Politik
Menjadi Panglima Pemberantasan Korupsi
Ahmad Khoirul Umam ; Research
Associate di The Indonesian Institute (TII) ;
Kandidat Doktor Ilmu Politik di The University of
Queensland, Australia,
dengan fokus kajian Politik Anti-Korupsi di Negara Berkembang
|
JAWA
POS, 04 Maret 2015
IKRAR kekalahan yang disampaikan pimpinan KPK yang baru
atas keputusan pelimpahan kasus dugaan korupsi Komjen Pol Budi Gunawan dari
KPK kepada Kejaksaan Agung membuat masyarakat pendukung gerakan antikorupsi kecewa.
Optimisme terhadap agresivitas pemberantasan korupsi di bawah formasi
pimpinan sementara KPK itu menjadi kabur. Tidak ayal, sikap kritis dan aksi
penolakan atas keputusan tersebut menyeruak di antara gerakan masyarakat
sipil dan bahkan internal pegawai KPK sendiri.
Keputusan pelimpahan kasus BG (Budi Gunawan) yang diambil
melalui forum konsultasi pimpinan KPK yang baru, Kejaksaan Agung, Polri,
Menkumham, dan Menkopolhukam kemarin (2/3/2015) menyiratkan pesan jelas bahwa
kepentingan menjaga stabilitas politik dalam negeri telah ditempatkan sebagai
prioritas utama ketimbang agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
itu sendiri. Barangkali terselip niat baik bahwa dengan mengompromikan
pelimpahan kasus BG ke Kejagung, potensi konfrontasi antarlembaga antikorupsi
dalam skala yang lebih besar tidak berlanjut dan eksistensi KPK dapat
diproteksi dari berbagai gempuran dan pelemahan yang tengah dilancarkan
beragam cabang kekuasaan dan lembaga penegakan hukum.
Kendati demikian, keputusan itu justru berpotensi
menggerus kepercayaan publik terhadap institusi KPK. Bahkan, mosi tidak
percaya yang ditunjukkan Wadah Pegawai (WP) KPK (3/3/2015) terhadap sikap
pimpinan KPK yang baru menjadi fakta empiris bahwa gangguan soliditas
kelembagaan telah menghantui KPK secara institusi. Pembusukan dan terkoyaknya
soliditas internal KPK itulah yang selama ini dinanti-nanti para pihak yang
merasa terancam oleh manuver dan agresivitas KPK dalam agenda jihad melawan
korupsi. Semua pihak sudah belajar dari beberapa pengalaman bahwa
penghancuran KPK sulit dilakukan melalui serangan eksternal karena benteng
pertahanan masyarakat sipil serta media yang kritis dan independen begitu
kuat. Sebaliknya, justru pembusukan internal itulah yang menjadi strategi
ampuh untuk menjinakkan agresivitas KPK.
Sikap penolakan Wadah Pegawai KPK terhadap keputusan
pimpinan KPK melimpahkan kasus BG ke Kejagung itu menjadi pertaruhan dan
ujian tersendiri bagi kadar legitimasi pimpinan baru di kalangan internal
KPK. Dengan latar belakangnya sebagai senior dan purnawirawan Polri,
Taufiqurahman Ruki yang dipercaya sebagai pucuk pimpinan sementara KPK
diharapkan mampu memuluskan komunikasi dengan institusi Polri untuk
mengungkap kasus BG secara terang- benderang melalui tangan KPK. Tetapi,
sikapnya menerima pelimpahan kasus BG ke Kejagung tersebut seolah
mengingatkan publik kepada ritme kepemimpinan Ruki pada periode pertama KPK.
Selain dianggap berhasil meletakkan fondasi di awal
berdirinya lembaga KPK, sejumlah penggiat antikorupsi kala itu menggarisbawahi
bahwa kepemimpian awal KPK kala itu bernuansa ’’tebang pilih’’, cenderung
menyasar koruptor-koruptor yang tidak memiliki kekuatan politik, yakni mereka
yang umumnya berada di luar lingkaran kekuasaan. Dalam konteks penanganan
kasus BG itu, muncul kekhawatiran bahwa Ruki masih menggunakan ritme dan gaya
kepemimpinan yang sama demi tujuan alternatif yang tentu tidak kalah penting,
yakni menghindarkan KPK dari serangan destruktif pihak-pihak yang merasa
kepentingannya terkoyak oleh manuver KPK.
Sikap Indriyanto Senoaji, pimpinan sementara KPK lainnya,
yang menggunakan argumentasi prosedural mengenai keengganan KPK mengajukan
peninjauan kembali (PK) terhadap putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan karena lembaga penegak hukum laiknya KPK tidak bisa
mengajukan PK sebagaimana diatur oleh KUHAP, juga tetap kurang mampu
meyakinkan publik terhadap keseriusan pimpinan KPK untuk pasang badan guna
menyelesaikan kasus BG. Pimpinan KPK harus mampu menjelaskan secara
meyakinkan, baik terhadap publik maupun kepada kalangan internal lembaganya,
bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata atas pertimbangan kalkulkasi
politik.
Bagimanapun, sikap
kritis publik dan internal KPK terhadap keputusan pelimpahan kasus BG dari
KPK ke Kejagung yang, tampaknya, juga akan kembali dilimpahkan ke Polri
sangat dapat dimengerti. Tidak jelasnya komitmen, keseriusan, dan rekam jejak
kinerja institusi Polri dan Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus korupsi
yang melibatkan aktor-aktor besar (the
big fishes) menjadi alasan mendasar kepercayaan publik relatif lemah
terhadap dua lembaga konvensional antikorupsi tersebut. Penyelesaian kasus
Komjen Pol Susno Duadji –yang dalam proses ’’pull bucket’’ KPK diduga menerima suap Rp 10 miliar dari
nasabah Bank Century tiba-tiba di tangan Polri berubah menjadi kasus korupsi
dana pengamanan Pilkada Jabar– menyisakan pengalaman tersendiri. Karena itu,
pimpinan KPK sebelumnya pasang badan saat terjadi tarik ulur kasus Irjen Pol
Djoko Susilo dengan institusi Polri karena dikhawatirkan akan berakhir sama
dengan penyelesaian kasus Susno Duadji.
Masyarakat tidak mengharapkan agenda pemberantasan korupsi
sekadar menjadi proses ’’basa-basi’’ yang ujung-ujungnya diarahkan untuk
memproteksi kepentingan individu dan kelompok yang berusaha menggunakan
legitimasi kelembagaannya agar terhindar dari tebasan pedang keadilan.
Masyarakat sudah terlalu sering dipaksa untuk menyaksikan lembaga penegak
hukum bersikap enggan mengusut praktik korupsi para aktor besar yang
berlindung di balik kebesaran nama lembaga eksekutif, legistilatif, hingga
lembaga penegak hukum itu sendiri hanya dengan alasan ’’demi menjaga
stabilitas perpolitikan nasional’’. Di sejumlah negara berkembang, banyak
pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan aktor besar terpaksa ’’dimandulkan’’
karena dianggap tidak produktif dan hanya akan menciptakan gonjang-ganjing
serta instabilitas politik yang justru mengacaukan laju pembangunan.
Tentu sikap semacam itu berpotensi melukai rasa keadilan
publik. Terlebih lagi, pilihan-pilihan sikap dan keputusan semacam itu justru
akan memperburuk kondisi negara dalam jangka panjang. Ketika penegakan hukum
yang seharusnya menjadi panglima dalam pembangunan kembali dipaksa tunduk dan
menyesuaikan kepada proses-proses politik yang bersifat kompromistis dan
negotiable, keberlanjutan pembangunan justru akan terancam (Kjaer, 2004).
Pada level tertentu, kondisi semacam itu bakal kembali menggiring negara ini
kepada kelaziman praktik monopoli penegakan hukum bahwa elite penguasa dan
elite lembaga penegak hukum tidak akan tersentuh (untouchable). Hukum kembali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Penguasa akan memiliki kemampuan lebih besar untuk menegosiasikan dan
mengompromikan siapa pihak yang akan dijadikan target atau tidak menjadi
target dalam agenda pemberantasan korupsi. Alhasil, agenda pemberantasan
korupsi akan kembali terjerembap ke jurang yang lebih dalam sehingga
langkah-langkah antikorupsi bakal menjadi lebih rentan (vulnerable) terhadap manipulasi, intervensi, dan tekanan politik.
Untuk kali kesekian, tarik ulur penanganan kasus itu akan
menjadi pertaruhan legitimasi pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Belajar dari
pengalaman konfrontasi Cicak-Buaya jilid I dan II, serta kasus-kasus serupa
yang terjadi di Hongkong, Thailand, dan Singapura, lagi-lagi pimpinan puncak
politik dan pemerintahan (the top
political and governmental leader), dalam konteks ini presiden, akan
kembali dihadapkan kepada dilema besar untuk menyinergikan lembaga-lembaga
negara dan sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Pemerintahan Jokowi-JK dapat belajar dari pilihan politik Presiden Yudhoyono
saat menetapkan otoritas pengusutan kasus Irjen Djoko Susilo ke tangan KPK
pada 2012. Meskipun respons Yudhoyono agak terlambat saat itu, langkah
tersebut terbukti ampuh meredam gejolak politik dan tergerusnya kepercayaan
publik terhadap pemerintahan di level grassroots.
Jika pilihan pemerintahan Jokowi-JK yang diwakili
lembaga-lembaga eksekutif di bawah presiden laiknya Menkum HAM,
Menkopolhukam, Polri, dan Kejagung tetap keukeuh
melimpahkan pengusutan kasus BG ke Kejagung hingga akhirnya kembali di tangan
Polri, Presiden Jokowi sudah kembali mempertegas ’’di mana sejatinya’’ posisi
pemerintahannya dalam agenda pemberantasan korupsi yang sesungguhnya.
Masyarakat tentu sepakat bahwa Polri dan Kejagung harus diperkuat agar
menjadi lembaga antikorupsi yang lebih akuntabel dan dipercaya publik.
Kendati demikian, keputusan mengalihkan otoritas pengusutan kasus seseorang
kepada lembaga asal yang bersangkutan hingga potensial membuka terjadinya
konflik kepentingan (conflict of
interests) benar-benar bukan cara yang tepat untuk mewujudkan harapan
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar