara yang menentang menyoal kelayakan hukuman
mati dilihat dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM).
Penulis
sendiri memahami kekecewaan masyarakat dunia terhadap hukuman mati. Namun
sebagai bangsa, kita memiliki kedaulatan, termasuk kedaulatan dalam bidang
hukum. Oleh karena itu kita harus mendukung kebijakan yang sudah diambil oleh
negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Meski demikian, karena interaksi
antar negara berjalan dinamis, dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengelola
isu death penalty, sehingga tidak menganggu agenda politik luar negeri kita.
Justru kita harus bisa mengubah krisis tersebut menjadi peluang. From crisis to opportunity.
Kementerian
Luar Negeri (Kemlu) sebagai pihak yang berada di depan dalam diplomasi
internasional menghadapi berbagai tantangan pasca hukuman mati tersebut.
Tantangan dimaksud di antaranya, kelanjutan kerjasama Selatan-Selatan yang
didorong Indonesia pasca peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA)
beberapa waktu lalu.
Presiden
Jokowi secara lugas mengatakan tidak percaya lagi dengan World Bank, Asial
Development Bank (ADB) maupun International Monetary Fund (IMF). Atau dalam
bahasa Jokowi, "menghilangkan
dominasi negara ke negara lainnya". Hal itu akan direalisasikan
dengan penguatan kapasitas ekonomi negara-negara Selatan agar tidak lagi
tergantung pada tiga lembaga tersebut (baca: Utara atau negara maju).
Meskipun sejumlah data yang dikutip Jokowi tentang utang Indonesia ke IMF
dibantah oleh Menkeu Bambang Brodjonegoro, tapi kita anggap itulah sikap
Presiden Jokowi terhadap World Bank, ADB dan IMF.
Poros Selatan-Selatan
Pada
titik ini, dengan adanya hukuman mati, maka ambisi Indonesia untuk menjadi
"poros" ekonomi diantara negara-negara Selatan dipastikan tak akan
mudah. Paling tidak ada tiga alasan yang dikhawatirkan penulis akan menjadi
penghalang.
Pertama,
reaksi keras yang ditunjukkan Brasil (salah satu anggota BRICS, yang cukup
pesat kemajuan ekonominya) pasca hukuman mati kepada dua warganya. Presiden
Brasil, Dilma Rousseff, menyatakan akan mempertimbangkan hubungan dengan
Indonesia menyusul eksekusi terhadap warganya, Rodrigo Gularte dan Marco
Archer Cardoso Moreira.
Dalam
jangka pendek negara Amerika Latin tersebut tidak akan mengirim Duta Besar
pengganti pasca ditariknya dubes Januari lalu. Selain Brasil, beberapa warga
negara Afrika juga menjalani eksekusi mati, dan ini mengakibatkan diplomasi
Indonesia di Afrika juga tak akan ringan. Terlebih saat ini muncul protokol
di Afrika untuk penghapusan hukuman mati, sebagai bagian dari penghargaan HAM
di Afrika.
Kedua,
hukuman mati akan menganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara Utara.
Sebagian besar negara-negara di Amerika Utara, Eropa dan Australia sudah
meratifikasi pelarangan hukuman mati. Sebagaimana kita ketahui negara-negara
tersebut memberikan reaksi keras sebelum dan setelah eksekusi dilakukan di
Indonesia.
Dalam
kaitan dengan diplomasi, reaksi keras mereka dapat dipahami. Negara-negara di
atas selama 10 tahun terakhir kerap mendukung Indonesia, baik saat menghadapi
krisis maupun dalam panggung diplomasi. Saat bencana tsunami di Aceh, 2004,
negara-negara Utara banyak terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.
Di
panggung politik internasional, negara-negara tersebut juga secara
sungguh-sungguh telah memberikan dukungan kepada Indonesia seperti pada saat
pencabutan embargo militer AS kepada TNI, pembukaan kembali rute penerbangan
langsung Jakarta ke Amsterdam dan London, serta penguatan kerjasama bidang
pendidikan, budaya dan pariwisata dengan Australia. Di forum PBB, Indonesia
yang sejak 1998 seolah "terlempar dari panggung dunia", karena
berbagai kasus pelanggaran HAM, sejak 2006 secara bertahap mendapatkan
kembali kepercayaan dari negara-negara Barat.
Indikator
naiknya posisi Indonesia di panggung internasional dapat juga dilihat dari
terpilihnya Indonesia di sembilan badan PBB dan organisasi internasional
lainnya. Pada badan-badan tersebut, Indonesia terpilih dengan rata-rata angka
dukungan yang cukup tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB.
Bahkan,
Indonesia juga dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan,
sesuatu yang di masa lalu sangat mustahil, mengingat track record kita yang
dianggap sebagai negara pelanggar HAM. Bahkan pada November 2007, Indonesia
akan menjadi Ketua Sidang DK PBB, menggantikan Prancis. Atas sejumlah capaian
itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Indonesia saat ini merupakan
negara paling dinamis dan penting di Asia Pasifik.
Dalam
konteks politik luar negeri Presiden Jokowi, menjadi agenda penting bagi
pemerintah untuk mempertahankan dan meningkatkan semua capaian tersebut
melalui serangkaian "jurus-jurus" diplomasi yang mumpuni. Namun
harapan tersebut seakan membentur tembok pasca hukuman mati dilaksanakan. Di
sinilah penulis melihat perlunya Kemlu dan jajarannya membuktikan diri mampu
mengubah krisis menjadi peluang.
Ketiga,
perlindungan terhadap TKI yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Data
BNP2TKI menunjukkan, saat ini setidaknya ada 279 TKI yang menghadapi hukuman
mati di seluruh dunia. Jumlah ini tentu bukan sekedar angka, melainkan jiwa
manusia yang harus diupayakan semaksimal mungkin untuk diselamatkan.
Jujur
kita katakan, belum ada upaya maksimal dari pemerintahan Jokowi untuk bisa
menyelamatkan TKI kita di luar negeri. Terakhir, bulan lalu TKI menjalani
hukuman pancung di Arab Saudi tanpa pembelaan berarti oleh pemerintah.
Padahal di periode sebelumnya kita pernah bisa menyelamatkan nyawa TKI dengan
berbagai cara (total diplomacy).
Harapan
akan nyawa TKI yang bisa diselamatkan tampaknya makin menipis seiring
pelaksanaan hukuman mati oleh pemerintah Indonesia. Negara-negara lain akan
melihat apa yang kita lakukan, dan menjalankan hukuman yang sama kepada warga
kita. Tiga titik krusial inilah yang harus dijawab oleh Presiden Jokowi dalam
waktu dekat.
Diplomat Super
Dalam
upaya ke sana, meskipun berat, selalu ada jalan untuk mencari solusi. Selalu
ada kemungkinan, sekecil apapun peluangnya. Maka dari itu diperlukan strategi
ekstra dari pemerintah, khususnya Kemlu sebagai garda terdepan polugri
(politik luar negeri-red) bangsa.
Salah
satu cara yang harus dilakukan adalah memperkuat barisan diplomat dengan
diplomat yang memiliki kapasitas, jam terbang dan pengalaman mumpuni,
khususnya mereka yang akan bertugas di negara- negara yang memiliki masalah
dengan Indonesia pasca hukuman mati. Diplomat jenis ini harus memiliki
kemampuan lobi, keuletan dalam negosiasi, kecakapan dalam debat, dan
kemampuan sebagai seorang marketer. Tanpa itu efek hukuman mati hanya akan
menjadi bencana yang sulit disembuhkan.
Di
tengah harapan akan munculnya "diplomat-diplomat super" tersebut,
saat ini kita samar-samar mendengar isu banyaknya orang non Kemlu yang masuk
sebagai calon dubes yang akan mengisi beberapa pos penting di luar negeri.
Penulis menilai akomodasi merupakan hal yang wajar dalam politik bila
takarannya tepat, tidak berlebihan. Tetapi untuk sektor-sektor krusial
seperti Kemlu, seharusnya politik akomodasi tersebut tidak dilakukan, paling
tidak untuk masa sekarang.
Sebab
yang kita hadapi bukan sekedar mengurus perusahaan, melainkan menyangkut
nyawa 279 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri, citra Indonesia
sebagai negara demokratis, dan pertumbuhan ekonomi kita. Penulis mengharapkan
agar Kemlu dengan diplomat-diplomat profesional dan kompeten benar-benar
menjadi garda terdepan diplomasi di tengah situasi krisis saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar