KPK
dan Orang Kuat Daerah
Rhido Jusmadi ; Dosen FH Universitas
Trunojoyo Madura;
Peneliti the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi - JPIP
|
JAWA
POS, 02 Maret 2015
KALAU janji pemberantasan korupsi dalam kampanye Jokowi
ditepati, kini rakyat pasti fokus ’’kerja, kerja, kerja’’. Tapi, lidah Jokowi
memang tak bertulang. Kini kita harus mengerahkan energi lagi demi mendukung
KPK, simbol terkuat keseriusan pemberantasan korupsi. Publik harus terus
’’berjaga’’ karena kebijakan Jokowi diragukan bisa membuat KPK lebih kuat dan
aman.
Bila masih seperti saat kampanye, mestinya Jokowi berterima
kasih kepada KPK. Sebab, KPK telah sukses menghentikan Jokowi dan DPR
mengapolrikan jenderal yang diragukan integritasnya. Bahkan, kalau Jokowi
baru saja pidato di Istana Bogor (25/2) menginginkan pencegahan korupsi, cara
KPK itu juga bagian dari mencegah berkembangnya koruptor. Mencegah korupsi
jadi omong kosong tanpa berani bilang ’’tidak’’ pada aparat yang dinilai
korup.
Bukan hanya para aktivis di pusat republik, rakyat di daerah pun
pantas cemas bila KPK dimandulkan. KPK juga telah terbukti sanggup menggulung
orang-orang kuat di daerah. Tentu saja, di setiap daerah, ada ’’cabang’’
kejaksaan dan kepolisian. Tapi, ternyata KPK dari Jakarta yang mesti turun
meringkus para untouchables itu. Entah kenapa, para Kajari dan Kajati, juga
Kapolres dan Kapolda, –yang silih berganti– tak menghentikan mereka?
Orang kuat terakhir yang dicokok KPK adalah Fuad Amin Imron,
ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan bupati dua periode. Sebelumnya, ada
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang digulung kerajaan nepotisnya dan baru
saja tertimpa putusan kasasi 7 tahun penjara. KPK juga menangkap Annas
Makmun, gubenur Riau, yang dikenal banyak masalah.
Jauh sebelum ketiganya, KPK juga menyeret Syaukani Hasan Rais,
bupati terkaya yang memimpin Kutai Kartanegara. Divonis di kasasi 6 tahun
penjara karena merugikan negara Rp 103 miliar, pada 2009 Syaukani mengajukan
peninjauan kembali (PK). Tapi, usaha itu gagal untuk mengurangi hukuman.
Pengacara PK-nya dua bersaudara Wimboyono Seno Adji dan Indrianto Seno Adji!
Zaman berubah. Indrianto kini malah diangkat Jokowi jadi
pimpinan sementara KPK. Mengherankan. Jokowi, yang berjanji memperkuat KPK,
malah menempatkan pengacara koruptor kasus KPK menjadi pimpinan KPK. Apalagi
yang bisa dipegang bila begini?
Di Jawa Timur, pernah ada kasus yang tak tuntas ditangani
kepolisian. Yakni, kasus korupsi Bupati Situbondo Ismunarso. Semula, kasus
tersebut ditangani polres, tapi dinilai tak ada kemajuan. Masyarakat
bergejolak, sampai-sampai memblokade jalur pantura, mendesak kasus itu
dituntaskan. Setelah diambil alih KPK, Ismunarso divonis hingga kasasi 9
tahun penjara.
Tentu masih banyak sepak terjang KPK yang menyikat korupsi di
daerah. Termasuk, misalnya, mencokok Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran
Batalipu yang ditangkap dalam kasus suap yang melibatkan konglomerat Hartati
Murdaya Poo. Penangkapan tersebut sempat dilawan, tapi KPK tak gentar. Amran
dan Hartati akhirnya divonis masuk penjara.
Sedikit bandingan, kasus besar yang ditangani kepolisian
menyangkut daerah adalah kasus rekening Rp 1,5 triliun milik Bripka Labora
Sitorus. Pantas kita kaget ketika di PN Sorong dia hanya divonis 2 tahun
penjara, meski di kasasi jadi 15 tahun penjara. Eksekusinya pun alot. Bahkan,
dia sempat pulang dari tahanan dengan secarik surat keterangan yang tidak
jelas (mirip keluarnya Gayus Tambunan dari tahanan Brimob saat perkaranya
ditangani kepolisian). Polemik penanganan eksekusi semacam ini tak pernah
terjadi dalam perkara yang ditangani KPK. Sebab, tersangka pasti ditahan dan
tak sempat ke mana-mana.
Kejanggalan lain dalam perkara Labora Sitorus, hanya dia seorang
yang masuk bui. Padahal, ada laporan dia setor ke para pejabat. Seharusnya
itu diuji, apakah pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau suap. Beda
dengan, misalnya, kasus Ratu Atut. Pengembangannya menyebar ke banyak orang,
termasuk adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana, dan adik tirinya, Lilis
Karyawati Hasan, serta para kontraktor rekanan Atut. Kasus Atut sendiri
adalah pengembangan dari suap ke Akil Muchtar.
Kita yakin, kalau KPK tetap kuat, kasus Fuad Amin tak berhenti
pada dia seorang. Dari barang bukti tunai maupun aset yang sudah lebih dari
Rp 200 miliar disita KPK, bisa diduga dia tak bekerja sendirian. Indikator
lainnya, para saksi yang diperiksa sangat beragam, tak hanya birokrat di
Pemkab Bangkalan. Dan, hartanya tersebar di mana-mana, hingga ke Bali.
Tentu kita berharap penyingkapan koruptor kakap di daerah terus
berlangsung, tak harus oleh KPK. Kalau kepolisian dan kejaksaan mau, mereka
pasti bisa. Aparat mereka lebih banyak dan lebih menyebar daripada KPK.
Terlebih, ketika akhir tahun lalu KPK melontarkan ingin membuka cabang ke
daerah, pemerintah juga tak sigap merespons. Banyak korupsi substantif yang
masih merajalela di daerah, bukan sekadar ’’kriminalisasi administratif’’
ecek-ecek. Kasus-kasus yang ditangani KPK pasti ditandai ciri mencolok
tentang keserakahan, substansi korupsi.
Kalau Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki bilang akan
menyerahkan kasus korupsi yang terjadi di daerah ke kejaksaan (Jawa Pos, 24/1), itu bagus saja.
Terlebih kasus yang sudah matang, alias siap tuntut (P-21). Jangan sampai,
setelah diserahkan ke kejaksaan oleh KPK, kasusnya malah mendapat surat
perintah penghentian penuntutan (SP3).
Penyerahan kasus korupsi ke kejaksaan itu bisa menjadi transfer
akuntabilitas manajemen perkara korupsi ala KPK. Mulai pengumpulan bahan
keterangan (pulbaket), penyelidikan, penyidikan (penetapan pasal sangkaan),
hingga penuntutan. Tak ada main ’’86’’, tawar-menawar pasal, atau
suap-menyuap. Akuntabilitas inilah yang menimbulkan kepercayaan pada KPK.
Semoga KPK terus menyinari
kegelapan korupsi di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar