Kedaulatan
para Siluman
Siti Marwiyah ; Dekan
Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Maret 2015
AM Rahman, penulis buku berjudul
Badai Serigala (2009) menulis “belalah
koruptor, negeri pasti terkapar, belalah koruptor, negeri pasti telantar,
belalah koruptor, negeri pasti terbakar, belalah koruptor, negeri pasti
terkubur, belalah koruptor, negeri ini pasti hancur, belalah koruptor, rakyat
pasti lebur“.
Tulisan itu dapat ditangkap
sebagai kritik keras yang mengingatkan para penyelenggara negara bahwa
seharusnya koruptor wajib dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) dan terbesar negara yang
diperangi secara maksimal dan konsisten serta bukan sebagai `teman' yang
dibela. Di negeri ini, koruptor memang jenis perampok elitis atau `begal
berdasi'. Pasalnya, apa yang diperbuat bukan hanya telah mengakibatkan
kerugian besar pada bangsa dan negara ini, melainkan juga sepak terjangnya
yang serbalicin dan tidak gampang diendus.
`Para siluman' di Pemprov DKI yang
sedang digasak oleh Gubernur Ahok karena diduga kuat menitipkan dana siluman
ke dalam APBD, merupakan kekuatan berjaringan yang sudah lama menancapkan
akar-akarnya. Dengan kekuatannya ini, mereka tidak mudah diberantas. Sangat
pantas kalau Ahok geram dan membawa kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Pasalnya, dana yang dititipkan sebagai siluman dalam APBD DKI tidak
kurang dari Rp12 triliun.
Koruptor merupakan jenis perampok
elitis yang telah mengakibatkan kerugian besar. Korupsi telah `biasa' dilakukan
dari tingkat aparat paling rendah, Ketua RT, hingga pejabat tinggi negara.
Pada 2011, terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang.
Potensi kerugian negara akibat korupsi ini ialah Rp2,169 triliun. Yang
menarik ialah kebanyakan pelaku korupsi itu memiliki latar belakang pegawai
negeri sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang PNS menempati urutan teratas
dengan jumlah 239 orang, kemudian diikuti oleh direktur atau pimpinan
perusahaan swasta dengan 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99
orang.
Para oknum PNS itu diajak atau
dijadikan sebagai tangan-tangan gaib oleh para elite politik (DPRD). Para
elite ini tidak akan bisa mencairkan uang atau dana silumannya tanpa adanya
dukungan dari para PNS atau setidak-tidaknya modus operandinya melibatkan
pegawai atau pimpinan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Itu artinya
‘berkat’ anggaran yang dititipkan oleh para ‘siluman’, akhirnya koruptor
merajalela. Mereka saling bahu-membahu atau berjemaah untuk mengakali dan
mengadali uang negara. Banyak sektor strategis seperti pendidikan yang
memerlukan dana tidak sedikit untuk mengembangkannya, akhirnya menjadi sektor
yang tetap sulit diajak maju akibat dijangkiti ‘para siluman’.
Semestinya setiap pimpinan minimal
mengadopsi gaya Ahok. Artinya koruptor tak perlu ditempatkan sebagai ‘kawan’
atau mitra kekuasaan dalam membangun kekuatan politik. Pasalnya, mereka telah
membuat wajah negeri ini semakin sengkarut dan menjadikan rakyat terpuruk
dalam kompilasi penderitaan. Ironisnya, banyak elemen struktural dan
tokoh-tokoh di masyarakat dan bangsa ini yang lebih suka berkawan atau
menjalin ‘persaudaraan’ dekat dengan koruptor. Mereka mau saja disuruh tanda
tangan atau mengamini proyek-proyek yang tidak riil yang dilakukan ‘para
siluman’.
Akibat diamini itu, ‘para siluman’
semakin berdaulat. Mereka sukses mengemas dirinya menjadi raja-raja kecil
sambil pergi ke mana-mana menabur apologi kalau otonomi daerah itu identik
bisa berbuat apa saja terhadap APBD. Mereka didukung oleh beberapa elemen
politik, sosial, ekonomi, dan bahkan agama untuk menyukseskan proyek proyek
aspal.
‘Para siluman’ itu akhirnya
berhasil mencengkeram berbagai kekuatan di tengah masyarakat. Bahkan, aparat
penegak hukum yang semula berujar mau membersihkan penyakit yang
mengkleptokrasi APBD atau berjanji akan membersihkan Bumi Pertiwi dari ‘para
siluman’, ternyata begitu sudah berkawan, mereka kehilangan nyali dan mental
militansinya.
Setelah mereka itu berdekatan dan
dimanjakan oleh ‘para siluman’, mereka lantas kehilangan jiwa independensi
dan ‘suara sucinya’, bahkan berparadigma politik terbalik dalam memberikan
ruang pada koruptor atau kandidat koruptor untuk merumuskan dan menerapkan
jurus-jurus yang bisa menghabisi atau minimal melemahkan sakralitas norma
yuridis.
Siapa pun elemen bangsa ini,
khususnya pilar utamanya yang masih berpikiran jernih atau cerdas tentulah
mengakui kalau perilaku ‘para siluman’ atas APBD merupakan kejahatan yang
terbilang sangat serius atau sebagai penyakit kanker yang potensial menghancurkanleburkan negeri ini. Siapa yang
menganggap ‘para siluman’ itu penyakit remeh, berarti menyerahkan nasib
rakyat negeri ini ke tiang gantungan kematiannya. Pasalnya, kekuatan APBD
yang notabene sebagai kekuatan fundamental rakyat digerogoti sehingga APBD
yang semestinya secara proporsional dan objektif mampu menyukseskan
pembangunan, akhirterganjal akibat sebagian kekuatan (uangnya) telah
berpindah ke kantong-kantong ‘para siluman’.
Memang ada beberapa ‘siluman’ yang
dapat dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya
pepatah ‘mati satu tumbuh seribu’, maka ‘para siluman’ ini pun tetap berjalan
jemawa dalam keberdayaan atau kedigdayaannya akibat berlakunya politik
pemanjaan yang diberikan tempat melindungi dan bahkan membenarkannya.
Aparat penegak hukum, khususnya
melalui KPK memang sudah berhasil mengantarkan sebagian ‘para siluman’
menghuni sel hotel prodeo, tetapi beberapa orang yang jumlahnya lebih banyak
terus bermunculan menunjukkan aksinya akibat nihilitas konsistensi dalam
menjaga atau membumikan khitah moral perlawanan terhadap ‘para siluman’.
Segmen elite white collar crime itu secara tidak langsung kita berikan
kelonggaran tampil lebih progresif, berani, lihai, terorganisasi, atau
mengabsolut dalam menyebarkan dan menyuburkan penyakitnya di mana-mana. Itulah
yang pernah diingatkan oleh Albert Einstein, bahwa dunia ini menjadi semakin
tidak aman untuk dihuni, bukan semata disebabkan oleh ulah para penjahat,
melainkan akibat sikap kita yang membiarkannya.
Pendapat itu menunjukkan bahwa
‘para siluman’ sampai demikian kuat dan berkelanjutan menggerogoti APBD,
tidak semata-mata karena mereka berkekuatan hebat dalam menjalankan
aksi-aksinya, tetapi akibat sikap kita yang menoleransi, bahkan memberikan
ruang liberal dan absolut untuk melakukannya. Kita tidak boleh membiarkan
kebejatan itu berlanjut. Ulah ‘para siluman’ wajib kita hentikan. Caranya,
kita wajib bersikap kritis dan bahkan kalau perlu radikal terhadap setiap
tawaran pengesahan atau pembenaran proyek-proyek ilegal atau proyek-proyek yang
tidak sesuai kebenarannya. Kita berani tidak mengamini siapa pun yang
bermaksud menawarkan proyek-proyek salah alamat.
Masih tetap bersemainya kasus
korupsi APBD atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi koruptor di negeri ini
mengindikasikan bahwa kita masih kalah bertarung dengan ‘para siluman’ atau
belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadapnya. Kondisi inilah yang
wajib kita benahi bersama manakala kita memang menginginkan negeri ini
terbebas dari hegemoni ‘para siluman’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar