Angkutan untuk Pelajar
Darmaningtyas ;
Pengembang
Rute Aman Sekolah
|
KORAN
TEMPO, 01 April 2015
Problem
pendidikan ternyata bukan hanya masalah pencapaian angka partisipasi maupun
kualitas yang tinggi, tapi juga akses transportasi bagi anak-anak ke/dari
sekolah. Problem angkutan bagi pelajar berbeda-beda antara di kota dan di
desa/daerah.
Di perkotaan,
khususnya kota besar, seperti Jakarta, pelajar miskin selalu kesulitan
mendapatkan angkutan umum yang mau mengangkut mereka karena tarif untuk
pelajar hanya 50 persen dari tarif umum. Sedangkan bagi pelajar di daerah,
kesulitan itu disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur dan sarana
transportasi. Keterbatasan tersebut terutama amat dirasakan oleh anak-anak
yang tinggal di daerah perairan ataupun kepulauan. Di sana, baik pemerintah
pusat maupun daerah "absen", sehingga masyarakat harus menyelesaikan
masalah angkutan sendirian.
Isu soal
akses transportasi pelajar ini tiba-tiba mengemuka ketika media massa memuat
bertita mengenai puluhan anak SD Inpres 657 Hulo, Desa Hulo, Kecamatan Kahu,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan -disebut berada di kampung halaman Wakil
Presiden Jusuf Kalla-setiap hari harus menyabung nyawa melintasi kawat di
atas sungai sebagai jembatan karena jembatan gantung yang menghubungkan Desa
Biru dengan Desa Palakka, Kecamatan Kahu, putus dan belum diperbaiki.
Kemudian
disusul dengan berita kecelakaan yang dialami Surdi, murid SD Pajagan I
Lebak, Banten, yang menjadi korban putusnya jembatan gantung tersebut pada 10
Maret 2015. Ia sempat dikunjungi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mochamad Basuki
Hadimuljono.
Beberapa
kasus keselamatan pelajar yang terancam saat pergi ke sekolah itu hanya
contoh yang mengemuka saja. Realitasnya, jauh lebih banyak jumlah pelajar
yang terancam keselamatannya akibat buruknya sarana transportasi pelajar. Di
daerah perairan, misalnya, pelajar menyeberangi sungai hanya dengan papan
yang digerakkan dengan dayung, tanpa tempat duduk dan pelindung pada bagian
samping maupun atas.
Bagi yang
tinggal di kepulauan, mereka harus menyeberangi laut dengan menggunakan kapal
motor dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas tanpa pelampung untuk
keperluan penyelamatan. Di Bangka Tengah, Pulau Bangka, karena pemimpin
daerah mengeluarkan kebijakan pelajar dilarang mengendarai sepeda motor, sementara
jumlah angkutan umum yang ada terbatas, pelajar berjejalan di bus yang
jumlahnya sedikit, dan tentu ini juga rawan kecelakaan.
Berdasarkan
fakta-fakta buruk di lapangan tersebut, saatnya pada masa pemerintahan Jokowi
ini dikembangkan konsep baru, yakni penuntasan program wajib belajar sembilan
tahun dan rencana pelaksanaan wajib belajar 12 tahun tidak cukup hanya
diwujudkan dengan membangun gedung sekolah dan menggratiskan biaya sekolah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan akses transportasi pelajar yang
aman.
Dibutuhkan
kerja sama yang sinergis antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian
Perhubungan, serta pemerintah daearh untuk menyediakan infrastruktur dan
sarana transportasi yang memadai (aman, nyaman, selamat, dan terjangkau).
Tanpa sinergi antar-kementerian/lembaga pemerintahan, akan terasa berat untuk
menuntaskan program wajib belajar sembilan tahun ataupun 12 Tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar