Memaknai Menyerahnya Goliat Tabuni
Amiruddin al-Rahab ;
Direktur
Eksekutif Papua Resource Center
|
KORAN
TEMPO, 04 April 2015
Papua memang selalu memiliki kejutan. Yang terbaru, kabar
menyerahnya pemimpin kelompok bersenjata, Panglima Organisasi Papua Merdeka
(OPM), Goliat Tabuni (GT) di Tingginambut, Puncak Jaya, yang disampaikan ke
media oleh Kasdam Cendrawasih. Menyerahnya GT itu kemudian oleh Pangdam
Cendrawasih dikaitkan dengan rencana kedatangan Presiden Jokowi pada Mei
nanti ke Papua.
Sayangnya berita itu berakhir hambar. Sebab GT, melalui
keponakannya, Deerd Tabuni, membantah menyerah (tabloidjubi.com, 28/3/15).
Untuk menutupi kesalahan Kasdam itu, Pangdam Cendrawasih Fransen G. Siahaan
membenarkan bahwa GT belum menyerah, yang menyerah adalah 23 orang anak
buahnya tanpa senjata.
Meskipun menyerahnya GT itu seperti sensasi, ini penting untuk
dimaknai secara politik, karena berkaitan dengan rencana kehadiran Presiden
yang hendak berdialog dengan tokoh-tokoh di wilayah Puncak Jaya, Papua. Untuk
itu, berita tersebut memiliki nilai politik yang tinggi dan strategis untuk
dicermati.
Sebagaimana kita ketahui, dalam 10 tahun ini, Puncak Jaya dan
sekitarnya telah menjadi wilayah konsentrasi kelompok-kelompok bersenjata di
Papua. Dalam 10 tahun itu, Puncak Jaya terus-menerus dirongrong oleh aksi
kekerasan bersenjata di satu sisi dan di sisi lain menjadi ajang kampanye
pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Pada 2013–2014 saja telah terjadi aksi
bersenjata 40 kali. Korban jiwa yang jatuh jumlahnya 30 orang lebih (aparat
dan rakyat), pada 2013–2014. Aparat pun kehilangan 20-an pucuk senjata.
GT adalah sosok tua dan disegani dalam kelompok bersenjata di
Papua, khususnya di wilayah pegunungan tengah Papua. Markas GT berada di
Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. Puncak Jaya dan Puncak adalah wilayah
dengan kelompok bersenjata paling kuat saat ini di Papua.
Sejak kelompok GT hadir di Puncak Jaya, kelompok bersenjata
lainnya ikut bergabung, yaitu Anton Tabuni, Dinus Wakerwa, Marunggen Wonda,
Lekaka Talenggen, dan Militer Murib. Tiap-tiap kelompok memiliki puluhan
senjata. Kelompok-kelompok yang bergabung dengan GT inilah yang aktif
melakukan penyerangan dan aksi-aksi bersenjata yang memakan korban jiwa di
Puncak Jaya dan Puncak sepanjang 2004–2014. Meskipun saat ini dikabarkan
masing-masing kelompok bergerak sendiri-sendiri, GT tetap sosok yang
disegani. Bahkan GT menjadi ikon perlawanan bagi kelompok-kelompok bersenjata
dan politik di Papua.
Dengan melansir berita menyerahnya GT, aktor keamanan di Papua
sepertinya hendak melakukan cipta kondisi untuk menyambut kedatangan Presiden
Jokowi ke Mulia. Bagaimanapun, secara intelijen dan keamanan, menyerahnya GT
adalah "hasil operasi" kelas premium untuk disuguhkan ke hadapan
Presiden. Pesannya bahwa, "patah" perlawanan bersenjata yang paling
keras di Papua selama ini. Sayangnya, operasi cipta kondisi itu tidak rapi,
sehingga berantakan dalam beberapa hari.
Melihat simpang-siurnya kabar penyerahan diri GT yang dikaitkan
dengan rencana keinginan Presiden untuk berdialog di Papua, ada beberapa
analisis yang bisa dikemukakan. Pertama, aktor keamanan telah menempatkan
sosok GT di posisi terpenting, sekaligus menempatkannya dalam posisi paling
rentan di antara komandan-komandan kelompok bersenjata di Papua. Sepertinya
informasi sengaja dilepas untuk melihat rivalitas di antara pemimpin
kelompok-kelompok bersenjata dalam menyambut ajakan berdialog dari Presiden
Jokowi.
Kedua, jika bukan untuk menciptakan rivalitas, aktor keamanan di
lapangan dalam melakukan cipta kondisi tidak terkoordinasi dalam satu komando
yang baik, sehingga melepas informasi yang prematur dan mudah dibantah. Dalam
kerangka ini, upaya berdialog dengan cara kontak langsung kepada pimpinan
kelompok-kelompok bersenjata yang dikehendaki Presiden Jokowi menjadi mentah
dan akan lebih sulit ke depan.
Ketiga, perlu pula dicatat bahwa penyerahan diri orang-orang
yang disebut OPM selama ini lebih banyak dimobilisasi ketimbang murni
penyerahan diri. Aksi penyerahan diri itu selalu muncul ketika hendak ada
pergantian pejabat. Sepertinya "hasil operasi" tertinggi di Papua
adalah adanya penyerahan diri atau senjata. Kerap pula mereka yang disebut
OPM setelah menyerahkan diri tidak terurus dengan baik, dan kemudian kecewa.
Bisa dikatakan, puluhan aksi menyerahkan diri tersebut tidak membuat aksi
kelompok bersenjata berkurang.
Karena itu, Presiden harus jauh lebih cermat dalam menerima dan
mencerna informasi mengenai perkembangan keamanan di Papua. Letjen (Purn)
Bambang Darmono, mantan Kepala UP4B, dalam satu kesempatan pernah
menyampaikan, untuk menangani kondisi keamanan di Papua, yang perlu dicermati
adalah terjadinya kompetisi antar-aktor keamanan dalam mendapatkan
"hasil operasi". Kompetisi itu kerap membuat informasi tidak
akurat. Di samping itu, Presiden, dalam menjalin dialog di Papua, juga harus
selalu menyadari bahwa konfigurasi demografi politik Papua yang trapesium
selalu menyuguhkan pemimpin yang tidak tunggal. Untuk itu, langkah menangani
Papua juga tidak pernah bisa tunggal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar