UN
dan Pengembangan Kurikulum Lokal
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 13 April 2015
TIDAK bisa dimungkiri bahwa
unsur traumatis yang menghinggapi guru, orangtua, dan terutama para siswa
menjelang ujian nasional (UN) berlangsung ialah sesuatu yang sudah dianggap
lumrah. Dengan gaya seorang pedagang yang harus tegas dan pedas, Wapres Jusuf Kalla
bahkan menegaskan kembali pentingnya UN sebagai sebuah mekanisme yang tetap
harus dalam sebuah sistem yang konsisten dan teruji secara terus-menerus. Jusuf
Kalla mengabaikan dampak kekerasan psikologis yang muncul akibat UN karena
secara matematis jumlah anak yang stres dalam menghadapi UN sangatlah kecil.
Inilah ciri khas pandangan
Jusuf Kalla tentang pendidikan sejak dahulu kala, selalu matematis,
kecil-besar, untung-rugi, dan sedikit banyak tanpa menghiraukan kekacauan
psikologis anak-anak.
Kebutuhan untuk meniadakan
evaluasi proses pendidikan berjenis high
stakes test semacam UN adalah imperatif. Hal itu sejalan dengan beragam
kajian dan riset berdasarkan pengalaman puluhan tahun ahli evaluasi bahwa
jenis evaluasi seperti UN harus dihentikan. Kita pun senang ketika Mas
Menteri Anies serta-merta merespons kajian tersebut dengan mengakhiri UN
sebagai penentu kelulusan siswa meskipun di beberapa daerah masih banyak para
pejabat dinas pendidikan tetap membuat tafsir sendiri terhadap UN dengan
mengumumkan kepada guru dan siswa bahwa UN tetap akan menentukan lulus tidak
siswa.
Saya meyakini instruksi Mas Menteri kurang efektif hingga ke tingkat
operasional karena tafsir terhadap penyelenggaraan UN masih sama seperti
tahun-tahun sebelumnya, menjadi ajang gengsi para kepala dinas pendidikan.
Bagi saya, UN harus ditiadakan
sebagai sebuah konsep terpusat karena posisi Menteri terlalu jauh untuk
sampai langsung ke tingkat sekolah dan mengetahui apa saja yang terjadi di
sekolah. Diperlukan paradigma baru bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
untuk melihat UN sebagai bagian terkecil dari manajemen kurikulum, yang di
dalamnya ada bagian penting yang disebut sebagai pengembangan kurikulum (curriculum development).
Menurut Fenwick W English
(2004), selain konstruksi kurikulum dan pelembagaannya, pengembangan
kurikulum memiliki begitu banyak keterlibatan para pemangku kebijakan (stakeholders) dan yang paling vital
adalah posisi guru.
Tiga dimensi
Penurunan status UN dari penentu
kelulusan menjadi bukan penentu kelulusan tentulah baru langkah awal. Kemendikbud
harus lebih berani lagi dalam menciptakan kebijakan baru terkait dengan UN
menjadi kewenangan guru dan sekolah. Selain amanat Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, beberapa studi penting tentang hal itu mulai ramai
diwacanakan.
Salah satunya ialah hasil riset
dari Jonathan Savage dan William Evans dalam Developing a local curriculum: using your locality to inspire teaching and learning (2015)
tentang alasan mengapa guru dan sekolah harus diberi kebebasan untuk
mengembangkan kurikulum berbasis kebutuhan lokal dalam rangka menciptakan
sistem evaluasi yang valid dan berdasarkan nilai dan lokalitas sebuah
struktur masyarakat tempat sekolah berada di dalamnya.
Menurut Jonathan Savage dan
William Evans, setidaknya ada tiga dimensi mengapa pengembangan kurikulum
berbasis kebutuhan lokal sekolah menjadi penting. Pertama ialah dimensi
personal guru (teacher personal
dimension) karena bagaimanapun kepribadian guru tidak tumbuh dan
berkembang karena kompleksitas hubungan masyarakat yang jauh dan besar,
tetapi karena guru tumbuh, hidup, dan berkembang berdasarkan nilai-nilai
hubungan kekerabatan yang secara genetis tumbuh di daerah masing-masing. Para
guru tentu paham tentang apa yang terjadi dalam keseharian para siswa,
orangtua, dan lingkungan masyarakat sekitar tempat mereka juga hidup dan
bersosialisasi. Karena pengajaran dan pengembangan kurikulum selalu
beriringan, mempertimbangkan kebutuhan lokal sangat penting untuk diterapkan
dan lebih dari sekadar muatan lokal (mulok) dalam sistem kurikulum kita yang
terkesan apa adanya.
Kedua ialah dimensi politik (political dimension) dari kurikulum,
di saat dominasi negara selalu tak pernah bisa dikalahkan kebajikan lokal (local wisdom) sekalipun. Kurikulum
selalu dipertimbangkan Kemendikbud sebagai sesuatu yang harus selalu
dikonstruksi dan dilembagakan dari pusat sehingga jarak implementasi dan
pengembangan kurikulumnya menjadi sangat jauh dari realitas sosial sekolah,
siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Salah satu yang selalu merepotkan para
guru ialah terlalu seringnya kurikulum diubah dan berubah sesuai dengan
selera pusat, tetapi lalai dalam menimbang kebajikan lokal (local wisdom). Karena alasan politis
inilah, sekali lagi, diperlukan pengembangan kurikulum lokal berbasis
kebajikan lokal yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah
masyarakat.
Area based curriculum menjadi
penting karena dimensi ketiga yang menjadi dasar pertimbangannya ialah aspek
pedagogis (pedagogical dimension).
Mengapa? Karena menurut Facer (2004), teachers
are the curriculum makers, guru adalah pencipta sekaligus pelaku
implementasi kurikulum yang paling terdepan. Bayangkan, karena alasan teknis
kurikulum yang sangat formal dari tingkat pusat, puluhan tahun guru kita kehilangan
semangat dan kesempatan untuk menjadi guru yang kreatif. Guru selalu dikejar
setoran oleh para pengawas dan dinas pendidikan tentang aspek formal dari
kurikulum, tetapi jarang sekali memberikan guru kebebasan pedagogis yang
memungkinkan kreativitas dan inovasi mengajar mereka berkembang secara
signifikan.
Pentingnya menimbang tiga
dimensi pengambangan area based
curriculum dalam rangka menciptakan sistem evaluasi pendidikan yang
berkesinambungan adalah kebutuhan jangka menengah Kemendikbud yang harus
segera dibuat proyek percontohannya, terutama untuk sekolah-sekolah negeri. Jangan
sampai momentum revolusi mental yang sering digaungkan Presiden Joko Widodo
menjadi tak berbekas karena rekam jejaknya tak terlihat dari proses
pendidikan dan pengambangan kurikulum berbasis kebajikan lokal. Berani, Mas
Menteri Anies? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar