Berpikir
Jernih di Keruh Jokowi
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA INDONESIA, 04 Mei 2015
SUNGGUH menarik! Berita berita mengabarkan
pendapat Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan, yang menyatakan Indonesia
masih membutuhkan IMF atau lembaga-lembaga keuangan global lainnya. Sementara
itu, dalam sidang KAA yang lalu, dengan gagah dan berani--belum pernah
dilakukan presiden sebelumnya--Joko Widodo (Jokowi), presiden itu,
menegaskan, “IMF, World Bank, ADB,
dsb... sudahlah usang!“ dan kita tidak perlu lagi tergantung pada mereka.
Apa yang menarik ialah berita di seputar
pidato itu yang memberi tahu kita isi dan tulisannya justru diproses oleh staf-staf
khusus Kantor Kepresidenan di bawah arahan kepalanya, Luhut. Maka, bila sang
Kepala Staf berpendapat IMF masih dibutuhkan, tentu saja isi pidato tidak
akan berisi penyangkalan. Artinya, mudah saja, Jokowi merombak pidatonya
sendiri, tidak berpatokan pada tim penulisnya: Jokowi tidak (bisa)
dikendalikan oleh staf-stafnya yang mungkin berusaha mendesakkan opini,
kepentingan, atau ideologinya.
Cerita seperti ini terbukti bukan hanya pada
KAA kemarin, tetapi sejak dulu hingga di masa kampanye. Berbagai rekomendasi,
usulan, ajuan, bahkan acuan yang dibuat oleh tim sukses Jokowi-JK bisa saja
sekonyong berhenti di kertas atau bibir ketika Jokowi justru beraksi dengan
cara, gaya, bahkan pelisanannya yang personal. Sangat personal. Tentu saja
ini bisa dicek kembali pada para anggota tim sukses.
Dalam kenyataannya, hingga sekitar setahun
masa pemerintahannya, kita mendengar dan menjadi saksi bagaimana para staf
atau pembantunya, hingga pejabat lembaga-lembaga negara, mengeluarkan
pernyataan juga kebijakan yang tidak selaras bahkan bertentangan dengan
arahan atau perintah atasannya, sang Presiden. Semua hal itu memberi kita
bukti, setidaknya indikasi, bagaimana Jokowi dan kuasa rakyatnya ternyata
dikepung oleh ambisi, intensi, interes, hingga ancaman dari banyak pihak yang
ada di sekitarnya, baik yang ada di luar kantor (negeri) hingga yang
bersembunyi di balik pintu ruang kerja atau laci mejanya.
Dalam banyak pemberitaan mutakhir kita dapat
menengarai bagaimana, misalnya, beberapa pernyataan, keluhan tentang kesulitan
untuk bisa berkomunikasi dengan Presiden. Maksud im plisitnya, mereka
mengalami kesulitan untuk mendesakkan pendapat, kehendak, aspirasi, intensi,
atau interes kelompok masingmasing.
Sebaliknya, justru Jokowi kelihatan mendekat
dengan para penentangnya, kaum oposan dari koalisi KMP. Dalam psikologi
komunikasi atau budaya politik, situasi itu memberi kita eksposisi tentang
fleksibilitas diplomasi atau negosiasi yang ternyata jauh lebih keras atau
kenyal dengan para pendukungnya sendiri ketimbang--justru-dengan
lawan-lawannya. Apa yang terjadi dan bermain di balik ini, tentu saja Anda
dapat memperkirakannya sendiri. Tekanan internal tidak hanya datang dari kubu
lawan, tapi justru lebih keras dari kubunya sendiri. Dari staf atau
bawahannya sendiri.
Menjernihkan diri
Di titik itulah, kita pun terbawa oleh
permainan opini oleh kelompok penekan itu. Setidaknya untuk mendapatkan
kesan bahwa setahun pemerintahan Jokowi menciptakan lebih banyak kegagalan
ketimbang kesuksesan, keruwetan dalam hubungan antara lembaga, kekeruhan
dalam visi hingga cara kerjanya (bahkan blusukan yang dulu dipuji kini pun
menjadi caci maki).
Hampir umumnya pengamat tidak mampu melucuti
diri atau membersihkan pikiran dan interes pribadi sekurangnya, dari kelindan
pikiran, opini atau retorika ‘kebenaran’ yang dimainkan oleh kelompok penekan
itu, baik dalam mimbar seminar, diskusi di kafe-kafe, maupun infotainment dan
media sosial.
Katakanlah, sebagai misal, pengurangan subsidi BBM yang
gigantik dan hanya menguntungkan kelas menengah-atas itu, kini menjadi satu
peluru tajam untuk menyerang Jokowi dari janjinya untuk berpihak pada rakyat,
ketika konsekuensi pengurangan subsidi itu secara logis menaikkan harga BBM,
termasuk listrik, gas, dan sebagainya.
Ada semacam kecenderungan di kalangan pemikir,
akademisi, atau pengamat (dengan latar alasan beragam) memosisikan diri
berlawanan secara konfliktual--bahkan seperti beroposisi--hanya untuk
mengimpresikan posisi intelektualnya yang kritis, bebas, independen, atau
sekadar mencari efek selebratikal (popular). Satu kecenderungan yang memiliki
risiko justru kian kacaunya cara berpikir kita sehingga ketika melihat danau
jernih ia menjadi keruh karena justru buteknya pikiran kita sendiri.
Situasi ini dapat dilihat dalam berbagai isu
yang belakangan menjadi semacam trending topic seperti masalah: hukuman mati,
penenggelaman bajak ikan asing, tol laut, poros maritim, kriminalisasi dalam
relasi KPK-Polri, penggantian Kapolri-Wakapolri, polemik Kantor Kepresidenan,
hingga utang LN RI, dan seterusnya. Apa yang semestinya menjadi rumit bahkan
keruh ketika dengan retorika politis `murahan' diputar balik logikanya dengan
apa yang tidak semestinya.
Di sini kita paham, politik modern, posmodern,
atau demokratis--apalah sebutan itu semua--sama sekali tidak bekerja untuk
menjernihkan persoalan, menciptakan transparansi, apalagi mempraksiskan apa
yang disebut dengan `edukasi politik' bagi rakyat semesta.
Namun, tentu saja sebagian orang boleh
menyela, demikianlah memang nasib sebuah kekuasaan, seorang Presiden dalam
lingkungan hidup politik yang telengas dan hampir tanpa adab ini. Itulah
dinamika politik, lebih jauh, itulah romantika demokrasi. Hmm...sebuah excuse yang tampak arif dan hampir
cerdas walau sesungguhnya manipulatif. Menerima satu keadaan yang bias, deviatif,
bahkan keliru sebagai satu kenyataan yang taken
for granted bahkan given.
Tidak. Kita tidak bisa, bahkan tidak
selayaknya, menerima itu begitu saja. Apa benar semua kenyataan itu given alias undeniable reality, kenyataan tak terhindar dari zaman mutakhir
ini? Benarkah demikian? Bagaimana jika dia tidak for granted tapi justru by
design alias sebagian pihak justru menghendaki dan dapat mengambil profit
dari kekeruhan itu? Apa kita berdiam diri bila kemungkinan itu ternyata
memang (sekurangnya sebagian) nyata?
Ancaman mutan
imperialisme
Tentu saja tidak. Dari postulasi logis ini,
kita bisa bersikap sebagai bagian dari kerja intelektual (mind-set) kita, untuk sekurangnya
bekerja dengan semua kemungkinan di atas. Mengantisipasi posibilitas negatif
ataupun positifnya. Satu sikap yang konstruktif setidaknya untuk menggiring
kita untuk mengenali, mendapatkan data primer, dan memahami dengan lebih baik
dalam jarak (distance); menciptakan
kejernihan dalam akal kita, yang hanya berbasis pada data dan fakta yang
akurat, adekuat dan terukur, bukan berbasis gosip, isu, atau trending topic apalagi sekadar cicitan
burung-burung liar.
Dalam prosesus intelektual dan mental itu,
tidak lain, sebagai seorang pemikir yang hendak mencapai kualitas ultimnya
sebagai arif dan bijaksana, tidak cukup dibutuhkan kecerdasan dan data saja,
tapi juga kesabaran. Data dan bukti tidak serta-merta hadir di depan mata
kita. Kadang ia datang bersama jalannya waktu alias dari nasib. Tak dapat
satu manusia pun memaksakan terang mata fisik dan batinnya karena dibukakan
kenyataan (faktual yang senyatanya), tanpa melibatkan waktu atau proses di
dalamnya.
Kalaupun data atau kenyataan faktual itu hadir
di mata fisik dan batin kita, seorang pemikir (yang modern itu!) masih
membutuhkan waktu lagi untuk mengomprehensi hingga mentransendensinya hingga
menjadi makna atau hikmah. Maka sebuah kearifan atau kebijaksanaanlah yang
kemudian mengekspresikan diri (opininya) melalui proses (waktu) yang tidak
sementara itu. Akan tetapi, di mana (orang) arif dan bijaksana itu? Adakah di
kalangan kita, para pemikir kita?
Saya tidak tengah membela pemerintah sekarang,
Jokowi, apalagi dengan membabi buta. Namun, saya hanya mengingatkan persoalan
bangsa dan negara ini begitu kompleks saat ini, ketika bumi sudah terkoneksi
sedemikian rupa, sehingga harga cabai di Panarukan turut ditentukan oleh
serangan skuadron F-16 Arab Saudi ke Yaman. Banyak tantangan dan hambatan
yang menyulitkan kita menyiapkan negeri yang memberi kemudahan, setidaknya
ruang dan peluang yang cukup terbuka bagi generasi masa depan, anak cucu
kita, bertarung menghadapi adab dan zaman yang kian keras dan telengas.
Tak dapat kita menuntut kemudahan apalagi
kenikmatan ketika kita mengerti betapa an caman mengerikan (dalam konstelasi
geopolitik, geoekonomi dan sebagainya hingga soal iklim dan lingkungan) telah
menghadang keturunan keturunan kita.
Tak ada tempatnya kita menagih hasil kemerdekaan
yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata pendahulu kita untuk
kita nikmati apalagi dengan cara yang hedon. Kita masih berjuang, setidaknya
untuk mengisi ke merdekaan itu seba gai dititipkan pada founding fathers mothers kita.
Kita masih berjuang, dengan sifat, bentuk, dan
esensi yang sama dengan 70 tahun atau 100 tahun lalu bangsa ini. Karena siapa
yang tidak tahu, kolonialisme juga imperialisme tidak pernah mati.
Ia hidup bukan sebagai zombi tapi sebagai
kuman yang membelah diri, bahkan menjadi mutan yang lebih sakti, tegas,
telengas, walau seperti renik ia sembunyi. Dalam hati, dalam pikiran, bahkan
dalam dunia spiritual kita.
Apakah ini omong kosong? Anda akan melihat
buktinya, nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar