Harapan Baru Setelah Rezim UN
Y Nugroho Widiyanto ;
Kandidat
Doktor Ohio State University;
Dosen FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
|
KOMPAS,
02 April 2015
Rezim ujian
standar pendidikan secara nasional, secara singkat kita sebut UN, sudah berkuasa
dalam beberapa dekade di Indonesia. Menteri datang dan pergi silih berganti,
kurikulum berubah dari bandul satu ke bandul yang lain, tetapi semua takluk
pada rezim ini.
Rezim UN sangat berpengaruh
dalam mengatur mobilitas sosial dan ekonomi para siswa dari berbagai jenjang.
Tak mengherankan, kesakrakalannya harus dijaga sebagai "Rahasia
Negara", diinapkan di kantor polisi sebelum diberikan kepada siswa,
bahkan Densus Anti Teror pun ikut terlibat mengawalnya.
Namun, sebuah rezim yang begitu
berkuasa tiba-tiba runtuh terkulai di tangan pemerintahan baru yang
menyatakan UN bukan satu-satunya alat menentukan kelulusan siswa, melainkan
sarana pemetaan untuk membantu menyusun kebijakan. Reaksi beragam pun mulai
muncul.
Seorang kepala sekolah
mengeluhkan anak didiknya yang tidak lagi bersemangat belajar untuk
mempersiapkan diri menghadapi UN (Kompas, 26 Januari 2015). Para kepala
daerah kehilangan "mainan" untuk membuktikan kepada publik
keberhasilan program pendidikan mereka. Para guru kebingungan bagaimana
membuat siswa mereka disiplin sampai ada oknum yang bertindak ekstrem dengan
menghukum siswanya hingga meninggal hanya karena tak mengerjakan pekerjaan
rumah. Saat tawuran pelajar kembali merebak dan melibatkan siswa-siswa
senior, ketiadaan UN pun dijadikan sebagai kambing hitam.
Jati diri sekolah
Inilah situasi masyarakat yang
disebut sosiolog terkemuka, Emile Dukheim (1897), sebagai situasi 'anomie',
di mana tatanan baru belum terbentuk dengan sempurna dan banyak pihak
yang menginginkan kembali pada tatanan lama dengan iming-iming "Enak jamanku tho, le?"
(Lebih enak di zaman saya kan, Nak?) Dalam situasi yang masih galau inilah,
perlu keteguhan hati dari segenap jajaran Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk mengantar segenap pemangku kepentingan dunia pendidikan
dalam visi yang sama.
Filsuf Driyarkara (1950) dengan
lugas menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki peran yang sama dengan
institusi sosial lain seperti keluarga, kelompok agama, dan kelompok
masyarakat, dalam membentuk para manusia muda ini sehingga menjadi manusia
yang utuh.
Untuk jadi manusia yang utuh,
para siswa ini terlibat dalam proses pembelajaran bersama dengan para guru
mereka, baik sebagai mentor ataupun fasilitator. Namun, rezim UN sudah
mereduksi sekolah jadi tempat persiapan ujian, yang secara substansif
tidak berbeda dengan sejumlah lembaga bimbingan belajar yang selalu tumbuh
bak jamur di musim hujan menjelang UN atau ujian standar lain.
Rezim UN sudah membuat para
manusia muda ini hanya dihargai sebatas nilai-nilai kuantatif semata. Sungguh
sebuah degradasi eksistensi yang begitu rendah atas diri manusia-manusia muda
ini. Padahal, dalam dunia nyata, seorang Rudi Hartono yang juara badminton;
Rudy Hadisuwarno yang penata rambut atau Rudi Salam yang aktor
tidak lebih rendah kemanusiwiannya bahkan kecerdasannya dibandingkan dengan
Rudi Habibie yang bisa merancang pesawat.
Membandingkan para
"Rudi" muda ini dalam sebuah penggaris yang sama jelas bukan
merupakan tujuan membangun sekolah. Apalagi, rezim UN sudah mengabaikan
keanekaragaman situasi sosial ekonomi di Indonesia dengan memakai Jawa
perkotaan sebagai standar yang harus diikuti semua wilayah di Indonesia.
Karena itu, penghilangan kekuasaan UN sebagai penentu kelulusan siswa jelas
mengembalikan sekolah pada jati diri sesungguhnya.
Seiring pudarnya kekuasaan
rezim UN, peran guru jadi sangat penting dalam memanusiakan para manusia muda
ini. Pada APBN tahun ini saja, pemerintah dan DPR sudah menggelontorkan dana
lebih dari Rp 60 triliun hanya untuk menambah tebal dompet para guru lewat
dana sertifikasi guru sehingga bisa fokus untuk membimbing anak didik mereka.
Kebijakan ini harus dibalas oleh para guru dengan menunjukkan kinerja yang
semakin profesional.
Guru dan multi-kecerdasan
Runtuhnya rezim UN harus
disambut gembira para guru bidang studi yang selama ini disepelekan siswa
karena tidak masuk dalam materi UN, seperti Pendidikan Seni dan Pendidikan
Jasmani. Pada masa rezim UN masih berkuasa, pemerintah begitu giat
"membuktikan" keberhasilan pendidikan kita dengan mengirimkan para
siswa pilihan untuk mengikuti berbagai olimpiade Matematika dan Sains tingkat
internasional.
Akan tetapi, usaha ini tidak
lengkap dan cenderung mengistimewakan guru dan mata pelajaran Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Padahal, pandangan sempit ini sudah ditentang oleh
pemikiran Howard Gardner (1983) tentang
multiple intelligences yang menguraikan bahwa kecerdasan
manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ yang mendasarkan dari logika
matematika dan bahasa, tetapi juga meliputi segenap aspek kemanusiaan yang
lain, seperti kecerdasan kinestetik tubuh, musik, ruang-visual, alam,
interpersonal, dan intrapersonal.
Dengan pemahaman multiple intelligence ini, para siswa, guru, dan orangtua
akan menyambut datangnya hari konser atau invitasi olahraga sekolah seperti
mereka mempersiapkan UN. Untuk itu, para siswa akan bergairah mengasah
kecerdasan musik mereka dalam paduan suara, band maupun orkes simfoni.
Demikian juga dalam bidang olahraga, para siswa melatih diri mengembangkan
kecerdasan kinektetik tubuh saat mengocek bola atau mengayunkan raket
badminton.
Saat hari konser atau
pertandingan tiba, mereka semua memang merasakan kekhawatiran, apakah para
siswa itu akan tampil dengan prima seperti yang selama ini dilatihkan, tetapi
ada kegembiraan saat melihat para tunas-tunas muda ini tampil memainkan alat
musik dengan percaya diri atau bersalaman dengan satria saat timnya belum
meraih kemenangan. Inilah perwujudan revolusi mental yang tidak harus
disampaikan dengan kata-kata sampai berbusa-busa.
Runtuhnya rezim UN juga memberi
kesempatan pada para guru-guru bahasa dan ilmu sosial dalam mempertinggi daya
intelektualitas anak dalam hierarki pemikiran yang tinggi, seperti melakukan
analisis, sintesis, dan berpikir kritis. Rezim UN jelas tak akan mampu
mengolah hal ini mengingat hanya ada satu jawaban benar dari soal
pilihan ganda, padahal dalam hidup tiada jawaban tunggal atas persoalan
kemanusiaan.
Hilangnya pengaruh UN juga bukan
musibah untuk para guru matematika dan ilmu alam, tapi justru memperkaya
pengajaran mereka selama ini. Dalam pengamatan penulis terhadap para siswa
Indonesia jenjang pendidikan menengah dan dasar yang mendapat kesempatan
pendidikan di Amerika, mereka tampak sangat hafal dengan rumus dan bisa
menyelesaikan soal hitungan dengan lebih cepat dibanding rekan sejawatnya.
Akan tetapi saat mereka harus mengaplikasikan rumus tersebut dalam soal
seperti dalam kehidupan sehari-hari, mereka gagap.
Dengan kesadaran akan multiple intelligence ini, para pemangku kepentingan
pendidikan di Indonesia hendaknya mulai melihat bahwa patahnya sayap UN
bukanlah malapetaka. Justru runtuhnya kemahakuasaan UN ini akan membawa
perspektif baru yang semakin luas bagi siswa, guru, orangtua dan segenap
masyarakat bahwa kemajuan bangsa di masa depan akan kian cerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar