Penyertaan
Modal Negara
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2015
Persetujuan DPR tentang penyertaan modal negara (PMN)
dalam APBN Perubahan 2015 menyisakan banyak cerita. Namun, sebuah proses
melalui parlemen telah kita lalui dan semoga ini menjadi era baru bagi
peremajaan BUMN Indonesia yang sudah lama kita tunggu. Di tangan mantan CEO
Astra International yang sukses mengawal transformasi di masa sulit, saya
yakin BUMN Indonesia bisa mengimbangi BUMN asing yang semakin bertaji.
Sebagai profesional, Rini M Soemarno bisa saja dimusuhi
para politisi seperti yang pernah dialami Sri Mulyani di era SBY. Harap
maklum, BUMN memang menarik untuk diperebutkan. Tetapi, spirit
profesionalismenya saya kira tak perlu kita ragukan. Maka, menarik melihat
bagaimana PMN kali ini bergulir untuk memperkuat pembangunan melalui BUMN.
Geliat BUMN ASEAN
Bukannya apa-apa, menyangkut soal daya saing bangsa kita
ini termasuk yang paling lama merespons perubahan, bahkan paling kurang
gebrakan. Bayangkan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ujung mata.
Ingat ya, ini masyarakat ekonomi konsepnya, bukan sekadar AFTA atau kawasan
perdagangan bebas. Artinya dibutuhkan sinkronisasi kelembagaan. Nah,
berkaitan dengan itulah BUMN di ASEAN pun berubah. Itu bahkan sudah dilakukan
tetangga kita sejak 1990-an.
Bayangkan Kementerian Keuangan Malaysia sudah dibentuk
menjadi semacam PT sejak 1993. Ini berarti dari segi akuntansi keuangan
negara, aset-aset yang dilimpahkan ke BUMN di sana menjadi tak serumit
seperti di sini. Ini semua tentu amat tergantung pada wawasan dan kepentingan
yang diemban para politisi: apakah rela membuat BUMN negerinya tumbuh besar
dan lepas dari campur tangannya, atau masih ingin mencari celah untuk
”bermain”. Kedewasaan berpolitik, integritas, ditambah kemampuan berpikir
strategis sangat menentukan pilihan yang diambil.
Dengan bekal itu para politisi Malaysia sepakat melepas
badanbadan usaha yang tidak strategis dan menjadikan usaha-usaha strategis
benar-benar professional dengan aturan yang jelas. Mereka juga mengawal
konsistensi dan tabu membiarkan birokrasi mengelola BUMN. Hasilnya Anda lihat
sendiri. Betapa powerful-nya
Khazanah. Maka saya senang ketika mendengar salah satu program yang serius
dikerjakan menteri BUMN saat ini adalah merampungkan RUU BUMN agar
benar-benar mampu menjawab tantangan zaman.
Perkuat BUMN Keuangan
Ada tiga BUMN yang sama sekali tidak dapat jatah PMN,
yakni PT Djakarta Lloyd, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Bank
Mandiri Tbk. Kalau Djakarta Lloyd saya bisa paham. BUMN itu sedang menghadapi
masalah hukum akibat utangnya yang bertimbun di sana-sini.
Saat ini status hukum Djakarta Lloyd dalam masa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Saham pemerintah di sana sudah berkurang
hingga 29%. Jadi pemberian PMN untuk perusahaan bermasalah sangat berisiko.
Akan halnya RNI, Komisi VI DPR menilai usulan bisnisnya masih kurang jelas.
Perlu lebih dipertajam. Mungkin yang agak menarik adalah Bank Mandiri. Ini
karena pengajuan dana PMN untuk bank itu lumayan jumbo, mencapai Rp5,6
triliun.
Tapi, anggota DPR menilai PMN bagi Bank Mandiri belum
menjadi prioritas. Setidak-tidaknya untuk tahun ini. Dengan penolakan
tersebut perjalanan perbankan Indonesia untuk menjadi agent of change dalam pembangunan ekonomi Indonesia jadi semakin
panjang. Sejatinya penambahan modal itu menjadi penting agar Bank Mandiri
semakin powerful dalam menghadapi era MEA. Di Indonesia, Bank Mandiri memang
bank yang terbesar dari sisi modal.
Namun, ketika dijajarkan dengan bank-bank asal negara
tetangga, Bank Mandiri belum ada apa-apanya. Coba saja Anda lihat daftarnya.
Peringkat pertama bank dengan modal terbesar di ASEAN adalah Bank DBS
(Singapura, USD26,3 miliar), lalu OCBC (Singapura, USD20,2 miliar), UOB
(Singapura, USD18,4 miliar), Maybank (Malaysia, USD10,5 miliar), CIMB
(Malaysia, USD8,7 miliar), Bangkok Bank (Thailand, USD7,8 miliar), dan baru
Bank Mandiri (Indonesia, USD6,7 miliar).
Bagi perbankan, modal adalah otot. Makin besar modalnya,
makin berotot bank tersebut, makin kuat pula tenaga yang dimiliki suatu bank
untuk bertarung, berperan dalam perputaran ekonomi nasional. Dengan
ditolaknya PMN oleh DPR, rasio kecukupan modal Bank Mandiri kini hanya
sekitar 16,22% atau di bawah persyaratan kelayakan perbankan ASEAN (Qualified
ASEAN Bank, QAB) yang pada tahun 2019 nilainya dipatok minimal 17,5%.
Jika dana PMN tadi masuk, modal Bank Mandiri akan mencapai
lebih dari Rp100 triliun dan nilai QAB-nya menjadi lebih dari 17%. Ini
membuat Bank Mandiri cukup leluasa untuk mengejar target QAB 17,5% pada 2019.
Kini, dengan ditolaknya PMN oleh DPR, agar bisa bersaing dengan bank-bank se-
ASEAN, Bank Mandiri mesti putar otak untuk memperbesar modalnya. Tapi bagi
saya, kalau Indonesia mau maju dan menolong pengusaha domestik menjadi pemain
yang kuat di dalam negeri dan berperan serta dalam industrialisasi yang
dicanangkan pemerintahan baru, sektor keuangan harus diperkuat.
Mungkin kita juga tak cukup menyatukan semua bank BUMN
dalam satu wadah, melainkan semua lembaga keuangan. Bukankah bank dan
asuransi sudah banyak yang berjalan bersama-sama? Belum lagi modal ventura,
dan sebagainya. Bayangkan kalau semua urusan regulasi bisa kita sederhanakan
dan kekuatannya bisa kita padukan.
Kekuatan Ekonomi Yahudi
Saya ajak Anda sedikit keluar dari konteks. Kebetulan
minggu lalu saya diminta berbicara di depan Dewan Analis Strategis Badan
Intelijen Negara tentang kiprah multinational corporations (MNC). Ketika
menelisik MNC, di situ mau tak mau saya menarik dua kekuatan, yaitu GAFA (MNC
terbarukan yang terdiri atas Google, Apple, Facebook, dan Amazon) serta peran
penting sektor keuangan.
Tapi baiklah kita pelajari bagaimana bangsabangsa besar
tumbuh menjadi penguasa ekonomi global. Jawaban dari semua itu, perkuat
lembaga keuangan dengan modal yang terus diperbesar. Karena lembaga
keuangannya kuatlah maka GAFA juga tumbuh. Bayangkan dengan hanya total
252.000 pegawai, keempat perusahaan besar GAFA berhasil meraih revenue setara
dengan GDP Denmark (USD330 miliar). Padahal GDP sebesar itu hasil dari
penduduk yang jumlahnya 10 kali lipat karyawan GAFA.
Sekarang saya ajak Anda menelisik gurita ekonomi keuangan
keluarga besar Yahudi. Mudahnya kita ambil saja jaringan usaha keluarga
Rothschilds yang namanya populer belum lama ini. Bisnis keuangan keluarga
Rothschilds dimulai abad pada ke-18 di Frankfurt, dan diteruskan oleh kelima
penerusnya di lima kota keuangan penting di Eropa: Frankfurt, London, Viena,
Paris, dan Naples.
Dari industri keuangan itu mereka menguasai jaringan
perbankan di Swiss, asuransi dunia, pertambangan (Rio Tinto dan de Beers) dan
industri-industri ternama dunia. Sektor keuangan yang kuat menjadikan jejak
langkah keluarga Rothschilds sulit dihindari dari berbagai peristiwa penting
dunia. Kekaisaran Jepang pun, misalnya, mendapatkan pembiayaan perang di awal
abad 20 dari jaringan perbankan keluarga Rothschilds.
Mereka juga memiliki hubungan yang erat dengan tycoon
minyak, Rockefeller yang juga menguasai sejumlah jaringan keuangan dunia.
Singkat cerita, keluarga-keluarga ternama dunia adalah keluarga yang didukung
oleh industri keuangan yang canggih dan modern. Anda mungkin masih ingat
hampir semua konglomerat dunia apakah di Jepang, Korea, maupun di sini
menjadi besar berkat dukungan industri keuangan.
Maka dari itu, wajar saja kalau ASEAN pun meraih
pertumbuhan melalui dukungan sektor keuangan yang kuat. Sekali lagi, bukan
industri yang dimulai, melainkan prudential banking industry. Ya, banking
diperkuat untuk memperkuat industri. Ini tampaknya masih berkebalikan dengan
cara berpikir sebagian besar politisi kita.
Jangan Ulang Masa Lalu
Buat saya, penolakan DPR untuk PMN bagi Bank Mandiri
memang agak mengherankan. Apalagi dengan alasan itu belum menjadi prioritas.
Bukankah sejak dulu kita sudah mewacanakan perlunya memiliki bank yang
besar—termasuk modalnya. Bayangan saya begini. Kalau Bank Mandiri dan bank
BUMN lain mendapatkan kucuran dana PMN, modal mereka akan bertambah. Itu
artinya mereka akan mempunyai modal yang cukup untuk me-leverage kredit dalam jumlah besar.
Buat saya, dalam masa sekarang, hal ini menjadi penting
karena di era pemerintahan SBY kita lihat kerja pemerintah boleh dibilang
lambat. Itu setidaktidaknya tecermin dari serapan dana APBN. Untuk tahun
lalu, misalnya, sampai kuartal I- 2014, serapan anggarannya baru mencapai
Rp7,8 triliun dari total yang tersedia Rp184,2 triliun. Jumlah tersebut tak
sampai 5%-nya. Kinerja tersebut malah lebih buruk dibandingkan dengan serapan
anggaran untuk tahun 2013 yang masih bisa hampir mencapai 6%.
Jadi, alokasi PMN ke bankbank BUMN bisa menjadi alternatif
lain dari seretnya penyerapan dana melalui mesin birokrasi. Kalau dana tak
mengucur ke bawah, dalam bentuk berbagai proyek, bukankah itu sama saja tak
ada lapangan pekerjaan di masyarakat. Kita tentu tak mau kondisi semacam ini
terjadi.
Kalau modal bank-bank kita bertambah berkat kucuran dana
PMN, itu artinya bankbank tersebut akan semakin mampu membiayai proyekproyek
bersifat jangka panjang. Di antaranya dalam bentuk proyek-proyek
infrastruktur. Bagi saya, kemampuan semacam ini menjadi penting. Saya tidak
ingin kejadian di masa lalu berulang kembali. Dulu banyak proyek
infrastruktur kita didanai pihak asing.
Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga keuangan asing yang
bertindak sebagai kreditur kemudian menetapkan sejumlah persyaratan. Misalnya
kontraktornya harus dari negara asal bank kreditur. Begitu pula dengan
konsultan proyeknya. Bahkan bukan hanya itu. Mesin-mesin dan berbagai produk
teknologi yang terkait dengan pembangunan proyek tersebut juga kerap kali
ditentukan oleh pihak kreditur. Maka, jadilah kontraktor-kontraktor kita
hanya menjadi subkontraktor.
Bahkan mungkin sub dari subkontraktor. Konsultan atau
tenaga ahli kita pun tidak kebagian peran. Kalaupun ada porsi kita, mungkin
itu hanya untuk pekerjaan kasar. Kita tentu tak mau kondisi semacam itu
berulang.
Tapi, entah mengapa aspirasi kita kerap kali tidak
nyambung dengan keputusan wakil-wakil kita yang ada di DPR. Salah siapa ya?
Saya berharap di tahun mendatang putusan penting itu justru diberikan ke
lembaga perbankan, untuk menjadi motor bagi kemajuan ekonomi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar