Darurat
Pembajakan di Indonesia
Anang Hermansyah ; Inisiator Kaukus Anti Pembajakan DPR;
Anggota
Komisi X DPR Dapil Jember dan Lumajang
|
JAWA POS, 07 Mei 2015
SIDANG paripurna DPR
pada 24 April 2015, saya secara resmi mengusulkan ke pimpinan DPR untuk
membentuk Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR. Sebanyak 70
anggota DPR yang berasal dari lintas fraksi dan komisi turut serta meneken
usulan pembentukan kaukus ini. Tentu ada pesan penting dari penandatanganan
usulan lintas fraksi dan komisi itu. Tak lain, persoalan pembajakan merupakan
masalah nasional yang harus diperhatikan semua pihak.
Kaukus ini merupakan
wujud keprihatinan terhadap praktik pembajakan yang telah merambah berbagai
sektor di tanah air. Mulai sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT),
industri software informasi teknologi, industri perbukuan, industri
perfilman, hingga industri musik.
Praktik pembajakan
telah tumbuh bersama dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak ada jaminan lagu
yang kita dengar setiap hari di kantor, di rumah, hingga di kendaraan adalah
lagu legal yang sah dalam memperolehnya. Begitu pula buku bacaan yang mengisi
kepala kita dengan pengetahuan. Tidak ada jaminan buku itu asli yang berarti
royalti bakal diterima sang penulis. Termasuk film, baik domestik maupun
mancanegara, yang juga akrab di tengah kita. Singkatnya, sedikit sarkasme,
bajakan adalah kita.
Kaukus Anti Pembajakan
dan Penegakan Hak Cipta DPR RI dimaksudkan secara khusus untuk pengawasan
terhadap pelaksanaan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dua persoalan
tersebut menjadi titik temu dan pengikat anggota DPR dengan menggulirkan
kaukus ini di parlemen.
Pembentukan Kaukus
Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR juga bagian tak terpisahkan dari
implementasi amanat konstitusi pada pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang
menyebutkan, ”Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Kaukus Anti Pembajakan
dan Penegakan Hak Cipta DPR RI juga merupakan bentuk implementasi salah satu
di antara tiga fungsi konstitusional DPR, yakni fungsi pengawasan (pasal 20A
ayat (1) UUD 1945. Yang juga menjadi amanat pasal 69 ayat (1) huruf c dan
pasal 70 ayat (3) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Langkah konstitusional
itu juga sebagai upaya melakukan ketahanan budaya yang menjadi kewajiban
seluruh anak bangsa. Terlebih dengan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada
akhir 2015, Indonesia dituntut harus tangguh dalam menjaga identitas nasional
dengan tetap terbuka dalam pergaulan di kawasan regional maupun
internasional.
Dari sisi keekonomian,
langkah pembentukan Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR juga
diharapkan dapat menekan potensi kebocoran pemasukan negara dari sektor ini.
Seperti di sektor industri musik, Kementerian Perdagangan pada 2013 merilis
data potensi kerugian pelaku di industri ini sekitar Rp 4,5 triliun. Begitu
juga sektor industri perangkat lunak (software).
Pembajakan di sektor ini pada 2012, menurut data Business Software Alliance (BSA), menempatkan Indonesia pada
peringkat kedua dunia dengan tingkat pembajakan di angka 86 persen atau
setara dengan USD 1,467.
Kaukus tersebut
diharapkan menjadi entry point bagi
DPR dalam melakukan kerja konstitusional lainnya melalui mekanisme kedewanan
yang berlaku, seperti melalui panitia kerja (panja) maupun panitia khusus
(pansus). Upaya ini dilakukan sebagai langkah nyata dalam menjalankan fungsi
DPR, yakni fungsi pengawasan, baik terhadap kinerja pemerintah maupun terkait
dengan kinerja penegak hukum, khususnya yang terkait dengan praktik
pembajakan.
Tegakkan Moral dan Hukum
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada 18 Januari 2003 melalui Komisi Fatwa MUI No 1 Tahun 2003
mengeluarkan fatwa (pendapat hukum) terkait dengan pelanggaran hak cipta.
Poin keempat secara tegas menyebutkan, ”Setiap bentuk pelanggaran terhadap
hak cipta, terutama pembajakan, merupakan kezaliman yang hukumnya adalah
haram”.
Fatwa MUI ini
merupakan aturan yang bersumber dari norma agama. Dalam konteks Indonesia,
norma agama tidak sedikit memengaruhi, bahkan diakomodasi, dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan hukum positif. Fatwa MUI ini dapat disebut
sebagai refleksi dari norma yang juga tumbuh di tengah masyarakat bahwa
mencuri merupakan perilaku yang keji dan tidak terpuji.
Di sisi lain, regulasi
dalam hukum positif, melalui UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, secara
tegas juga mengatur bagaimana perlindungan terhadap hak cipta yang meliputi
kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dalam Bab
XVII Ketentuan Pidana pasal 112–pasal 119, disebutkan secara detail tentang
ancaman pidana terhadap pelaku pelanggaran hak cipta.
Ujung dari masalah
menjamurnya praktik pembajakan di tanah air tak lain kurangnya penegakan
hukum terhadap pelaku pembajakan. Kesan permisif terhadap pelaku kejahatan
pembajakan sulit ditampik. Bila pun ada aksi, hanya pemain lapangan yang
menjadi objek sasaran. Setidaknya, pemain besar hingga pemodal di bisnis
haram ini belum terekspos di publik.
Kepemimpinan Polri
yang baru saat ini semestinya dapat menjadikan persoalan pembajakan sebagai
salah satu agenda prioritas yang harus segera dibereskan. Pertemuan kami dan
pelaku industri musik dengan Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sesaat
setelah pelantikan beliau menegaskan komitmen Polri untuk memberantas
pembajakan di tanah air. Tentu kami berharap realisasi atas komitmen
tersebut.
Di atas semua itu,
pimpinan nasional, yakni presiden, semestinya memberi perhatian serius atas
persoalan ini. Salah satu janji dan komitmen untuk menguatkan industri
kreatif di tanah air dapat diwujudkan dengan kepedulian untuk memberantas
praktik pembajakan. Jadi, persoalan pembajakan memang masalah kita semua.
Harus gotong royong memberantasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar