Pelajaran
dari Kisruh RAPBD DKI
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 18 Maret 2015
Konflik
antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih berlangsung. Konflik ini menyita
perhatian khalayak luas. Secara opini timbul kesan kuat bahwa berbeda dengan
Ahok yang di atas angin, pihak DPRD paling layak disorot dalam penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2015. Opini demikian
marak hingga ke ranah media sosial dan menjadikan DPRD sebagai semacam musuh
bersama.
Tentu
saja itu terlalu berlebihan, mengingat bagaimanapun, apa yang tengah terjadi
merupakan bagian dari proses politik. Proses penentuan penyusunan dan
penetapan anggaran memerlukan kerja sama yang baik antara gubernur dan DPRD.
Gubernur tidak dapat jalan sendiri, demikian pula sebaliknya.
Dalam kisruh RAPBD DKI Jakarta, Ahok melakukan langkah
kontroversial dengan menyerahkan RAPBD ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi
bukan versi hasil rapat paripurna DPRD pada 27 Januari 2015. Ahok punya dalih
bahwa RAPBD itu sarat dengan ”anggaran siluman”.
Langkah
ini secara prosedural dipandang sangat bermasalah, di mana pihak DPRD menuduh
Ahok telah melakukan pemalsuan dokumen. Mereka pun kompak melakukan hak
angket. Konflik yang berpola konfrontatif pun tak terelakkan. Terkait dengan
anggaran siluman, Ahok melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
sementara DPRD tetap melanjutkan proses hak angket.
Pihak
Kementerian Dalam Negeri mengusulkan jalan mediasi supaya mereka duduk
kembali, tetapi tidak mudah dilakukan. Dalam perkembangannya, sebagai hasil
evaluasi kementerian mencoret beberapa pos anggaran kegiatan operasional
senilai Rp281,9 miliar.
Di
sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan, bila gubernur dan DPRD tidak
menindaklanjuti hasil evaluasi, akan dilakukan pembatalan sekaligus
menyatakan berlakunya APBD 2014 (Koran
Tempo, 16/3/2015). Perkembangan tersebut babak baru dari drama penyusunan
RAPBD yang memaksa kedua belah pihak untuk kembali membahasnya.
Meminjam
analisis pakar hukum Margarito Kamis, akan ada dua kemungkinan setelah ini.
Pertama, akan terjadi kesepakatan antara keduanya, dan dengan demikian hak
angket akan berhenti karena tidak lagi ada tujuan yang hendak dicapai.
Kedua,
jika yang terjadi sebaliknya, Ahok akan terpojok karena harus mengakui
kekeliruan dalam RAPBD 2015. Mungkin saja, manakala yang kedua ini yang
terjadi, ujungnya adalah permakzulan Ahok sebagai gubernur.
Kemerosotan Politik
Apa
pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh ini? Kita dapat menimbangnya dari
perspektif pembangunan politik (political
development) sebagai lawan dari kemerosotan politik (political decay). Intinya, dalam pembangunan politik, konflik dan
konsensus merupakan dua hal yang penting.
Konflik
merupakan hal yang lazim dalam kehidupan politik, yang penting ia terkelola
dengan baik. Pembangunan politik membutuhkan konsensus yang berkualitas. Nah,
dalam konteks ini, kisruh RAPBD DKI Jakarta mencerminkan ada konflik yang
berdampak pada menguatnya kemerosotan politik.
Kemerosotan
politik tentu akan berimbas pada ihwal yang terkait perikehidupan warga yang
menjadi sasaran pembangunan. Konflik bisa berdampak pada defisit pelayanan
publik dan optimalisasi fungsi-fungsi politik baik gubernur maupun DPRD.
Berlarut-larut konflik hanya akan membuat kondisi kehidupan politik dan
pela-yanan publik semakin memburuk.
Sejak
awal konflik RAPBD juga mencerminkan terdapat masalah komunikasi politik yang
serius. Dalam konteks ini, Ahok tidak sepenuhnya nol masalah. Ahok yang
memiliki karakter komunikasi yang meledak- ledak dan konfrontatif, mungkin
tidak sepenuhnya salah, tetapi pola konfrontatifnya tidak terlalu baik dalam
pembangunan politik. Ia perlu memperbaiki cara dan gaya komunikasinya,
terutama dalam menghadapi DPRD.
Di
sisi lain, ada persoalan yang harus dicamkan oleh Ahok yakni konteks
prosedural politik. Barangkali Ahok ingin melakukan terobosan, tetapi ia
diperhadapkan dengan persoalan legal-prosedural. Dalam perspektif ini, DPRD
tidak boleh sertamerta dipojokkan, mengingat ada kewenangan yang melekat
kepadanya.
Perlu
dicatat juga bahwa dalam konflik politik DPRD-Ahok, seyogianya masing-masing
tidak melibatkan kekuatan di luar mereka. Memang dalam konteks ini, publik
terus mengikuti perkembangannya. Tetapi, memancing dan memanfaatkan emosi
publik dalam konflik terbatas ”dalam ruangan” dapat menimbulkan risiko ke
arah konflik politik yang meluas ke ”luar ruangan”.
Kalau
demikian, fungsi kelembagaan politik sebagai manajemen konflik tidak ada
artinya lagi. Sebab itulah, baik Ahok maupun para elite politik DPRD
sama-sama punya tanggung jawab untuk tidak memainkan massa publik untuk
kepentingan masing-masing. Ahok bahkan turut bertanggung jawab memperkuat
institusi DPRD, ketimbang melemahkannya.
Lebih
baik Ahok menampilkan dirinya sebagai ahli strategi yang mampu mengelola
konflik yang ada tetap sebagai konflik terbatas di lingkungan DPRD dalam
kerangka ”checks and balances” dan menghindari keterlibatan massa publik.
Demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun DPRD adalah institusi yang memiliki
fungsi dan kewenangan yang jelas.
Demikian
pula gubernur sebagai representasi pemerintahan atau eksekutif di daerah. Dua
lembaga ini harus kuat, mampu berjalan secara sinergis dalam kerangka ”checks
and balances”. Karena itu, harmonisasi dan sinergisasilah yang harus
diutamakan.
Kalaupun
ada persoalan yang terkait kejanggalan anggaran, pekerjaan untuk mengatasi
ihwal sedemikian merupakan pekerjaan bersama. Karena itu, pola konfrontatif
sebagaimana yang dilancarkan Ahok dalam batas-batas tertentu malah
kontraproduktif.
Penguatan Kelembagaan
Orientasi
penguatan kelembagaan bagaimanapun merupakan jalan keluar yang elegan.
Artinya, masing-masing harus berkaca diri dan kembali ke fungsi dan
kewenangan sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. Dalam
konteks ini idealnya gubernur memperoleh dukungan politik yang kuat dari
DPRD.
Memang
tidak semua gubernur punya basis dukungan partai politik dan ini artinya di
atas kertas dukungan formalnya di DPRD lemah. Realitas demikian semestinya
dijawab dengan mengoptimalkan kemampuan komunikasi yang integratif, bukan
konfrontatif. Dalam kasus Ahok yang terjadi sebaliknya.
Ahok
tidak punya basis dukungan yang kuat di DPRD, tetapi justru memakai pola
konfrontatif. Dalam kasus kisruh RAPBD ini, Ahok menemukan tema yang
diyakininya didukung oleh publik dan dengan demikian risikonya adalah
membenturkan DPRD dengan massa publik, baik nyata maupun maya.
Dalam
batas-batas tertentu mungkin pendekatan demikian efektif, setidaknya memaksa
DPRD mengacadiri. Tetapi, lama-lama ia akan menjadi kontra produktif karena
membiarkan ruang konflik terus melebar.
Kita
berharap kisruh RAPBD 2015 berujung pada ada jalan keluar yang baik dan
konstruktif dalam perspektif pembangunan politik. Sebaliknya, kemerosotan
politik yang lebih parah jangan dibiarkan terjadi. Ahok dan DPRD harus sama-sama
berkaca diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar