Salah Memahami Hukum
Moh Mahfud MD ; Guru Besar
Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 11 April 2015
Ketika beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra tentang
rencana pengkajian ulang untuk meninjau kebijakan hukum tentang pemberian
remisi (pengurangan hukuman) kepada terpidana korupsi, ada seorang pejabat penting di negeri ini yang tidak tepat
dalam memahami dan menjelaskan istilah hukum.
Sang pejabat
mengatakan, semua narapidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan
sesuai konstitusi tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Sebab itu,
terpidana korupsi juga harus diberi hak untuk mendapat remisi seperti
narapidana lain. ”Tak boleh ada diskriminasi atau perlakuan hukum yang
berbeda kepada setiap narapidana,”
katanya dengan penuh semangat.
Tentu, pemahaman dan penjelasan seperti itu salah adanya.
Terlepas dari soal kita setuju atau tidak setuju atas gagasan pemberian
remisi yang sama bagi terpidana korupsi dengan terpidana lain, pemahaman dan
penjelasan sang pejabat itu salah. Dia melihat persamaan di depan hukum dan
keharusan nondiskriminasi itu mencakup perlakukan sama terhadap semua orang
dalam semua hal.
Dalam hal ”tak boleh ada diskriminasi” misalnya, sang pejabat
mengatakan pencuri ayam, pembunuh, dan koruptor harus diperlakukan sama-sama
mempunyai hak-hak remisi. Padahal istilah diskriminasi di dalam hukum bukan
dalam pengertian pembedaan pemberian hak atau pembedaan hukuman yang seperti
itu.
Secara hukum, istilah diskriminasi selalu dikaitkan pembedaan
perlakukan karena perbedaan agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan sejenisnya. Ini jelas diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan di dalam UU HAM tersebut diadopsi dan dikembangkan
dari Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (International Convention on the Elimination of All Reforms of Racial
Discrimination 1965).
Konvensi itu menyebut diskriminasi mencakup pembedaan perlakukan
yang didasarkan pada perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, dan asal usul sosial. Konvensi PBB tersebut kemudian diratifikasi juga
oleh Indonesia melalui UU No 29/1999.
Dengan demikian, kalau ada kebijakan yang membedakan untuk
memberi remisi kepada narapidana umum dan tidak memberi remisi kepada narapidana
korupsi, bukanlah suatu kebijakan diskriminatif.
Penentuan kebijakan
negara untuk tidak memberi remisi kepada terpidana korupsi itu sama sekali
bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi semua orang yang
melakukan korupsi, beragama apa pun, berjenis kelamin apa pun, dari ras atau
suku apa pun. Jadi, kalau membedakan
hukuman atau pemberlakuan hak karena jenis kejahatan dan akibat-akibatnya,
bukanlah diskriminasi asal jelas pengaturannya di dalam UU.
Penentuan kebijakan negara untuk memberi remisi pada narapidana
umum dengan syarat-syarat tertentu dan tidak memberi remisi kepada terpidana
karena tindak pidana khusus juga bukan diskriminasi karena kebijakan itu
berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam,
bukan hanya belaku bagi suku Jawa, atau bukan hanya berlaku bagi asal-usul
sosial tertentu.
Itulah maksud memperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh
ada diskriminasi. Kesalahan memahami dan menjelaskan masalah konseptual di
dalam hukum memang kerapkali terjadi. Istilah asas ”praduga tak bersalah”
misalnya sering disalahartikan oleh banyak sarjana hukum sekali pun.
Atas dasar asas praduga tak bersalah, sering orang menyalahkan
orang yang menganalisis fakta sosial atau menduga tentang indikasi kuat
keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Alasannya, masih dalam
proses hukum dan belum ada vonis pengadilan. Padahal, setiap tindak pidana
yang kemudian dihukum oleh pengadilan itu selalu dimulai dari dugaan atau
”praduga” bersalah.
Pada saat seseorang diduga melakukan tindak pidana dilakukan
penyelidikan atasnya karena dugaan. Setelah ada alat bukti yang cukup kepada
yang bersangkutan dilakukan penyidikan karena sangkaan. Semua itu dilakukan
karena dugaan dan sangkaan, belum terbukti. Itu bukan hanya boleh, tetapi
niscaya.
Dengan demikian, boleh saja orang menduga, menyorot,
mendiskusikan, menganalisis, bahkan menyimpulkan secara sosial bahwa
seseorang telah melakukan korupsi meski belum divonis oleh pengadilan. Masak,
menduga, menganalisis, dan menyimpulkan secara logis saja tidak boleh. Masak,
begitu saja mau dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
Orang dijatuhi hukuman itu karena didahului oleh dugaan yang
dilanjutkan dengan sangkaan, dakwaan, dan seterusnya sampai vonis. Yang dimaksud asas
praduga tak bersalah adalah asas yang menentukan bahwa jika orang belum
dijatuhi hukuman dengan hukuman yang sudah berkekuatan hukum tetap, dia tak
boleh diperlakukan sebagai terhukum.
Misalnya, tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya boleh
disita, tapi belum boleh dilelang, boleh ditahan, tapi belum dimasukkan ke
dalam penjara yang permanen.
Alhasil, kalau kita
melempar analisis atas fakta dan percaya bahwa seseorang yang masih diadili
adalah koruptor, itu bukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Secara hukum asas praduga tak bersalah itu mempunyai arti yang
khas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar