Standar
Ganda Vonis Mati
Hernawan Bagaskoro Abid ; Pemerhati
Isu Internasional,
Diplomat Kementerian Luar Negeri RI
|
REPUBLIKA,
28 Februari 2015
Ketegangan diplomatik antara
Indonesia dan negara-negara lain terkait hukuman mati warga negara asing
(WNA) tampaknya belum juga surut. Sejak Presiden Jokowi menolak permohonan
grasi para terpidana mati kasus narkoba pada akhir 2014, berbagai macam
insiden diplomatik terus terjadi.
Dimulai dari "penarikan"
Dubes Belanda dan Dubes Brasil ke negara masing-masing, desakan pembatalan
hukuman mati dari Sekjen PBB Ban Ki-moon, komentar kontroversial PM Australia
Tony Abbott terkait bantuan tsunami di Aceh, hingga yang terbaru penundaan
secara tiba-tiba penyerahan credential
(surat kepercayaan) Dubes Indonesia untuk Brasil.
Selain insiden diplomatik di atas,
berbagai media massa luar negeri, seperti ABC, The Guardian, dan Daily Mail,
terus membombardir keputusan Pemerintah RI yang tetap akan melakukan eksekusi
hukuman mati sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dari berbagai argumen yang
diajukan para penentang hukuman mati di Indonesia, satu yang paling sering
dikumandangkan bahwa Indonesia menerapkan standar ganda terkait hukuman mati.
Menlu Australia Julie Bishop dalam
wawancaranya dengan The Guardian (17/2/2015) mengatakan, "Indonesia menentang hukuman mati bagi warga negara mereka di
Timur Tengah. Saya berharap Pemerintah Indonesia akan menunjukkan belas
kasihan terhadap warga Australia karena mereka (Indonesia) menuntut negara
lain menunjukkan (belas kasihan) pada warganya (Indonesia)."
The Guardian lalu mengkaitkan
pernyataan Bishop dengan usaha all out
Pemerintah RI untuk membebaskan WNI terpidana mati di Arab Saudi, yaitu
Satinah, termasuk dengan membayar "uang darah" (diyat) kepada
keluarga korban atas penghilangan nyawa yang dilakukan Satinah. Kesimpulan
yang diambil sudah barang tentu dapat ditebak: Indonesia menerapkan standar
ganda terkait hukuman mati.
Narasi ini terus saja
diulang-ulang dan disebarkan secara luas untuk mendukung argumen bahwa Indonesia
menerapkan standar ganda tanpa diiringi dengan perspektif yang tepat dalam
memahami konteks pembelaan yang di lakukan Indonesia dalam kasus Satinah.
Sayangnya, beberapa pengamat dalam negeri justru ikut larut dalam argumen
ini.
Pemerintah Indonesia tak pernah
menghalangi negara lain melakukan pembelaan hukum kepada warga negara mereka
yang tersangkut permasalahan hukum di yurisdiksi Indonesia. Bukan hanya untuk
kasus hukuman mati, melainkan semua kasus permasalahan hukum.
Pendekatan diplomatik sebagai bagian
dari upaya suatu negara untuk melindungi warga negara mereka juga tidak
diharamkan, selama masih selaras dengan hukum yang berlaku. Melakukan upaya pembelaan WNI sesuai aturan yang berlaku dalam
yurisdiksi setempat inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh Indonesia dalam
melaksanakan upaya perlindungan WNI, termasuk membebaskan WNI dari hukuman
mati.
Di Arab Saudi, pembayaran diyat merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari syariah Islam yang dipraktikkan oleh Pemerintah
Saudi. Ketika keluarga atau ahli waris dari korban meminta sejumlah diyat
kepada pelaku tindak kejahatan sebagai pemaafan, bahkan Raja Saudi pun tidak
dapat mengurangi, menambah, atau membatalkan permintaan tersebut. Dengan
demikian, pembayaran diyat dilakukan sesuai koridor hukum yang berlaku, yaitu
hukum syariat Islam.
Kembali kepada berbagai kasus
narkoba yang melibatkan WNA. Pemerintah RI telah membuka diri seluas-luasnya kepada
negara lain untuk melakukan pembelaan hukum kepada warga negara mereka selama
proses pengadilan hingga vonis yang bersifat tetap (inkracht). Seperti halnya Indonesia, semua negara memiliki
kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga negara mereka.
Namun, semua upaya perlindungan
WNA juga harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia
sebagai negara yang berdaulat. Bukan hanya hukum nasional, Indonesia melalui
UU 12/2005 telah meratifikasi Internasional Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) sebagai instrumen hukum internasional yang membolehkan
negara pihak (state party) untuk
tetap menerapkan hukuman mati terhadap tindak kejahatan serius sesuai dengan
UU yang berlaku di negara pihak tersebut.
Bila merujuk pada UU Narkotika
yang berlaku di Indonesia, jelaslah bahwa kejahatan narkotika termasuk dalam
tindak kejahatan yang serius.
Dikaitkan dengan pembayaran diyat
Satinah, upaya Indonesia untuk membayar uang diyat merupakan bentuk
penghargaan Indonesia kepada sistem hukum yang berlaku di negara lain.
Australia, Brasil, Belanda, dan
PBB harusnya melihat kasus Satinah dalam perspektif ini, alih-alih sebagai
sebuah standar ganda terkait hukuman mati.
Indonesia sendiri bukan tidak
pernah menyayangkan terjadinya eksekusi hukuman mati. Pada 2011, Presiden SBY
mengecam Pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi Ruyati. Namun, kritik SBY
saat itu tidak menyasar kedaulatan hukum suatu negara, tetapi tata krama
diplomatik di mana otoritas Arab Saudi lalai tidak memberitahukan mengenai
eksekusi Ruyati kepada pemerintah.
Saat ini, menurut
data Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu, terdapat 229 WNI yang
terancam hukuman mati di luar negeri. Menariknya, sejumlah 131 WNI atau 57
persen dari keseluruhan jumlah WNI yang terancam hukuman mati adalah mereka
yang terlibat kasus narkoba.
Namun,
tidak pernah sekali pun Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan berbau
ancaman terhadap negara lain di mana WNI terancam hukuman mati sebagaimana
yang dilakukan oleh PM Abbott. Tak pernah sekali pun Indonesia mengerdilkan
sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Kunjungan ke penjara,
penyediaan penerjemah, pendampingan hukum melalui pengacara, hingga
pendekatan kekeluargaan dan diplomatik yang dilakukan oleh perwakilan RI di
negara tempat WNI terancam hukuman mati selalu dilakukan sesuai dengan aturan
yang berlaku.
Pesan inilah yang ingin
disampaikan oleh pemerintah kepada Pemerintah Australia, Brasil, dan PBB,
juga semua pihak yang getol menyalahkan Indonesia yang melakukan upaya
penegakan hukum di negeri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar