Kelas
Sosial Baru NU
Arif Afandi ; Pengurus PWNU Jatim dan CEO Wira Jatim Group
|
KORAN TEMPO, 15 April 2015
Telah tumbuh kelas sosial baru di dalam tubuh organisasi
keagamaan Nahdlatul Ulama. Mereka adalah kelompok intelektual progresif dan
profesional yang tersebar dalam berbagai bidang kehidupan.
Bagaimana NU yang berbasis pesantren bisa melahirkan kelompok santri
baru? Bagaimana karakter kelas sosial baru dalam NU tersebut? Apakah
kehadiran mereka membawa dampak pada peran sosial ormas Islam ini? Apakah
mereka telah terakomodasi dalam kepemimpinan organisasi? Masalah ini menarik
untuk diangkat menjelang Muktamar ke 33 NU pada 1-5 Agustus 2015, di Jombang.
Paling tidak ada dua sumber kelas baru NU. Pertama, kelompok
profesional dan akademisi dari latar belakang keluarga santri tersembunyi.
Mereka baru muncul di permukaan setelah terjadi reformasi politik. Mereka
adalah para teknokrat, kaum profesional, serta akademisi dari keluarga NU.
Kedua, kelompok santri baru hasil "liberalisasi"
pendidikan. Seperti diketahui, pada 1970-an, pemerintah Soeharto membuka
keran lebih luas bagi santri untuk masuk dunia pendidikan. Melalui Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam
Negeri, keran dibuka lebar bagi kalangan santri lulusan lembaga pendidikan
formal madrasah. Mulai saat itu, lulusan madrasah yang ada di
pesantren-pesantren bisa masuk langsung ke sekolah umum tanpa harus mengikuti
ujian persamaan.
Sejak saat itu, semakin banyak anak keluarga santri NU yang
menempuh pendidikan umum. Gelombang anak santri yang masuk universitas
kenamaan di negeri ini mulai terjadi. Pilihan pendidikan lanjutan para santri
tak hanya perguruan tinggi agama di dalam negeri ataupun di luar negeri. Dari
gelombang inilah lahir para profesional dan akademisi baru NU. Orientasi
karier mereka juga semakin luas dan tidak hanya menjadi dai serta menggeluti
pekerjaan yang terkait dengan keagamaan, tapi juga profesi umum lainnya.
Hasil "liberalisasi" pendidikan bagi kaum santri ini
melahirkan banyak akademisi bergelar doktor dalam bidang non-agama. Juga
banyak kalangan profesional yang menempati dunia perbankan, jurnalistik,
serta industri kreatif, seperti Ipang Wahid, para dokter, dan teknokrat yang
tersebar di instansi-instansi pemerintah. Mereka menjadi santri yang lebih
''mengkota'' karena bergelut dengan dunia profesional di perkotaan.
Kebijakan deradikalisasi Islam dari negara-negara Barat ikut
menggelembungkan lapisan ini. Beasiswa studi di negara-negara Barat mengalir
deras ke kalangan intelektual NU. Banyak sekali dosen IAIN, UIN, dan kalangan
pesantren yang mendapat beasiswa untuk berkuliah di berbagai universitas di
luar negeri. Mereka tidak hanya menekuni studi Islam, tapi juga studi
ilmu''sekuler''. Barisan doktor baru dari kalangan santri ini semakin
mengalir deras.
Para akademisi dengan latar belakang keluarga santri NU ini juga
bermunculan di perguruan tinggi umum serta lembaga-lembaga penilitian. Mereka
mulai mewarnai berbagai pemikiran di beberapa bidang. Setiap saat, mereka
bisa menjadi sumber daya teknokrat yang bisa mengisi berbagai pusat strategis
di lingkup pemerintah. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak hanya piawai
dalam keahliannya, tapi juga punya dasar ilmu keagamaan yang mencukupi.
Lapisan sosial baru NU ini memiliki karakter yang sedikit
berbeda dengan lapisan santri NU pada umumnya. Mereka terbiasa hidup dalam
lingkungan yang lebih plural, terbiasa bekerja secara terencana, disiplin,
dan lebih berorientasi pada hasil. Latar belakang kesantriannya tidak
menghalangi mereka hidup dengan cara modern dan lebih gampang beradaptasi
dengan dunia baru.
Menjamurnya para intelektual NU ini sudah diramalkan cendekiawan
muslim kenamaan, Dr. Nurcholish Madjid. Salah satu pendiri Universitas
Paramadina Jakarta yang terkenal dengan konsep sekularisasi politik itu
melihat NU sebagai organisasi keagamaan yang cukup kuat dalam hal tradisi
intelektual Islam. Ia mengatakan ormas keagamaan ini memiliki sumber pustaka
yang sangat kaya. Karena itu, ia meramalkan kalangan Nahdliyin akan memimpin
khasanah intelektual Islam di Indonesia.
Lahirnya lapis baru NU ini jelas menentukan peran sosial,
politik, keagamaan, dan kebudayaan organisasi ini ke depan. Sumber keilmuan
yang beragam dengan dasar prinsip keagamaan yang lebih toleran tentu
menjanjikan diskursus pemikiran yang lebih terbuka. Kepemimpinan lapis baru
NU ini diharapkan bisa mempersempit hadirnya pemikiran radikal Islam yang
puritan. Ini jelas bermakna bagi pembentukan tatanan kebangsaan ke depan.
Sementara itu, semakin tebalnya lapis profesional dan sumber
daya teknokratismemungkinkan NU untuk memiliki akses yang lebih kuat terhadap
simpul strategis dalam berbagai bidang kehidupan. Tentu ini sangat membantu
ormas Islam yang berdiri pada 1926 itu untuk ikut mempengaruhi berbagai
kebijakan strategis di lingkup pemerintah. Banyaknya anggota kabinet
pasca-reformasi merupakan hasil dari lahirnya lapis sosial NU baru ini.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar