Sisi
Politik Beras
Anas Urbaningrum ; Ketua Presidium Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
KORAN
SINDO, 03 Maret 2015
Di tengah cuaca panas politik seputar relasi KPK dan Polri,
pemerintah dikejutkan oleh meloncatnya harga beras. Kekagetan pemerintah
ditunjukkan oleh pernyataan menteri pertanian dan menteri perdagangan yang
menuding mafia beras sebagai pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, Wakil
Presiden Jusuf Kalla menyebut tidak benar ada mafia beras. Apa pun sebabnya,
meroketnya harga beras telah memukul kehidupan rakyat. Pemerintah yang merasa
kecolongan lalu mengambil langkah untuk menekan harga beras.
Operasi pasar besar-besaran digelar di berbagai daerah, termasuk
di Jawa Timur yang dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pemerintah juga
menyalurkan beras untuk rakyat miskin (raskin). Dikabarkan, Bulog telah
menyiapkan 300.000 ton beras, terdiri atas 175.000 ton untuk program raskin
dan 125.000 ton bagi program operasi pasar.
Bangun dan Jatuhnya Rezim
Adalah fakta tak terbantahkan bahwa meroketnya harga beras saat
krisis 1998 tidak semata-mata mengganggu ketahanan pangan. Ada implikasi yang
jauh lebih serius yakni terjadi kerawanan sosial, instabilitas politik, dan
kemudian diikuti oleh jatuhnya rezim Orde Baru.
Meski bukan kenaikan harga beras yang menjadi faktor tunggal
meledaknya ketidakpuasan rakyat, tercekiknya leher rakyat akibat harga beras
yang tidak terjangkau adalah faktor yang tidak bisa diabaikan. Itulah ironi
yang menyertai jatuhnya Pak Harto. Betapa tidak, Pak Harto adalah presiden
yang mempunyai perhatian dan prestasi besar di bidang pertanian. Boleh dikata
Pak Harto berhasil melakukan ”revolusi beras”.
Oleh berbagai program yang dijalankan pemerintah, wajah
Indonesia berubah drastis dari importir beras terbesar menjadi negara yang
berswasembada, bahkan bisa melakukan ekspor beras pada 1985. Dunia mengakui
prestasi Indonesia. Pada 1985 itu pula Pak Harto menerima penghargaan dari
badan pangan dunia PBB (FAO) pada sidangnya di Roma. Saat itu Pak Harto
mengajak serta belasan perwakilan petani untuk hadir di sidang FAO dan
menyatakan bahwa penghargaan yang diterima Indonesia adalah untuk para petani
yang telah bekerja keras.
Wajah Indonesia menjadi cerah di mata dunia. Wajah pemerintah
dan citra Pak Harto makin menawan di mata rakyat. Legitimasi politik Pak
Harto dikokohkan oleh prestasi di bidang pertanian sehingga secara politik
Pak Harto menjadi legenda dalam urusan swasembada beras. Citra politik
demikian sangat kuat karena berakar tunjang ke dalam urusan perut rakyat.
Dalam kondisi perut rakyat kenyang, stabilitas politik
pemerintahan lebih mudah dirawat. Sayangnya, akhir rezim Orde Baru disergap
oleh krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis multidimensi, di mana
salah satu wajahnya adalah meroketnya harga beras. Beras telah menjadikan Pak
Harto sebagai legenda, beras pula yang turut menyumbang terjadi kemerosotan
kepercayaan rakyat yang berujung lengser keprabon.
Sejarah Bung Karno juga ditandai dengan menipisnya dukungan
politik menjelang medio tahun 60-an karena masalah kelaparan rakyat di
berbagai daerah. Rakyat kesulitan mendapatkan beras. Agaknya konsentrasi Bung
Karno pada agenda ”revolusi belum selesai” dan situasi politik nasional yang
penuh jor-joran telah membuat urusan beras kurang di utamakan. Bung Karno
memang jatuh karena krisis politik pasca-G30S-PKI. Tetapi, jelas ada
prakondisi kesulitan pangan rakyat yang turut mewarnai terjadi perubahan
politik saat itu. Itu juga ironi karena Bung Karno juga punya pengalaman
penting tentang beras.
Dalam buku Bung Karno:
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams diceritakan, Bung
Karno pernah dimintai tolong sambil diancam oleh pimpinan tentara Jepang
Kapten Sakaguchi di Padang karena tentaranya krisis pangan.
Bung Karno lalu mengundang para pedagang beras sehingga krisis
beras tentara Jepang bisa diatasi. Pikiran Bung Karno saat itu adalah agar
rakyat Indonesia terhindar dari siksaan, sementara tentara Jepang terhindar
dari kelaparan. Bung Karno juga pernah melakukan ”diplomasi beras” kepada
India. Saat terjadi kelaparan di India pada 1946, Indonesia mengirim beras.
Ternyata ini membuat India terkesan. Ketika Belanda melakukan agresi militer
pada 1947, Indonesia keteteran.
Bung Karno meminta Bung Hatta menemui Nehru untuk meminta
bantuan. Meski Hatta tidak berhasil mendapatkan bantuan senjata, India tampil
menggalang protes internasional dan resolusi PBB untuk mengutuk Belanda.
Terbukti usaha India berhasil.
Jangan Disepelekan
Nah, karena itulah, narasi beras bukan hanya tentang makanan
utama mayoritas rakyat. Beras terlalu kompleks untuk dipahami dan dijelaskan
sekadar sebagai bahan pangan. Beras jelas berwajah ekonomi, sosial, dan
bahkan politik. Memandang beras hanya sebagai urusan pangan atau perut rakyat
adalah ”sesat pikir” yang berbahaya. Karena itu pula, urusan kenaikan harga
beras tidak boleh disepelekan.
Sikap pemerintah untuk tidak impor patut diapresiasi. Sikap ini
terkait janji kampanye Presiden Jokowi untuk membela petani. Tetapi, impor
be-ras sejatinya tidak perlu diharamkan jika stok beras nasional rawan. Hajat
hidup rakyat haruslah ditinggikan tempatnya di atas pilihan impor atau tidak
impor. Jika terpaksa, impor tak boleh dianggap tabu. Yang penting tujuannya benar-benar
untuk memenuhi hajat rakyat dan bukan demi rent seeking.
Semoga benar harapan pemerintah bahwa hasil panen raya sejalan
dengan pilihan sikap untuk tidak impor beras. Tetapi, perlu senantiasa
dicatat bahwa besarnya jumlah penduduk dan konsumsi beras per kapita
tertinggi di dunia adalah problem yang selalu hadir. Itu tanda bahwa urusan
beras sangat serius. Kapan Indonesia swasembada lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar