Ferry Katolik Islami
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 04 April 2015
Suatu sore beberapa waktu setelah meninggalnya Mayjen (Purn)
Ferry Tinggogoy, saya didatangi istri almarhum yang bermaksud
mengonsultasikan satu masalah hukum.
Saya berkawan dekat dengan almarhum Ferry Tinggogoy karena dia
adalah anggota DPR dari Fraksi TNIPolri saat saya menjabat menteri pertahanan
(2000-2001). Almarhum juga pernah memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Provinsi Sulawesi Utara saat saya menjadi wakil ketua umum DPP PKB
(2001-2005), dan terakhir almarhum adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah
(2009-2014).
Kedatangan istri almarhum ingin berkonsultasi kepada saya
tentang prosedur-prosedur yang efektif untuk mengurus perkara salah seorang
warga Sulawesi Utara yang tanahnya dicaplok secara sewenang-wenang oleh
pengembang. Dia menanyakan kepada saya, bisakah saya membantu mengurus ke
pengadilan secara profesional, atau bisakah saya memperkenalkan dengan
pengacara yang tangguh untuk mengurus perkara yang dibawanya, atau bagaimana
caranya agar hakim yang menangani perkara itu benar-benar bisa adil.
Yang menarik, perkara pencaplokan tanah itu tak ada hubungan
keperdataannya dengan Ferry atau keluarganya. Tanah itu adalah milik warga biasa
dari kalangan lemah, yang kemudian dirampas secara sewenang-wenang. Saat
Ferry masih hidup, orang itu meminta tolong kepada Ferry atas perlakuan sewenang-wenang
itu, dan Ferry menyanggupi untuk membantunya.
Nah, setelah Ferry meninggal, istrinya datang kepada saya untuk
meneruskan perjuangan orang miskin itu memperoleh hak kembali atas tanahnya
secara hukum. Istri Ferry mengatakan akan melanjutkan janji suaminya kepada
warga yang diperlakukan sewenang-wenang itu. Lho, kok ? Ya, ketika hidup,
Ferry sudah berjanji akan membantu orang itu dan membantu biayanya sampai
tuntas di pengadilan.
Sebagai wakil rakyat yang duduk di DPD, Ferry merasa wajib
membela rakyat yang diwakilinya dari tindakan sewenang-wenang dan
ketidakadilan. Hal ini menarik karena, minimal, dua hal. Pertama, ketika
masih hidup, Ferry berusaha melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
wakil rakyat di DPD, yakni membela kepentingan warga negara yang diwakilinya.
Untuk itu, dia tak ragu mengeluarkan biaya dari kantongnya
sendiri. Kedua, istri almarhum Ferry Tinggogoy merasa wajib melanjutkan
perjuangan suaminya untuk membela hak hukum seorang warga negara yang telah
dirampas haknya. Istri Ferry yang adalah seorang dokter itu mengatakan kepada
saya, dirinya merasa wajib terus membantu orang yang tanahnya dirampas itu
karena suaminya pernah berjanji untuk membantu mengurus dan membiayai sampai
ke pengadilan.
Janji almarhum harus dipenuhi sebagai amanah. Bagi saya, inilah
contoh sikap kemanusiaan dan kejujuran seseorang. Meskipun pemberi janji
sudah meninggal dan janji untuk membantu itu dikaitkan dengan tugas politik
sebagai wakil rakyat, secara moral harus dipenuhi, termasuk oleh keluarga
yang ditinggalkan. Sikap Ferry dan keluarganya inilah contoh sikap islami,
yakni berlaku baik kepada orang lain dan berusaha memenuhi janjinya seperti
yang diajarkan oleh agama Islam.
Keluarga Ferry Tinggogoy adalah penganut agama Katolik yang taat
dan dalam hidupnya dia selalu berusaha jujur, baik, dan sportif. Saya
menyebut Ferry ini adalah penganut Katolik yang
islami karena cara hidupnya sama belaka dengan yang diajarkan oleh Islam yang
sarat dengan ajaran hidup berakhlak.
Saya teringat, pada suatu bulan puasa dia mengundang saya untuk
berbuka puasa di sebuah restoran. “Kok, mengundang saya berbuka? Pak Ferry
kan Katolik?” tanya saya. Saya kan ingin ikut bahagia dan menghormati
puasanya, Pak Mahfud,” jawabnya dengan tulus. Saya teringat penggalan
pengalaman berkawan dengan Ferry Tinggogoy ini ketika pekan lalu saya bercuit
di akun Twitter saya (@mohmahfudmd) yang kemudian ditanggapi beragam oleh
tuips. Saat itu saya bercuit, “Di Indonesia banyak orang
Islam tapi perilakunya tidak islami. Di New Zealand hampir tidak ada orang
Islam tapi masyarakatnya islami”.
Cuitan ini mendapat banyak tanggapan, banyak yang menanggapi
positif, tapi ada juga beberapa tuips yang tidak suka menganggap saya
mencemooh perilaku orang-orang Islam. Saya sendiri mencuitkan pernyataan itu
karena tertarik dengan satu hasil penelitian mengenai peringkat negara-negara
yang berperilaku islami.
Penelitian itu
menggunakan parameter penerapan akhlak Islam sebagai ukuran perilaku islami,
misalnya sikap hidup tertib, ketaatan pada hukum, tidak korupsi, tidak
sewenang-wenang, menghormati hak orang lain. Hasil penelitian itu memang cukup mengagetkan karena perilaku
dan akhlak Islam justru lebih hidup di Selandia Baru jika dibandingkan dengan
di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas rakyatnya beragama
Islam.
Saya hanya ingin menegaskan bahwa berdasarkan temuan itu,
ternyata banyak orang Islam yang tidak istikamah untuk melaksanakan akhlak
islami. Sebaliknya banyak orang yang tidak Islam sudah berperilaku sesuai
dengan ajaran Islam, sehingga meski tak beragama Islam, perilaku mereka sudah
islami.
Ketika berkunjung ke Jepang awal 2014, di depan para mahasiswa
Indonesia yang belajar di sana saya mengatakan, “Di Jepang tak banyak orang Islam, tetapi terasa ada suasana Islam
dalam penegakan hukum”. Sebenarnya lontaran pernyataan saya ini bukanlah
hal baru. Lebih dari satu abad yang lalu, Syech Muhammad Abduh (1849-1905)
sudah mengatakan, “al-Islaam mahjuub
bil muslimien” yang berarti, “kemuliaan
Islam tertutup oleh perilaku orang-orang Islam sendiri”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar