Terjebak Beras Kualitas Rendah
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2015
INSTABILITAS harga beras masih menjadi
pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketika pasokan berkurang sementara
permintaan tetap, harga beras melonjak tinggi seperti yang terjadi awal 2015.
Saat ada tekanan di sisi permintaan, seperti menjelang dan saat hari-hari
besar keagamaan, harga beras akan melonjak tinggi manakala pasokan tidak
memadai. Untuk mengendalikan harga beras, selama ini pemerintah mengandalkan
dua langkah, yaitu operasi pasar dan memperbesar penyaluran beras untuk warga
miskin (Raskin).
Saat harga beras melonjak tinggi
sepanjang Januari-Februari lalu, bahkan di beberapa tempat mencapai 30%,
pemerintah memperluas cakupan, meningkatkan volume operasi pasar beras, dan
mempercepat penyaluran Raskin. Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan
penggunaan stok beras operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23
Februari 2015 karena cadangan beras pemerintah (CBP) tidak mencukupi.
Presiden Jokowi memastikan akan mengguyur beras operasi pasar berapa pun
kebutuhan pasar.
Namun, seperti tahuntahun sebelumnya, harga beras menurun
amat lambat.
Ini terjadi karena beras operasi
pasar dari CBP dan Raskin tidak langsung dikonsumsi warga, tetapi dioplos
dengan beras berkualitas baik. Kualitas beras CBP dan Raskin sama, yakni
beras kualitas rendah, kualitas medium. Berbagai studi menemukan kualitas
beras Raskin amat rendah, yakni remuk, apak, dan berkutu. Beras CBP juga
tidak lebih baik. Karena tersimpan lama, kualitas beras merosot. Inilah
alasan pedagang Pasar Induk Beras Cipinang mengoplos beras operasi pasar
dengan beras kualitas bagus. Oleh pedagang, beras operasi pasar yang
seharusnya dijual Rp7.400/kg dilego di atas Rp8.000/kg setelah dioplos. Ini
yang membuat Mendag Rachmat Gobel menuding ada mafia beras.
Dalam beberapa tahun terakhir,
Raskin dikucurkan lebih 12 kali dalam setahun. Artinya, dalam bulan-bulan
tertentu, terutama saat paceklik (Oktober-Januari), Raskin bisa diberikan
lebih sekali sehingga dikenal Raskin ke-13, ke-14, atau ke-15. Namun
demikian, efektivitas Raskin (dan operasi pasar) dalam meredam kenaikan harga
beras amat rendah. Perlu waktu yang lama untuk menurunkan harga pada saat
harga beras melonjak tinggi. Padahal, volume Raskin dikucurkan tiap bulan
sebesar 230 ribu ton.
Ini terjadi karena Raskin dan
operasi pasar tidak berpengaruh dominan dalam menekan inflasi pangan.
Meskipun volume Raskin diperbesar, inflasi tetap tinggi. Misalnya, pada 2014,
inflasi ditutup 8,36%. Dari nilai itu, sekitar 2,06% dari kontribusi bahan
pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Jadi, secara keseluruhan,
pangan memegang peranan 40,31% inflasi nasional.Sumbangan terbesar dari
beras.
Dalam setahun, volume Raskin
setidaknya mencapai 3 juta ton beras. Ini jumlah yang amat besar jika
dibandingkan dengan volume CBP yang hanya 370 ribu ton. Volume Raskin sangat
besar tidak hanya berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus
melakukan pengadaan gabah atau beras dalam negeri besar-besaran. Padahal,
harga beras di pasaran amat tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah
(HPP). Ujung-ujungnya, kualitas beras CBP dan Raskin jadi taruhan. Inilah
salah satu penyebab kualitas CBP dan Raskin amat rendah.
Situasi ini seperti
jebakan, yakni volume Raskin amat besar, anggarannya besar, tapi
efektivitasnya dalam mengendalikan harga amat rendah.
Situasi menjebak ini sudah lama
berlangsung. Sayangnya, belum ada tanda-tanda untuk memperbaikinya. Ini bisa
dilihat dari terbitnya Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Inpres yang terbit 17 Maret
lalu itu menggantikan Inpres No 3/2012. Substansi dan isinya tidak berbeda.
Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait
(delapan kementerian) dan para gubernur/ bupati/wali kota un tuk mengatur
koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan
perberasan nasional. Di dalamnya, ditetapkan HPP tunggal, yakni harga beras
medium, besarnya Rp 7.300/ kg (dari sebelumnya Rp6.600/kg).
Kebijakan perberasan, ter utama
kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas) tidak
mengalami perubahan se jak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Pada hal,
selama lebih empat dekade, pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah
signifikan. HPP tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas
beras tidak sejatinya lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah
dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar, yakni saat harga beras
naik atau turun tajam.
Kualitas gabah atau beras
mengikuti irama panen. Pada saat panen raya (Februari-Mei) gabah atau beras
rendah mulai membaik di musim gadu (Juni-September) dan amat baik saat
paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah atau beras juga
berfluktuasi mengikuti irama panen, yakni harga rendah saat panen raya, naik
di musim gadu, dan melambung tinggi saat paceklik.
Kenyataan di atas
menunjukkan kualitas gabah atau beras bervariasi mengikuti irama panen. Berbeda
dengan di Inpres, di pasar ada lebih satu kualitas gabah atau beras.
Inpres Perberasan yang hanya
mengatur satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya `melawan'
pergerakan harga gabah atau beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga
mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios
kelontong, misalnya ada 4-5 jenis beras yang tidak hanya kualitas medium
seperti diatur Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, misalnya ada
17 jenis (kualitas) beras. Jenisjenis beras itu mencerminkan perbedaan
kualitas yang harganya juga berbeda-beda.
Agar lepas dari jebakan beras
kualitas rendah, ada dua hal yang bisa dilakukan.Pertama, menghentikan
program Raskin untuk tujuan stabilisasi harga beras. Raskin harus
dikembalikan ke tujuan awal: mengatasi kekurangan gizi makro (energi dan
protein) bagi keluarga miskin. Volume Raskin harus diperkecil, maksimal 2
juta ton. Konsekuensinya, program Raskin perlu ditata ulang agar lebih tepat:
sasaran, volume, harga, waktu, kualitas, dan administrasi.
Kedua, mengubah
CBP dari kualitas medium premium. Volumenya juga perlu diperbesar hingga 1,3
juta ton. Dengan perubahan ini, CBP akan efektif untuk stabilisasi harga
beras dan untuk memberikan bantuan negara sahabat. Bahkan, jika masih ada
kelebihan volume, CBP bisa untuk tujuan ekspor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar