Meneguhkan Supremasi Kiai
Khoiron ; Pengajar FIA Universitas Islam Malang
|
JAWA
POS, 03 April 2015
MESKI masih empat bulan lagi, suasana Muktamar Ke-33 Nahdlatul
Ulama (NU) sudah terasa. Terutama di Jawa Timur. Sebab, muktamar yang dilaksanakan
pada 1–5 Agustus mendatang itu berlangsung di Jawa Timur, tepatnya Jombang.
Ada empat pondok pesantren (ponpes) legendaris yang menjadi tuan rumah.
Yakni, Tebuireng, Mambaul Ma'arif (Denanyar), Bahrul Ulum (Tambak Beras), dan
Darul Ulum (Peterongan).
Muktamar ke-33 pun terasa istimewa. Sebab, dalam Munas-Konbes NU
2014, disepakati penggunaan konsep ahlul
halli wal-aqdi (ahwa) dalam
pemilihan rais am seperti pada muktamar ke-27 (1984) di Situbondo. Secara
bahasa, ahlul halli wal aqdi
berarti ''orang yang berwenang melepaskan dan mengikat''.
Disebut mengikat karena keputusannya mengikat orang-orang yang
mengangkat ahlul halli. Juga,
disebut melepaskan karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak
memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati yang didasarkan pada
musyawarah.
Dalam sejarah Islam, konsep tersebut pernah dijalankan pada
zaman khalifah Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Umar memilih beberapa
orang tepercaya untuk menjadi wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan
keluar setelah meninggalnya sang khalifah. Kemudian, yang terpilih melakukan
musyawarah, berdiskusi, dan memutuskan kebijakan yang wajib ditaati seluruh
anggota ahlul halli wal-aqdi dan kaum muslimin. Keputusan tersebut adalah
memilih sahabat Ustman bin Affan sebagai pengganti Umar dalam melanjutkan
perjuangan dakwah Islam.
Ide awal kembali dimunculkannya konsep ahwa dalam muktamar ke-33
kali ini tidak lain adalah kegelisahan warga nahdliyin, terutama para kiai,
setelah muktamar ke-32 di Makassar. Kegelisahan para kiai tersebut cukup
beralasan jika melihat perhelatan muktamar NU mulai Solo sampai Makassar,
yakni pemilihan rais am dan tanfidziyah layaknya pemilu kepala daerah
(pilkada).
Di arena muktamar, banyak spanduk, baliho, banner, bendera, dan
stiker yang mendukung salah seorang calon. Karena itu, muncul sebuah
pertanyaan apakah konsep wasyaawirhum
fil amri telah hilang di organisasi keagamaan sebesar NU? Sebuah tradisi
yang mulia dan bijak dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat yang
jauh melampaui konsep demokrasi.
Celakanya, praktik money
politics yang biasa dilakukan politisi ditengarai terjadi di arena
muktamar yang seharusnya penuh nilai keikhlasan. Fenomena adu kekuatan antara
calon bukan lagi rahasia pribadi, melainkan rahasia bersama warga nahdliyin.
Karena itu, setidaknya ada empat alasan sehingga konsep ahwa tersebut penting
dan urgen diputuskan sebagaimana yang telah dijelaskan Abu Hapsin, ketua PW
NU Jawa Tengah.
Pertama, mengoptimalkan peran dan fungsi syuriah sebagai kontrol
atas tanfidziyah. Perlu diketahui, selama ini jajaran syuriah, terutama di
tingkat ranting atau cabang, kurang diperhitungkan, bahkan tidak jarang
ditinggalkan dewan tanfidziyah dalam berbagai kesempatan. Kedua, mewadahi
aspirasi bawah, tetapi juga memberikan otoritas yang besar kepada syuriah.
Anggota ahwa yang berjumlah sembilan kiai khos, yang merupakan representasi
kiai berpengaruh se-Indonesia, akan mempunyai kewajiban mengarahkan
perjalanan organisasi untuk dilaksanakan dewan tanfidziyah.
Ketiga, menghindari kemungkinan praktik money politics dan intervensi orang-orang di luar NU. Sebagai
organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tentu menjadi magnet bagi
politisi yang haus kekuasaan. Mereka berusaha menanamkan investasi politik
atau modal sosial kepada para calon dan warga nahdliyin untuk kemudian bisa
mendukung kepentingan politiknya suatu saat. Keempat, meminimalkan kesan
mengadu para kiai secara head-to-head
(berhadap-hadapan) dalam kontes di arena muktamar.
Sudah menjadi rahasia publik, selama ini setiap muktamar
seolah-olah menjadi arena atau ajang perebutan pengaruh antarkiai. Bahkan
tidak jarang menimbulkan semacam sentimen antarcalon. Contohnya, kejadian
dalam Muktamar Ke-31 di Boyolali (2004) antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
dan (alm) KH A. Sahal Mahfudz. Yang terakhir adalah Muktamar Ke-32 di
Makassar yang seolah mengonfirmasi adanya head-to-head antara KH A. Sahal
Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi dalam perebutan rais am.
Suasana muktamar pun bagaikan pilkada dengan sistem one man one
vote. Hasil akhirnya, (alm) Mbah Sahal keluar sebagai pemenang. Padahal,
selama 30 kali muktamar, selama itu pula sistem ahwa digunakan yang
menempatkan konsep musyawarah dalam pemilihan rais am PB NU.
Menurut saya, konsep ahlul
halli wal-abdi (ahwa) jauh lebih arif dan bijaksana untuk diterapkan,
baik dalam pemilihan rais am maupun tanfidziyah,
mulai pusat hingga pemilihan tingkat ranting. Itu penting dilakukan untuk
menjaga marwah organisasi keagamaan sebesar NU dan mengembalikan supremasi
atau peran serta fungsi dewan syuriah dalam membentengi umat untuk tidak
terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis. Dengan konsep ahwa pula,
kita yakin suasana muktamar akan jauh dari intrik-intrik politis dan
menjauhkan riswah yang santer muncul dalam setiap perhelatan muktamar NU
akhir-akhir ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar