"E-government"
Indonesia
Suhono Harso Supangkat ; Guru Besar TI
ITB;
Koordinator Prakarsa Smart City Indonesia
|
KOMPAS, 14 April 2015
Beberapa waktu lalu kita mendengar bahwa Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara sangat aktif mendekati beberapa negara untuk penjajakan kerja
sama e-government. Setidaknya ada tiga negara yang didekati, yaitu Korea,
Singapura, dan Australia. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan dari
komunitas pegiat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Indonesia, sebetulnya
apa yang perlu dibangun hingga memerlukan pendekatan pada banyak negara?
Apakah teknologinya, prosesnya, ataukah orangnya?
Kita ingat, saat kampanye pemilihan presiden, Jokowi beberapa
kali mengungkapkan, jika terpilih dirinya akan membangun banyak pelayanan
berbasis elektronik, seperti e-government, e-budgeting, dan e-audit. Jokowi
sangat yakin, pembangunan e-government itu sangat mudah, bisa diselesaikan
dalam orde beberapa minggu atau bulan dan dapat dikerjakan oleh anak muda.
Saat ini pemerintahan Jokowi-JK sudah lebih dari 100 hari. Namun, sayangnya
pembangunan e-government masih dalam proses pencarian mitra.
Sementara itu, beberapa kota mulai aktif membangun kota cergas
(smart city). Menurut kolega saya dari Vienna University, Eropa, e-government
(smart government) merupakan bagian awal dari kota cergas dan sudah dilakukan
mereka. Selanjutnya adalah smart energy, smart environment, dan lainnya untuk
mendukung kota.
Sebelum membahas kondisi atau ranking e-government Indonesia di
dunia, mungkin perlu kita pertegas dulu apa sebenarnya e-government itu?
Kalau kita coba maknai secara sederhana, e-government adalah
suatu proses pelayanan dan pengelolaan pemerintahan dengan bantuan penggunaan
TIK berbasis perangkat elektronika.
Tujuan penyelenggaraan e-government umumnya agar sistem
pemerintahan lebih efisien, transparan, dan efektif. Dengan demikian, proses
pelayanan publik seperti perizinan, pembayaran, hingga penganggaran tak mesti
tatap muka. Proses jadi lebih cepat, transparan, dan bisa dilacak jika ada
kelambatan atau penyalahgunaan wewenang. Komponen utama e-government adalah
orang (people), proses, dan teknologi. Artinya, pembangunan e-government tak
sekadar memasang teknologi seperti pusat data (data center), jaringan, dan
aplikasi, tetapi harus memikirkan orangnya, baik birokrat, penggunanya,
maupun proses pemerintahannya. Jadi, kalau mau belajar atau kerja sama dengan
negara luar itu apanya? Teknologinya, prosesnya, atau orangnya?
Ranking
"e-government"
Ada beberapa organisasi dunia yang mengukur kondisi e-government
suatu negara, seperti Bank Dunia dan Waseda University. Penulis sebagai Vice
President International Academy of CIO ikut bergabung dengan Waseda
University, Jepang, mengukur dan kemudian membuat ranking e-government.
Pengukuran berlangsung tiap tahun mulai 2005. Pada 2014 Indonesia menempati
posisi ke-32 dari 62 negara yang diukur. Amerika, Singapura, Korea, Inggris,
dan Jepang berturut-turut di posisi lima besar.
Ada 9 indikator utama dan 33 subindikator sebagai dasar pengukuran.
Indikator itu: 1) kesiapan jaringan, 2) efisiensi pengelolaan, 3) layanan
online, 4) portal nasional, 5) government CIO, 6) promosi e-government, 7)
e-participation, 8) open government, dan 9) cyber security. Kalau kita pilah,
9 indikator utama itu bisa digabung dalam tiga hal besar, yaitu teknologi,
orang, dan proses.
Lebih jauh kalau dilihat dari laporan negaranya (country
report), ada beberapa hal yang bisa kita pelajari agar Indonesia bisa
meningkatkan pelayanan e-government-nya. Kesiapan jaringan Indonesia dinilai
5.5, artinya masih jauh untuk kepuasan kualitas akses data. Mudah-mudahan
dengan program Rencana Pita Lebar Indonesia (RPI), kesenjangan akses internet
bisa dikejar.
Sementara itu, pengelolaan operasi e-government di Indonesia
masih sangat rendah, ada di urutan ke-47 dari 62 negara. Kemungkinan karena
masih adanya pulau-pulau layanan yang belum terintegrasi dan ketidakjelasan
pengelolaannya. Indikator yang masih di papan bawah dibanding negara lain
adalah e-participation, artinya partisipasi penduduk mengikuti layanan
e-government ini masih sangat kurang.
Kemungkinan juga karena promosi yang sangat kurang ataupun
kemampuan penduduk masih rendah terhadap pelayanan berbasis TIK ini.
Salah satu indikator penting lainnya adalah CIO (chief information
officer), suatu jabatan penanggung jawab layanan informasi di suatu
organisasi, termasuk pemerintahan. Cara memandang TIK di suatu pemerintahan
masih beragam, ada yang mengatakan itu hanya alat, tetapi ada juga yang
menyatakan itu sebagai pengungkit (enabler) atau bahkan sebagai transformer.
Otoritas atau level dari CIO di organisasi itu berbagai macam.
Kalau di kementerian bisa level eselon 2 atau 3, demikian juga di
pemerintahan kota/kabupaten, ada yang eselon 2 atau 3. Dengan level itu, sebenarnya
hampir sulit melakukan proses rekayasa karena keterbatasan otoritas. Hampir
semua level pemerintah sudah tahu jika TIK itu penting. Namun, saat
penempatan di organisasi masih belum tepat dalam penyusunan organisasinya.
Oleh karena itu, CIO harus di level strategis agar bisa
mereformasi pemerintahan jadi efektif dan efisien. Dengan demikian, CIO harus
menempel dengan orang nomor 1 di organisasi. Pertanyaan selanjutnya, siapakah
CIO pemerintahan Indonesia? Apakah Menpan? Apakah Menkominfo atau Sekab? Apakah
setiap CIO di kementerian dan pemkot ataupun pemkab berkoordinasi dengan CIO
pusat? Kalau tidak, bagaimana integrasi dan koordinasinya?
Pembangunan TIK kuncinya adalah koordinasi dan integrasi. Maka,
organisasi dengan CIO yang kuat dan kokoh diperlukan. Dalam hal ini,
pekerjaan rumah Jokowi cukup berat untuk membangun kondisi ideal pembangunan
e-government di Indonesia. Mudah-mudahan saja kota- kota yang sedang
membangun smart city juga melakukan persiapan organisasi yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar