Momentum
Runtuhnya NIIS
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Unwahas Semarang
|
KOMPAS,
19 Maret 2015
Perang
melawan NIIS saat ini sedang memperoleh momentum penting. Jika hal itu bisa
dimanfaatkan maksimal, bukan mustahil kumpulan manusia-manusia keji itu dapat
segera dihancurkan.
Momentum
itu terkait efek dua peristiwa sadis yang dilakukan kelompok tersebut:
pembakaran hidup-hidup seorang pilot Yordania, dan penyembelihan massal warga
Mesir di Libya. Kedua peristiwa amat sadis itu sengaja diunggah ke media dan
disebarluaskan, tentu dengan tujuan menebar teror terhadap musuh-musuh mereka
dan meyakinkan seluruh pengikutnya bahwa mereka masih ”ada”.
Tindakan
barbar itu ternyata justru kontra produktif dan menimbulkan efek yang mungkin
tak diperhitungkan secara cermat oleh kelompok itu sendiri. Efek itu adalah
penguatan drastis sentimen anti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di
kalangan masyarakat Timur Tengah dan dunia, yang pada gilirannya mendesak
organ-organ negara yang selama ini seperti diam untuk bergerak cepat
melakukan ofensif militer terhadap mereka.
Yordania
segera melakukan ofensif besar-besaran ke berbagai target kelompok itu. Mesir
juga melakukan hal yang sama, melakukan serangan lintas negara kurang dari 24
jam setelah video pemenggalan rakyatnya dikonfirmasi kebenarannya. Kedua
tindakan ofensif itu diyakini membawa pengaruh signifikan dalam mempercepat
penghancuran kelompok yang mulai kocar-kacir di hampir semua front ini.
Agenda penghancuran NIIS di Mosul melalui Tikrit saat ini sedang memperoleh
perhatian paling besar.
Mesir
dan Yordania bersama negara-negara Barat yang warganya juga menjadi korban
kesadisan kelompok ini terus menggalang kekuatan untuk menuntaskan
penghancuran NIIS. Keterlibatan Mesir secara intensif memiliki pengaruh
sangat besar terhadap upaya ini. Kesediaan negara-negara kawasan untuk
terlibat langsung dalam perang melawan NIIS sepertinya terus menguat.
Pembangkangan
internal anggota ini juga banyak diwartakan. Pembangkangan itu bisa jadi
dikarenakan apa yang mereka temui di sana ternyata sangat berbeda dari yang
mereka bayangkan tentang ”keagungan dan kemuliaan khalifah Islam”. Mereka
mungkin juga tidak tahan dengan kekejian yang mereka lakukan sendiri sebab, bagaimanapun,
mereka dulunya adalah manusia, bukan mesin atau binatang.
Momentum
itu diperkuat dengan melemahnya harga minyak. Kelompok ini tampaknya memiliki
ketergantungan dari penjualan minyak mentah untuk menyuplai logistik mereka.
Turunnya harga minyak secara drastis jelas akan mengurangi ketahanan logistik
mereka. Apalagi, tak seluruh anggota NIIS bergabung ke kelompok itu karena
faktor ideologis. Para kombatan dan pasukan bunuh diri mereka hampir
dipastikan memiliki motif ideologis yang kuat. Tetapi, para petinggi dan
pimpinan menengah cenderung lebih rasional.
Menurut
kesaksian tokoh-tokoh yang keluar dari kelompok itu, dan sebagian diunggah di
laman organisasi Islam penentang mereka di Tanah Air, motif mereka bergabung
dengan NIIS sangat beragam, termasuk karena motif ekonomi. Oleh karena itu,
jatuhnya harga minyak, sumber pendapatan utama mereka, tentu berpengaruh
signifikan.
Hambatan
Dengan
dua kekejian NIIS di atas dan rangkaian kekejian sebelumnya telah menyatukan
perasaan masyarakat Timur Tengah. Bahwa mereka punya musuh bersama dan itu
ada di depan mata, yaitu ekstremisme dan radikalisme NIIS. Para pemimpin
kawasan juga sepakat dengan ancaman nyata dari NIIS dan mendesaknya tindakan
segera untuk menghancurkan mereka.
Namun,
konflik yang ada dan terpelihara lama di antara para pemimpin kawasan itu
menjadi hambatan klasik. Selama ini, kecenderungan semua pemimpin
negara-negara itu sama. Mereka menginginkan NIIS segera dihancurkan sebab
ancamannya terhadap kemanusiaan begitu nyata. Setidaknya itu yang dikatakan.
Namun, semua juga menolak untuk mengambil peran besar yang nyata di lapangan
menghadapi NIIS, misalnya, untuk mengirimkan pasukan darat.
Kita
masih ingat ketika kota Kobani berteriak meminta bantuan segera untuk
penyelamatan kemanusiaan, pasukan darat Turki ternyata tidak mau masuk ke
arena perang. Padahal, pasukan mereka sudah ada di perbatasan dengan kota itu
dan mereka hanya menonton pertempuran yang tak seimbang itu hingga selesai.
Iran
musuh ideologis sesungguhnya dari kelompok Sunni yang sangat anti Syiah ini
juga sama. Negara itu sejauh ini tidak mau terjun ke arena perang darat.
Mereka lebih mementingkan mempertahankan mati-matian kekuasaan Bashar
al-Assad di Suriah, kendati belakangan sikap ini mulai berubah. Begitu pun
Yordania, hingga kini juga belum bersedia untuk mengirimkan pasukan daratnya
ke arena.
Bagaimana
dengan Mesir? Setelah rakyatnya menjadi korban, Mesir tampak begitu aktif
menggalang kekuatan kawasan dan internasional untuk menghancurkan kelompok
itu, terutama yang di Libya. Jika Mesir berani menjadi negara pertama yang
mengirimkan pasukan daratnya untuk melawan NIIS, maka kemungkinan itu akan
diikuti negara-negara lain.
Posisi
Mesir sebagai pemimpin tradisional di kawasan masih sulit digantikan oleh yang
lain. Rezim militer Mesir saat ini bisa saja mengambil langkah itu terutama
untuk mengembalikan posturnya di kawasan yang terus melorot dan
mengonsolidasikan kekuatan di dalam negeri yang juga tak kunjung stabil.
Hambatan
lainnya, para elite kawasan itu juga lebih berpikir pada nasib mereka pasca
NIIS di tengah menguatnya sentimen anti penguasa diktator di kalangan rakyat.
Ini menjadi lebih rumit. Sebab, ancaman NIIS di satu sisi bisa menjadi berkah
bagi pemimpin-pemimpin diktator itu untuk mengonsolidasikan kekuatan di dalam
negerinya dari ancaman luar, seperti yang terjadi selama ini. Wallahu alam.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar