Permasalahan
Baru Ujian Nasional
Darmaningtyas ; Aktivis
Pendidikan di Tamansiswa
|
KORAN
TEMPO, 02 Maret 2015
Ada dua masalah baru yang berkaitan dengan ujian nasional
(UN), yaitu pertama, persoalan substansi terkait dengan fungsi UN itu sendiri;
dan kedua, terkait dengan metodologi, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan UN
yang memakai bahan cetak serta berbasis komputer. Selama ini UN menggunakan
satu cara saja, yaitu cetak. Tapi pada UN 2015 ini diujicobakan pelaksanaan
UN dengan berbasis komputer.
Pertama, terkait dengan fungsi UN itu sendiri. Pada akhir
Januari 2015, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies
Baswedan mengumumkan kepada publik bahwa UN bukan lagi sebagai penentu
kelulusan, melainkan hanya sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan.
Keputusan baru Menteri Pendidikan tersebut disambut positif oleh publik
karena dinilai dapat mengakhiri kehebohan pelaksanaan UN yang selama ini
dinilai penuh manipulasi dan kebohongan.
Tapi belum ada sebulan, telah muncul surat edaran (SE)
tertanggal 17 Februari 2015 antara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi M. Nasir bersama Menteri Pendidikan Anies Baswedan, yang menjelaskan
bahwa hasil UN akan menjadi salah satu pertimbangan seleksi ke jenjang
pendidikan berikutnya, baik setingkat SMP dan SMA maupun seleksi masuk ke
PTN.
Tentu saja SE itu membuyarkan angan mereka yang sudah
telanjur gembira pada pengumuman Menteri Pendidikan bahwa UN bukan penentu
kelulusan. Karena UN sebagai penentu kelulusan, orientasi sekolah akan tetap
sama, yaitu bagaimana mencapai nilai UN yang bagus agar murid-muridnya dapat
diterima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/SMA/PTN). Ini sama
persis dengan kebijakan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) dan Ebtanas
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) lalu.
Pada saat itu Ebtanas bukan penentu kelulusan, tapi Danem
(Daftar Nilai Ebtanas Murni) menjadi penentu penerimaan murid baru di jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, kecuali di perguruan tinggi negeri, karena
penerimaan mahasiswa baru di PTN saat itu berdasarkan pada hasil seleksi
bersama antar-PTN (Sipenmaru/UMPTN/SPMB).
Tatkala UN menjadi indikator keberhasilan belajar, segala
cara akan ditempuh untuk mencapai hasil yang bagus. Model pembelajaran dengan
sistem menjawab soal-soal (drilling system) akan tetap dominan, meskipun
cara-cara belajar seperti ini banyak dikritik oleh para ahli tidak
mengembangkan kreativitas dan imajinasi, sehingga kurang mendukung budaya
inovatif. Padahal, ke depan, bangsa yang kreatif, inovatif, dan produktif
itulah yang akan unggul dalam ekonomi maupun teknologi.
Dua sikap yang bertolak belakang terhadap pelaksanaan UN
tersebut memperlihatkan kuatnya tarik-menarik kepentingan terhadap
penyelenggaraan UN. Tampaknya mayoritas pihak tidak rela bila UN hanya
dijadikan sarana pemetaan kualitas pendidikan, sehingga tatkala UN tidak
difungsikan sebagai penentu kelulusan, dicegat dengan cara lain, yaitu
sebagai penentu penerimaan murid dan mahasiswa baru di jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Dengan demikian, kebijakan baru tentang fungsi UN tidak
akan mengubah kondisi yang ada selama ini.
Persoalan kedua, berkait dengan pelaksanaan UN berbasis
komputer, ini adalah cara baru untuk menghemat biaya, tapi sekaligus
mengurangi kehebohan karena kecurangan. Langkah (uji coba) ini perlu
diapresiasi, meski pada tahap awal akan timbul banyak masalah teknis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar